Mohon tunggu...
anggerprayekti
anggerprayekti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa 23107030007 UIN Sunan Kalijaga

ENTJ-A | artistik | book | film | fotografi | desain | musik | menulis apa yang aku suka dan apa yang ingin aku bagikan

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Ramadhan Era 90-an: Bulannya sama Rasanya Berbeda

8 Maret 2024   14:30 Diperbarui: 17 Maret 2024   14:41 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Freepik Free Download

Ramadhan menjadi bulan suci yang selalu dinanti-nantikan oleh seluruh umat islam dari berbagai belahan dunia. Di Indonesia sendiri, terdapat banyak kebiasaan yang dilakukan masyarakat menjelang Ramadhan dan ketika bulan penuh ampunan ini berlangsung selama satu bulan penuh setiap satu tahun sekali. Sayangnya, di era digital ini, anak-anak yang lahir atau besar bersamaan dengan globalisasi dan maraknya gadget tidak bisa merasakan seutuhnya apa yang dulu dirasakan oleh generasi-generasi sebelumnya dalam memeriahkan bulan Ramadhan, terutama generasi 90-an di mana sebenarnya generasi itu adalah generasi terakhir sebelum smartphone dan digitalisasi besar-besaran merambah hingga ke anak-anak.

Memangnya, apa kegiatan menarik yang dulu mereka lakukan?

1. Berangkat Tarawih setelah Salat Maghrib

Biasanya anak-anak akan berangkat tarawih setelah salat Maghrib, bahkan adzan Isya saja belum berkumandang. Kalau sudah sampai masjid yang terlihat hanya para orang tua di barisan terdepan. Karena punya niat terselubung pergi ke masjid lebih awal, anak-anak akan mengambil barisan pojok belakang.

Setelah itu, anak laki-laki akan bermain di pelataran masjid, contohnya seperti bermain petak umpet atau lempar selop kalau tidak akhirnya setelah salat ada orang kebingungan mencari sandalnya yang ternyata nyangkut entah di mana. Anak-anak perempuan akan membawa jajan. Kalau tidak ditegur mereka akan makan di pojok belakang, kalau ditegur mereka akan ke pelataran masjid juga dan nongkrong di sana sambil curhat.

Anak-anak ini paham kalau di dalam masjid tidak boleh berisik, tetapi karena sama gengnya dan tidak bisa mengantisipasi ketawa, mereka bisa salat sambil bercanda. Dibilang hal yang buruk iya karena mengganggu jamaah salat, tetapi sebenarnya itu juga proses mereka belajar untuk menghargai khidmatnya salat. Ketika besar nanti mereka akan sadar bahwa apa yang mereka lakukan tidaklah baik.

2. Main Petasan Ramai-ramai

Yang sering bikin orang jantungan adalah petasan. Karena tahu bakal bikin onar kalau ada petasan yang jedar-jeder, anak-anak biasanya akan membawa petasan banting yang ukurannya kecil dan bisa dibuat bermain ramai-ramai. Kalau anak perempuan ikut biasanya akan membawa kembang api dan petasan gangsing.

Main petasan banting dan kembang api ini tidak hanya dilakukan di depan rumah teman saja, tetapi di pelataran masjid juga setiap sebelum atau setelah salat tarawih.

3. Bangun Subuh Membangunkan Sahur

Anak zaman dulu tergolong rajin bangun pagi, apalagi kalau gunanya untuk ikut keliling kampung dan teriak, "Sahurrrrr, sahurrrr!" untuk membangunkan orang yang masih bermimpi ketika menjelang subuh atau sebelum imsak. Jadi, tidak cuma orang yang bertugas saja, anak-anak ini biasanya ikutan keliling dan terkadang sambil membawa senter, obor, dan petungan.

Kalau tidak ikut keliling, anak-anak ini justru cepat-cepat bangun sebelum orang rumah bangun agar dianggap keren. Kalau orang rumah sudah bangun, dia akan membantu menyiapkan makanan sebelum sirine imsak berbunyi.

4. Jalan-Jalan atau Joging Bersama setelah Kultum Subuh

Kebiasaan lainnya adalah ikut kultum subuh dan jalan-jalan setelahnya. Biasanya anak-anak akan janjian untuk jalan-jalan atau joging di pagi hari setelah kultum subuh di masjid. Kalaupun tidak ikut kultum subuh, mereka tetap akan melakukan aktivitas bersama itu sebelum jam enam pagi karena biasanya setelah jam enam pagi orang akan mulai berlalu-lalang dan jalanan padat kendaraan.  

5. Bersepeda Keliling Kampung sambil Menunggu Buka Puasa

Kalau pagi hari mereka joging, sorenya geng anak-anak atau yang mau-mau aja untuk sepedaan bareng akan berkumpul di satu titik. Kemudian mereka akan menggowes sepeda keliling kampung sesuai rute yang telah disepakati untuk membunuh waktu dan menunggu sirine berbuka berbunyi nyaring dari segala penjuru.

6. Berebut Minta Tanda Tangan Imam Tarawih

Terakhir, yang rasanya bikin cemas bermalam-malam adalah minta tanda tangan ustaz atau imam tarawih untuk keperluan buku kegiatan Ramadhan dari sekolah. Kalau introvert pasti bakalan sabar di belakang menunggu kerumunan bubar, kalau ekstrovert teman lagi jalan pun bakal disalip supaya cepat-cepat dapat tanda tangan.

Terkadang kalau tidak dapat anak-anak akan berpikir, "Isi sendiri aja ya? Nggak apa-apa kali, ya. Ibu guru nggak bakal tahu." Padahal, tanda tangannya terlihat sekali meniru atau dibuat-buat.

Memori penuh kenangan dan kebahagiaan dari hal-hal kecil inilah yang saat ini sulit ditemukan karena pengaruh gadget. Anak-anak cenderung individualisme dan ketika ada sebuah momen kebersamaan justru fokus pada gadget masing-masing.

Sulit untuk merumpi bareng lagi, sulit untuk bermain dengan keringat seperti dulu. Sepak bola? Iya memang berkeringat, tetapi tidak ada yang lebih kesal sekaligus menyenangkan dari titis-titisan kelereng atau tidak ada yang lebih sakit sekaligus terkenang seperti ketabok sandal saat bermain lempar selop.

Itu dia Ramadhan versi anak 90-an, kamu termasuk yang pernah merasakannya atau bukan? Bulannya sama kan? Tapi rasanya berbeda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun