Oleh Anggertimur
Radio Magno adalah radio berbahan kayu yang tetap menjaga kesan klasik di tengah modernitas zaman. Produk asli Kandangan, Temanggung, Jawa Tengah ini malah menjadi primadona di pasar internasional. Negara dan kota-kota besar di Eropa, Amerika, dan Jepang menjadi tempat pemasarannya. Lewat kesan klasik dan simple inilah pasar dibuat terpikat. Daya pikat ini disisipkan oleh sang kreator, Singgih Susilo Kartono, desainer sekaligus owner radio Magno. Magno yang diambil dari kata dalam bahasa Inggris ‘magnify’ menjadi filosofi radio ini. Singgih ingin agar perhatian kita terpusat pada sesuatu yang kecil, mendetail, simple, dan indah layaknya kita melihat sesuatu lewat lup (magnifying glass). Filosofi ini muncul karena kecintaannya pada desa kecil bernama Kandangan, tempat tinggalnya sejak kecil. Singgih ingin memajukan desa kecil nan indah yang di kelilingi pegunungan Sindoro-Sumbing ini. Kini setelah radio Magno, dia sedang merintis gerakan socialpreneurship. Sebuah gerakan yang dinamai Spedagi (Sepedaan Pagi-pagi). Ide yang muncul ketika Singgih bersepeda ini memantik sebuah pemikiran besar untuk menjaga, merawat dan mengembangkan naturalitas desanya lewat pelbagai disipin ilmu. Berikut ini petikan wawancara Anggertimur reporter Sumbo Institute (sebuah lembaga yang bergerak untuk memajukan industri kreatif di Indonesia) bersama sang empunya Radio Magno Singgih Susilo Kartono yang diwawancarai di rumahnya yang asri, desa Krajan Kandangan, Temanggung, Jawa Tengah. Produk Bagus Tidak Harus Dari Kota Anggertimur: Selamat siang mas Singgih, Spedagi (Sepedaan Pagi-pagi), Anda klaim sebagai CSR dari radio Magno, mohon penjelasan atas konsep Spedagi tersebut? Singgih Susilo Kartono: Sebenarnya sih, kalo akhirnya saya jadikan CSR untuk Magno itu lebih ke teknis kelembagaan. Magno ini kan ada duluan karena saya harus pulang dan saya harus mandiri, dan saya harus punya karya yang diakui, sehingga saya bisa membangun network, kerjasama, kepercayaan dibanyak pihak. Magno itu sebenarnya hanya membuktikan bahwa kegiatan membuat produk yang bagus tidak harus selalu di kota, bahkan dengan kualitas desain kelas satu itu bisa dilakukan di sebuah desa. Dengan kondisi yang sebenarnya sangat terbatas sekali, karena di sini tidak ada perajin yang punya ketrampilan, infrastruktur industri kreatif yang saya lakukan juga itu sangat terbatas, kayu saya harus nyari, prosesnya dibanyak tempat, kemudian peralatan saya harus akali sendiri. Magno ini sebenarnya tools bagi saya, jadi satu alat bagi saya untuk survive, satu alat bagi saya untuk membuktikan bahwa di desa pun bisa kita membuat suatu aktivitas yang kelas dunia seperti itu. Yang kemudian membantu sebenarnya adalah kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang membuka sekat bahwa satu wilayah yang secara geografis tidak ada di kota itu ternyata sekarang memiliki akses internasional yang sama dengan mereka yang ada di mana pun. Ideologi Desa ‘’Tapi di balik Magno itu sebenarnya ada cerita besar bahwa ideologi saya itu adalah desa,’’ ungkap Singgih sambil menegaskan, ''Jadi di balik cerita besar saya itu sebenarnya mimpi saya tentang bagaimana membuat desa yang maju, bagaimana membuat desa yang bisa mandiri, bagaimana membuat suatu desa itu berkembang sesuai dengan potensi yang dia miliki. Karena desa itu punya potensi yang sangat-sangat luar biasa. Makin lama dugaan saya itu menjadi semakin jelas, karena yang terakhir kan isu lingkungan semakin kuat.‘’ Singgih pun menyimpulkan, bahwa kehidupan yang lestari itu sebenarnya hanya akan bisa diraih di suatu komunitas kecil. Kemudian komunitas itu harus punya satu kemampuan untuk memproduksi salah satu kebutuhan pokok, adalah pangan. ‘’Semuanya itu ditemukan di desa. Kemudian yang memperkuat lagi, kemajuan teknologi informasi itu semakin lama memberikan peluang yang semakin besar ke orang untuk tinggal di satu tempat yang secara geografis terpencar. ‘’ Aktivitas Kebetulan Anggertimur: Bagaimana dengan konsep pengembangan desa yang Anda gerakkan selama ini? Singgih Susilo Kartono: Saya orang yang sebenarnya bukan tipe planner, saya orang yang terus sibuk mencari dengan suatu cara yang sering sekali saya temukan melalui suatu aktivitas yang kebetulan. Saya juga menemukan bahwa reaksi orang ketika difoto itu ya kalau orang kampung kan selalu ngomong, “wah saya belum mandi” juga tidak nyaman kalau difoto. Ya walau pun anak-anak yang muda yang narsis dan minta difoto itu juga banyak. Nah hal seperti itu mengingatkan kembali