Mohon tunggu...
Angger Wiji Rahayu
Angger Wiji Rahayu Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Bermimpi menjadi penulis. Karena dunia yang kita lihat hanyalah representasi. www.anggerwijirahayu.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Bagian 6: Sandi

9 Januari 2012   12:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:07 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Robert meninggalkanku saat aku masih terlelap. Robert harus bekerja hari ini. Diatas tempat tidur aku melihat satu buket bunga mawar merah segar yang masih wangi. Sepotong roti bakar dan secangkir susu coklat hangat. Aku bingung darimana Robert memesan buket bunga sepagi ini. Memang Robert tak diduga-duga dan membuatku tak mampu tak tersenyum.

Aku tak ingin kemana-mana hari ini. Rasanya letih sekali. Ingin sekali ‘me time’ seharian saja menikmati bath up dan menulis di teras kamar. Aku merasa nyaman dikamar ini, Robert memesan kamar presiden suit room yang mempunyai view kepadatan Jakarta. Teras kamar ini cukup nyaman. Hanya ada dua kursi dan satu meja kecil bergaya Eropa. Aku memindahkan semua sarapan pagiku di meja teras. Kuhirup teh hijau dan sepotong roti bakar yang ada. Rasanya nikmat sekali pagi ini. Kubiarkan cahaya matahari pagi menerpa tubuhku dan kubiarkan pula angin menyapa rambut ikalku.

Aku menuliskan pengalaman beberapa hari ini ke diaryku. Kubuka file diaryku berniat membuat catatan lagi. Namun mataku tergelitik melihat judul tulisanku ‘Sandi’. Kubuka file tersebut.

‘biru tetap saja biru. Berkali-kali kita bercerita, maka tak akan merubah biru’. Kalimat pertama yang kutulis mengenai Sandi. Kubaca tulisan-tulisanku mengenai Sandi. Aku serasa mau tertawa. Cerita pertama kali tanganku dipegang Sandi. Cerita kami bolos sekolah bersama, cerita kami bertemu dibelakang mushola diam-diam. Semuanya tentang Sandi. Mungkin ‘kami’.

Rasanya bersama Sandi seperti bersama diriku sendiri. Ya, Sandi adalah cinta pertamaku. Cinta pada pandangan pertama, pada rasa pertama dan pada kisah yang pertama. Tak ada banyak yang tau, bagaimana rumitnya pula hubungan kami berdua. Bagaimana rasa itu bisa muncul seketika dan akhirnya aku menentukan pilihan dialah yang akan menjadi cinta pertamaku.

Kuingat dulu, waktu kami berada disebuah bukit. Kulihat dia membuka catatannya  dan menuliskan sebuah puisi. Judulnya ‘senja yang membiru’. Aku rasanya tak mampu berkata apa-apa membaca bait-bait puisi yang dibuat oleh Sandi. Sungguh indah setiap baitnya. Melukiskan bagaimana alam menciptakan kebahagian bagi kita manusia. Hamparan hutan hijau, hamparan birunya langit dan angin yang memberi kita ruang untuk bebas bergerak.

Tak akan pernah terlupa puisi tersebut. Tak akan pernah terlupa suatu sore disudut jurang bersama Sandi. Saat Sandi tersenyum dan mengatakan dengan menatap jauh kedepan bahwa akulah inspirasinya.

‘ya, senja yang membiru hanya untukmu. Suatu inspirasi hidup’

Glek. Rasanya kala itu aku melayang jauh. Memerah mukaku kala itu tersipu. Sandi pura-pura tak melihatnya, mukanya juga memerah tak tahan menahan rasa. Ingin sekali kujeritkan rasanya bahwa aku menyukainya, tapi tak mungkin. Tak ada pembicaraan mengenai hubungan rumit kami.  Tak ada hingga akhir masa SMA berakhir.

Tak tahan rasanya ingin mengatakan bahwa aku menyukainya dibeberapa suasana beberapa kali. Tapi tak akan dan tak mungkin. Terlalu naif rasanya aku harus mengungkapkan perasaanku sebelum usia 17 tahunku menjelang. Aku berfikir ini perasaan bahagia biasa saja. Aku juga merasakan bahwa ini hanya persaan sesaat. Aku benci sekali harus jujur kali ini.

Sandi. Tak akan habisnya. Tulisannya, bola mata indahnya, kulit coklatnya, senyum simpulnya. Tak mampu kulukiskan dengan baik. Tak bisa kuungkapkan dengan cinta pula. Kerumitan hubungan dengannya bukan berarti mengakhiri cintaku padanya. Cintaku menjadi-jadi.

Aku diajarkannya mengenal diriku sendiri. Aku diajarkannya mencintai rasaku sendiri. Menjadi diriku pula sendiri. Pernah suatu kali, aku datang ke sekolah dengan mata sembab, karena ayah memarahiku semalaman. Seperti biasa, antara teater dan diriku. Aku keukeh menginginkan teater.

Mataku bengkak, tak mampu menyembunyikan apa yang kurasakan. Kesedihan rasanya tak mampu dibendung. Menusuk rasa yang paling dalam. Sandi mendekatiku dan mengajakku menepi disudut jurang didekat sekolah. Aku tak mampu berbohong namun juga tak mungkin mengatakan yang sesungguhnya. Aku tak mampu mengatakannya. Aku terlalu mencintai ayah. Seperti mencintai ibu, begitu rumit hubungan kami.

