Tuhan, sebuah nama yang kita kenal sebagai sebab terjadinya hidup. Dia yang mencipta, dan memberi nafas kehidupan. Tapi siapakah sebenarnya Tuhan itu? Kenapa kita begitu percaya dalam dia, sampai-sampai mengikutinya?
Dua pertanyaan itu menjadi awal keingintahuan lebih perihal Tuhan, Sang Empunya hidup. Bukan karena meragukan tapi ingin mengerti esensinya tanpa terjebak sekian banyak ajaran yang semakin mengaburkan bukannya menjelaskan.
Tak sedikit orang yang bingung ketika diberi pertanyaan akan Tuhan. "Tuhan itu ya Tuhan, kamu tidak percaya akan Tuhan?". Fenomena yang aneh ketika menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lain yang bahkan sangat menyudutkan. Mungkin tak hanya menyudutkan, tapi meragukan hal yang (mungkin) dia sendiri juga ragu. Aneh memang, tapi itu menunjukkan seberapa tahu dia akan Tuhan.
Mungkin benar bahwa sampai detik ini kita terjebak dalam ajaran dogmatis tentang Tuhan. "Jangan terlalu banyak kau mempertanyakan Tuhanmu jika kau percaya padanya." Kalimat ini menyiratkan bahwa Tuhan itu menjadi hal yang tak bisa dimengerti tapi kita 'dipaksa' mempercayainya. Kita seperti tidak boleh bertanya lebih akan Tuhan, Sang Empunya hidup. Bila kita bertanya lebih jauh, tentu ganjaran berupa anggapan bahwa kita tak percaya akan Tuhan pun muncul.
Cerita lain muncul ketika konsep Tuhan ini dikaitkan dengan perbedaan. Berbeda soal hal apa? Ya tentu konsep akan Tuhan. Konsep yang sampai saat ini selalu berbeda pada setiap individunya. Memang menjadi hal yang lumrah, karena pemaknaan akan sesuatu selalu dipengaruhi banyak aspek. Apalagi ketika berbicara tentang konsep Ketuhanan. Suatu hal yang sebenarnya sederhana tapi memiliki penjelasan yang tak sesederhana kelihatannya.
Konsep tentang Tuhan saja sudah berbeda bagaimana ketika berbicara soal agama? Padahal kita tahu, Tuhan itu Esa, hanya ada satu. Lalu agama? Lewat beberapa dialog dan bacaan, muncul anggapan bahwa agama hanyalah konstruksi manusia. Kita sendirilah yang menciptakan agama-agama tersebut. Maka dari itu muncul anekdot "Tuhannya satu agamanya banyak."
Karena banyaknya ajaran agama, tentu muncul poros perspektif yang akhirnya membuat seolah agamanya lah yang paling baik dan benar. Padahal kita tahu, sejatinya semua agama itu baik. Tapi karena manusia sangat susah mengurangi unsur subyektivitasnya, jadilah arogansi malah mengikis nilai-nilai agama yang pada dasarnya baik. Dampaknya adalah toleransi akan perbedaan menjadi nihil. Semua dipaksakan sama tanpa melihat bahwa sedari awal Tuhan tak pernah menciptakan sesuatu yang benar-benar identik. Tuhan memberikan kita keunikan dalam setiap individunya. Masih ingin selalu sama? Akan sangat membosankannya hidup dan dunia ini.
Bahkan sangat disayangkan ketika sebuah relasi manusia yang awalnya baik, akhirnya memburuk setelah tahu agama yang dianutnya berbeda. Bukankah agama itu hanyalah media yang memberikan seperangkat ritual untuk kita berkomunikasi dengan Tuhan Esa? Ataukah media pembeda umat manusia? Mungkin telah terjadi pembodohan sistematis sejak dulu.
Kita sendiri yang membuat jarak antara diri kita lewat label agama yang sejujurnya hanyalah tempelan. Mengapa disebut tempelan? Karena sebagian besar agama yang kita sandang ini adalah agama warisan. Kita tidak benar-benar memilihnya sendiri. Pernahkah terpikir untuk memilih agamamu sendiri? Menyesuaikanya dengan panggilan hatimu?
Label agama ini sebenarnya membuat kita menjadi semakin terkotak-kotak. Mereka membedakan diri berdasarkan agamanya. Perbedaan agama pun menjadi hal yang sangat sensitif dan tak jarang menimbulkan konflik.
Agama yang seharusnya menjadi hal privat terkait komunikasi dengan Tuhan kini sudah dikomodifikasikan. Beberapa oknum menggunakan label agama ini untuk melakukan pembenaran atas tindakan melanggar hukumnya. Bahkan mengatasnamakan agama untuk melukai pemeluk agama lain. Bukankah melukai atau menyakiti sesama manusia itu merupakan sebuah tindakan berdosa? Seharusnya hal ini ada dan diajarkan dalam setiap agama. Ataukah dikerucutkan hanya pada sesamanya yang seiman?
Kisah lain tentang perbedaan juga sering muncul. Hal ini sering terjadi dalam sebuah hubungan cinta dua anak manusia yang tak bisa bersatu karena jurang pemisah bernama agama. Banyak yang menyerah tak sedikit yang masih bertahan. Ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh konstruksi agama. Sebenarnya kita perlu menyederhanakan pemahaman bahwa Tuhan itu Esa, dan agama hanyalah cara kita berkomunikasi dengan Sang Maha Esa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H