pada satu pemikiran lama, gagasan-gagasan lama, ide-ide lama tentang pengembangan desa, saya pernah mencoba dengan cara yang serius, menulis buletin, membuat kelompok diskusi, masuk ke struktur di pemerintahan desa, pernah jadi anggota BPD. Tapi keluar karena selalu kalah voting. Tapi itu sebenarnya akumulasi dari pemikiran-pemikiran yang tidak pernah saya hentikan untuk selalu saya mencari solusi. Kemudian yang kedua, saya melihat bahwa, ada banyak hal yang kemudian juga sambil saya bersepeda itu ada situasi-situasi di mana permasalahan itu menjadi semakin akut. Dan kerusakan di desa itu sangat-sangat cepat. Sampai saya nyebut, sekarang itu emergency architecture pedesaan. Jadi kondisinya sudah gawat daruratlah. Anggertimur: Kenapa? Singgih Susilo Kartono: Karena banyak sekali perumahan lama di desa-desa tiba-tiba berubah menjadi bangunan baru yang sama sekali tidak ada akar budaya dari bangunan yang sebelumnya. Akarnya ya diambil dari akar televisi, sinetron dan segala macamnya. Saya melihat itu sebagai satu hal yang bagi saya itu selalu menghawatirkan, cemas, melihat kondisi seperti itu. Ini satu hal yang saya pikir harus diselesaikan, dicarikan solusi. Kemudia juga jalan-jalan batu di desa yang kemudian mulai berubah ditutup semen atau aspal. Dan juga permasalahan ekonomi, kaya petani yang bikin batu bata dan sebagainya. Dengan berspedagi ini saya melihat, saya bisa menyelami dengan mengamati, ngobrol dengan masyarakat. Dan saya melihat bahwa ada satu kondisi di mana masyarakat itu memang melihat semua yang saya lihat bagus, saya lihat menarik itu sebagai sesuatu yang sudah membosankan. Sudah sehari-hari. Semua ini kemudian mendorong saya untuk mencari solusi. Anggertimur: Apa Solusinya? Singgih Susilo Kartono: Spedagi ini kemudian menjadi sesuatu yang saya pikir menjadi solusi yang sangat baik. Karena pada satu sisi, dia membawa hal yang berbeda dengan pendekatan saya yang lama. Yaitu adalah dia fun, dan bersepeda di pedesaan itu sesuatu yang sangat menarik buat orang luar. Ya saya bersepeda itu saya posting di facebook dan orang exicting apalagi melihatnya pada saat setelah menghadapi kemacetan di Jakarta. Bisa nikmat bener nih hidup di sana. Jadi Spedagi itu sebenarnya akhirnya dirumuskan seperti itu karena kebetulan, karena waktu itu saya tes kolesterol saya tinggi, dan saya tidak yakin bahwa bisa mengurangi dari makanan, akhirnya saya nyari dengan bersepeda, dan kebetulan di sini ada sepeda, dan kebetulan juga karena di rumah ada kamera, jadi bersepeda itu membuat saya tidak capek karena setiap saat berhenti dan mengabadikan apa yang saya lihat. Kemudian mulai timbul pertanyaan, ketika saya amati obyek-obyek yang saya foto itu menarik bagi saya. Secara fotografis ini eksotis, yang paling menarik kan memotret orang yang sudah tua renta, rumah yang sudah bobrok, kemudian ada lingkungan alam yang indah, jalan-jalan yang bagus. Anggertimur: Bagaimana peluang Spedagi? Singgih Susilo Kartono: Spedagi ini menjadi suatu peluang yang saya lihat. Berkeliling desa itu sebenarnya sebuah tour. Dia memiliki daya tarik. Kemudian saya melihat ada suatu kebutuhan dari masyarakat itu untuk memperoleh endorsement dari pihak orang yang tidak dikenal atau orang dari peradapan yang dianggap lebih maju untuk ngomong seperti itu. Nah Spedagi ini punya peluang untuk menarik itu. Dan saya sudah coba dengan mengajak beberapa tamu saya berkeliling, dan memang exciting buat mereka. Dan mereka menemukan banyak hal yang baru. Karena setiap saya jalan dengan mereka saya selalu menjelaskan, kenapa ini begini, ini apa, seperti itu. Ini yang saya lihat bahwa Spedagi akan menjadi sesuatu yang justru menjadi wadah atau badan atau tools yang bisa merealisasikan ide-ide tentang revitalisasi desa. Makanya saya sebut Spedagi sebenarnya gagasannya lebih gede dari Magno. Sebenarnya kalau ngomong cita-cita saya yang paling besar adalah mengembalikan desa memiliki potensi dasarnya. Desa punya lahan sawah yang di mana orang bisa panen dari sawah itu. Dan hasil sawah itu bisa mencukupi kebutuhan masyarakat di desa. Mereka bisa memproses makan ataupun semua bahan yang ada di sini untuk bisa jadi memberikan lapangan pekerjaan bagi mereka. Bisa membuat suatu aktivitas pendidikan yang kontekstual, jadi tidak harus di kota besar. Spedagi itu lebih seperti pengejawantahan atau cara saya untuk merealisasikan gagasan-gagasan merevitalisasi desa. Jadi justru sebenarnya Spedagi yang lebih gede (Bersambung …)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H