Sandi memberiku sepucuk mawar merah didepan kelas. Semua teman-temanku berseru dan membuat wajahku memerah padam. Aku bingung mau mengatakan apa. Tetap tak ada kata cinta yang terucap dari mulut kami. Membisu saja. Tapi kami merasakannya.

‘bagaimana kau melewatinya?’

‘tak tau San, hanya ibu yang mampu mendengarkanku’

Aku menangis terisak saja. Sandi diam saja, tak juga mampu bergeming. Tak ada rasa yang akan tersembunyi ketika bersamanya. Saat aku menangis, saat aku tertawa, saat aku tergelak, aku marah, hanyalah Sandi. Kali itu kulihat Sandi kebingungan dan dengan tangan bergetar memegang tanganku. Menariknya dan merangkulku. Mengusap air mataku dan membiarkan aku memangis sesenggukan hingga aku letih.

Ya. Sandi laki-laki pertama yang membuat aku jatuh cinta. Laki-laki pertama yang membuat aku mampu merasakan bahwa aku ini ada dan berada. Tiga tahun duduk dibangku sekolah menengah atas membuatku tak mati rasa. Sandi seringkali menghampiriku atau sekedar memberiku sepotong coklat batang untuk cemilan siangku. Sandi sangat mengerti, mulutku tak mampu berhenti mengunyah. Aku juga tak mampu belajar dengan baik jika tak ada coklat. Sandi seringkali menyelinapkan coklat di laci mejaku dan diam-diam memberitahu wali kelasku tentang kebiasaan anehku ini.

Tentu saja sandi melakukan perbuatan tidak baik, dia berkolusi dengan bibinya yang notabene wali kelasku, untuk membiarkanku sesekali mengunyah di kelas. Kadang aku malu sekali, tapi kadang aku menikmatinya. Aku bisa tidak tidur jika belum menyikat gigiku seperti itu pula dengan coklat. Aku tak mampu belajar matematika dengan baik jika tak mengunyah coklat. Terakhir kali, Sandi selalu istimewa. Selalu saja istimewa. Tak bisa kubayangkan, bagaimana Sandi menyisihkan uang jajannya hanya untuk memberiku sepotong coklat tiap minggunya.

Aku tersenyum simpul saja mengingat semua itu. Tak akan terlupa. Entah dimana Sandi sekarang. Apakah dia masih menungguku. Apakah dia masih saja menatapku dari jauh. Atau sekedar mengingatku dikala malam. Aku pula merasa bersalah, bingung dan tak tau harus mengatakan apa. Kala itu aku duduk dibangku kuliah. Tak akan kulupa bagaimana Sandi mulai mengatakan akan meninggalkanku untuk fokus melanjutkan pendidkannya. Dia memilih menjadi seorang ahli hukum dan melanjutkan sekolah di Belanda.

‘curang, aku yang ingin sekali sekolah kesana’, jeritku memukul tanggannya.

Sandi mendapat full beasiswa, dan ternyata Sandi melanjutkan masternya di Belanda. Awalnya email, skype dan semua alat telekomunikasi bersifat maya adalah jalan untuk kami berkomunikasi. Namun, pada akhirnya kesibukan nyata membuat kami benar-benar melupakan kebiasaan Saturday night setiap minggunya. Aku menyibukkan diri dengan seabrek aktivitas kuliah, teater, menulis diary hingga menghadiri pameran-pameran atau mengikuti training-training.

Buku-buku mengenai seni dan sastra khususnya teater selalu dikirim oleh Sandi sebagai hadiah untukku jika aku berulang tahun. Hingga saat ini, aku yakin, Sandi masih menyisihkan uang jajannya, bahkan uang saku dari beasiswanya untuk membelikanku buku-buku. Tak lupa pula beberapa coklat batangan yang dikirimnya untukku setiap bulannya. Hingga akhirnya aku terlupa kapan terakhir kalinya Sandi mengirimkan coklat untukku.

Aku merindukannya kali ini. Aku merindukannya dikala mengingat. Tak boleh lagi. Kutepis saja. Sandi berhak mempunyai hidup yang lebih layak. Berhak mendapatkan penghidupan yang baik, tentu juga dengan orang-orang yang dikasihinya.

Ah, Sandi. Cinta pertamaku. Tak akan terlupa. Terlalu datar mengingatnya. Terlalu datar. Lebih tepat aku merasakan semua cinta untuknya. Hingga tak ada kata berpisah. Tak ada kata cinta, yang ada hanya rasa yang tersimpan untuk masa lalu. Jika dia masih menungguku hingga waktunya tiba. Aku pula menunggunya. Walau aku menyakitimu, seperti ibu pula. Aku tak pernah meninggalkanmu. Aku hanya ingin bermain dan tersesat. Ingin kuteriak, bawa aku kembali.

Aku menangis tersedu-sedu. Tak ada Sandi. Hanya buket mawar Robert saja. Tak ingin kuungkap siapa Robert. Hari ini aku hanya ingin Sandi saja. Walau hanya menginga melalui tulisan. Aku menuliskan tentang hari ini di diaryku. Tentang Sandi lagi. (J50K 1178)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun