Mohon tunggu...
anggerprayekti
anggerprayekti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa 23107030007 UIN Sunan Kalijaga

ENTJ-A | artistik | book | film | fotografi | desain | musik | menulis apa yang aku suka dan apa yang ingin aku bagikan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Melipat Jarak: Jerih Payah Pedagang Kaki Lima di Balik Peraturan Pemkot Yogyakarta

26 Mei 2024   23:50 Diperbarui: 27 Mei 2024   00:00 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jamu - Dokumentasi Pribadi

Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta berupaya untuk menjadikan kawasan Malioboro sebagai pedestrian. Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) menjadi salah satu sasaran yang terus dilakukan dengan menempatkan satpol PP yang berpatroli di beberapa titik lokasi. Namun, bagi sisi Pedagang Kaki Lima sendiri, kebijakan tersebut merugikan mereka karena otomatis mereka hanya bisa menetap di gang-gang dan menunggu pembeli menghampiri, padahal persaingan penjualan di Malioboro tergolong ketat sekali. Karena hal itu, banyak pedagang yang mencuri-curi kesempatan untuk berkeliling dan keluar dari gang yang telah ditetapkan. Di balik situasi yang pro kontra ini, terdapat jerih payah para pedagang untuk mempertahankan kehidupan masing-masing.

 Wiwik, seorang penjual jamu keliling telah bekerja sebagai penjual jamu sejak 15 tahun yang lalu dan menetap berjualan di Malioboro. Sebelum menjajakan jamu seorang diri, Wiwik ternyata pernah mengikuti ibunya yang merantau ke Yogyakarta demi berjualan jamu. Karena ibunya telah menua dan sakit-sakitan, akhirnya Wiwik memutuskan untuk membawa ibunya kembali ke Solo, tepatnya ke kampung halaman mereka. Kemudian, ia pun kembali ke Yogyakarta dengan dagangannya sendiri.

Ketika ditanya mengapa memilih berjualan jamu lagi, Wiwik (24/5/2024) mengatakan bahwa, "Saya kepingin usaha, pengin cari uang sendiri. Karena ibu memang jualan jamu di Jogja, saya ikut ke sini. Tapi setelah ibu sakit, yaudah saya lanjutin aja. Karena mau usaha apa lagi?"

Jamu - Dokumentasi Pribadi
Jamu - Dokumentasi Pribadi

Seorang diri Wiwik tinggal di Yogyakarta untuk berjualan jamu. Dari pukul setengah empat subuh ia meracik jamu dan berangkat ke Malioboro pukul enam pagi. Di jam sepuluhan, Wiwik akan kembali ke kos karena  biasanya ada satpol PP keliling untuk menertibkan para pegadang kaki lima. Di jam tiga sore, Wiwik akan kembali ke Malioboro dan berkeliling. Katanya, "Susahnya jualan itu kalau ada petugas. Kan nggak boleh pegadang kaki lima jualan di sini, bolehnya di gang-gang aja. Kalau ada petugas, saya harus cepat-cepat pergi. Saya pernahnya kena tegur. Nggak boleh di sini, gitu katanya. Jadi saya berusaha untuk menghindari petugas."

Kata Salma (24/5/2024), pembeli jamu Wiwik, "Padahal jamu Ibunya enak banget. Saya pecinta jamu dan sampai beli dua kali karena saya bisa rasain ya, mana jamu racikan sendiri, mana jamu yang bubuk itu, mana jamu simpenan, dan mana yang masih fresh. Awalnya iseng aja beli kok ngepas ada tukang jamu, eh ternyata cocok di lidah saya." Akan tetapi, Salma juga turut prihatin dengan kondisi "kucing-kucingan" yang Wiwik lakukan, apalagi Wiwik bukan warga lokal dan merantau demi menyambung hidupnya dengan sang ibu.

Selain Wiwik, Daryanto mengalami perjuangan yang serupa. Demi menjadi tulang punggung keluarga, Daryono setiap hari berjualan es potong di Yogyakarta. Setiap hari Senin hingga Jumat Daryanto berjualan di Universitas Islam Indonesia, sedangkan pada tanggal merah atau weekend, Daryanto akan berjualan di sepanjang jalan Malioboro.

"Saya ngelaju dari Klaten, Mbak. Biasanya berangkat jam 10 dari rumah sampai sini jam 11. Jualannya siang. Kalau pagi cari rumput pakan sapi dulu soalnya. Pulangnya nggak nentu kadang sampai jam 9 malem. Kalau sehariannya sih di UII, lebih deket ke sana daripada ke Malioboro. Saya juga sering di UIN kalau ada wisuda," aku Daryanto saat ditemui tengah berjualan es potong di pinggir jalan (24/5/2024).

Sama dengan yang dirasakan oleh Wiwik, Daryanto juga merasakan sulitnya berjualan di Malioboro karena kejar-kejaran dengan petugas. "Payung saya ini sampai diminta," ungkapnya ketika ditanya pernahkah tertangkap petugas yang berpatroli.

"Untuk harga 5 ribu es bapaknya worth it  banget. Biasanya di sini dijual 10 ribu. Sayangnya harus kejar-kejaran sama satpol PP. Kalau menurut saya, tadi saya juga sempet ngobrol sama PKL gitu, harusnya mereka diberi tempat yang keliatan. Nggak cuma di gang-gang karena pertama, persaingan pedagangnya udah ketat, kedua nggak kelihatan, kasian. Sekiranya tuh dikasih fasilitas yang lebih memerhatikan hal itu biar rame, keliatan orang. Kalau di gang kan nggak banyak orang yang masuk, pedagang kaki lima juga pasti berontak dari aturan," pendapat Fasya, pembeli es potong Daryanto (24/5/2024).

Ia juga mengatakan bahwa melihat kondisi jalan pedestrian yang sempit, para pedagang tadi bisa diberi fasilitas tempat berjualan yang sederet dengan toko, tetapi tidak masuk gang. Hal ini dapat menghindari bentrok antara peraturan, petugas, dan pedagang kaki lima karena rata-rata dari mereka adalah warga non lokal yang merantau bahkan melaju dari kampung halaman masing-masing. Otomatis, mereka tidak akan membiarkan dagangannya diam saja di satu tempat tanpa ada pemasukan. Jika tidak segera ditangani, bisa berefek mempersulit petugas dengan banyaknya pedagang kaki lima yang melanggar aturan demi bisa makan dan mempertahankan kehidupannya.

Kembali lagi pada kebijakan, Pemkot Yogyakarta tampaknya harus kembali memikirkan cara dan upaya apa yang dapat menjadi penengah agar peraturan yang berlaku dapat ditaati oleh para pedagang kaki lima tanpa adanya perlawanan dan pemberontakan baik secara kasar ataupun secara halus seperti yang sering terjadi, yaitu nekat berjualan di jalan pedestrian sambil menghindari satpol PP.

"Nggak salah kok petugas menertibkan, kan udah peraturan. Tapi emang harus segera dicari jalan keluarnya demi kesejahteraan warga lokal juga karena ya itu, nggak semua pedagang dari luar Yogyakarta, kesejahteraan mereka juga harus diperhatikan," papar Salma, menutup sore hari itu dengan renungan; bagaimana agar jalan pedestrian kembali menjadi tempat yang rapi, tetapi juga mampu memberikan akses bagi pedagang yang bekerja keras hingga melipat jarak dan menerabas waktu demi memperjuangkan kehidupan masing-masing?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun