Minggu pagi di awal bulan ketiga ini bergumul mendung dan hujan lebat. Rasanya awal perjalanan pun tak akan sempat dimulai. Namun, berbekal semangat belajar yang tak redup, hujan sedari Desa Bengkala pun ditembus. Berharap dapat segera sampai di kediaman Ketut Arthana. Dialah arsitek yang akan menjadi pencerita sekaligus penuntun perjalanan arsitektural berbalut historis Desa Tejakula, Buleleng, Bali.
Sembari menunggu hujan memberi jeda, Ketut Arthana mempersilahkan duduk lesehan, melingkar di ruang utama kediamannya. Dia bercerita tentang kediamannya yang ternyata peninggalan sang Ibunda. Sebuah tempat bernaung dengan nuansa alami yang begitu sejuk menyapa sedari masuk di dalamnya. Ini sebab sang Ibunda yang bersikeras menjaga pepohonan tetap ada di tempatnya. “Ibu saya tidak memerbolehkan menebang pohon di sini saat proses pembangun rumah,” kenangnya.
Di tengah obrolan yang hampir habis terjalin, langit utara Bali mulai menampakan senyumnya. Segera, rombongan arsitek muda yang tergabung dalam program Rumah Intaran, “Belajar dari Desa” bersiap memulai perjalanan. Perjalanan ini menyaratkan kami mengenakan kamben, kain motif, penutup pinggul hingga kaki. Tujuannya menghormati budaya lokal Bali saat hendak memasuki Pura.
Keliling Desa
Dengan langkah gempita, kami mengekor Ketut Arthana menyusuri Desa Tejakula. Menilik setiap sudutnya sambil sesekali mengabadikan obyek unik nan menarik lewat kamera pribadi. Bahkan tanpa sadar menemui gaya arsitektur asimetris yang digunakan pada bangunan lawas Bali. Menurut penuturan Ketut Arthana, gaya ini malah memberikan unsur keseimbangan atau dynamic balance. Sebuah kebaruan yang ternyata sudah ada sejak dahulu.
Sepanjang jalan, sekilas yang terdengar hanya obrolan seputar gaya arsitektur Bali Aga atau Bali Mula, sebutan untuk desa tua di Bali. Namun ternyata tak terbatas pada persoalan arsitektur saja, nilai historis serta budaya pun ikut diangkat. Di sela perjalanan, Ketut Arthana menceritakan kisah Anantaboga, sosok ular raksasa mitologi Hindu yang tervisualisasi lewat jejak ukiran, saat singgah di Pura Dalem. “Anantaboga berarti makanan yang tak pernah habis, dimaknai sebagai gambaran dunia itu sendiri. Sehingga ketika terjadi gempa bumi, itu pertanda bahwa sang Anantaboga sedang bergerak,” jelasnya.
Dalam perjalanan arsitektural berbalut historis ini, Gede Kresna mendampingi Ketut Arthana. Dia adalah arsitek kenamaan Bali, pemilik Rumah Intaran Arsitektur Studio, yang juga menjadi inisiator program “Belajar dari Desa”. Mereka berdua saling mengisi saat menjelaskan gaya arsitektur Bali tempo dulu pada para arsitek muda yang antusias memelajari gaya arsitektur Bali. Gede Kresna menuturkan, Rumah Intaran lewat program “Belajar dari Desa” ingin memberikan pembelajaran alami dari desa, melalui narasi visual yang terpatri dalam wujud karya arsitektur.
Kegiatan perdana “Belajar dari Desa” ini menjadi sangat menarik karena diikuti arsitek muda dari pelbagai daerah seperti: Bali, Bandung, Jakarta, Solo, serta Yogyakarta. Mayoritas adalah fresh graduate yang baru mulai berkarir sebagai arsitek.
Narasi Visual
Perjalanan kembali dilanjutkan, menyusuri lekuk eksotis Desa Tejakula. Sampai Ketut Arthana mengajak singgah di Pura Desa. Di pelataran Pura ini terdapat Bale Ageng di sisi timurnya. Sebuah bangunan mirip rumah panggung versi mini yang digunakan masyarakat adat untuk berkumpul.
Ada dua bagian menarik dari Bale Ageng, yakni Bale Panjang dan Bale Pegat. “Bale Panjang digunakan sebagai tempat diskusi, dan ada kesepahaman bahwa siapa yang ada di sana tidak boleh turun atau keluar dari Bale sebelum perundingan selesai. Sementara Bale Pegat digunakan sebagai tempat mengucap sumpah di hadapan masyarakat dan pencipta,” jelas Gede Kresna.
Hal seperti inilah yang menurut Gede Kresna perlu dipahami serta dipelajari. Karena banyak sekali informasi yang tidak tertulis namun tergambarkan lewat narasi visual di dalam gaya arsitektur sebuah bangunan. Secara implisit Gede Kresna dan Ketut Arthana ingin menitipkan pesan pada arsitek muda untuk menyeimbangkan modernitas dan nilai budaya yang seiring sejalan harus terus dijaga.
Narasi visual berikutnya tersemat pada empat pelinggihan di Pura Syahbandar. Pura ini hanya berjarak 500 meter dari bibir pantai utara Bali. Karena dahulu Singaraja merupakan salah satu kota pelabuhan, maka banyak pedagang yang singgah dan sembahyang di sini. Pura ini menjadi saksi bisu tempat sembahyang empat kepercayaan berbeda namun saling berdampingan.
Disimbolkan dengan pelinggihan Ratu Bagus Mas Petingan (Bali), Ratu Bagus Mas Subandar (China), Ratu Ayu Jong Galuh (Jawa), dan Ratu Gede Serabad (Arab). Keempat pelinggihan ini secara visual menarasikan keberagaman yang saling berdampingan. Sebuah pesan damai yang sejak dahulu sudah dicontohkan para leluhur.
Perjalanan inspiratif sarat narasi visual ini diakhiri dengan menyusuri pantai utara Bali sambil berkejaran dengan gerimis. Sesampainya kembali di kediaman Ketut Arthana, letih setelah tujuh kilometer berjalan kaki terbayar lunas. Dahaga telah diredakan segelas air asam jawa bercampur gula aren yang disisipi lapisan mentimun segar dan kacang goreng renyah.
*)Anggertimur Lanang Tinarbuko adalah Creative Storyteller Gregostory, serta Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, Univesitas Atma Jaya Yogyakarta
e: anggertimur@gmail.com | t: @anggertimur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H