[caption id="attachment_365420" align="aligncenter" width="250" caption="Hangat Coklat"][/caption]
"Tinggalkan saja aku. Saat ini aku hanya ingin begini. Sendiri, mengunci diri disini. Merasakan setiap manis dan hangatnya segigit demi segigit coklat yang akan lumer dengan segera dilangit-langit mulutku. Ini semacam memberikan oksigen kepada pasien sesak nafas. Melegakan. Percayalah, aku akan baik-baik saja setelahnya."
Gamang. Mungkin hanya kata itu yang paling tepat saat ini untuk mendeskripsikan apa yang sedang kurasa. Banyak hal yang sudah mulai membuatku muak. Tidakkah ada kebenaran akan menang pada saatnya kelak? Tapi aku masih jua bertanya kapankah kelak? Ah...semua pikiran mulai mengendap di bagian paling dasar relung hati yang sudah lama bergejolak.
Muak pada akhirnya bisa membuatmu menjadi tak lagi peduli. Sama seperti gelandangan yang tidur dengan nyenyaknya di emperan toko yang bising dengan deru lalu lalang kendaraan bermotor. Sesaat. Tapi sayang hanya sesaat. Karena muak jugalah yang akhirnya mengusik dan menggelitik jernih nuranimu. Membuatmu ingin berteriak, memekak. Hingga setiap telinga mendengar bahwa ada kebenaran yang selama ini terpendam. Tapi lagi-lagi aku tersadar bahwa aku tak semampu itu. Jangankan berteriak, berkata tidak pun aku tak punya daya.
Biasanya ada dia yang menemaniku melewati masa-masa gamang seperti ini. Dia hanya menyediakan telinganya seberapa pun lamanya hanya untuk mendengarkan semua keluhku. Sangat jarang bahkan hampir tidak pernah dia berkomentar apapun tentang keluh kesah dan kisah-kisahku. Tapi hanya dengan bercerita kepadanya seperti itu saja aku sudah merasa lega. Seolah ribuan ton beban yang melekat dipundak terangkat seketika. Tapi sekarang dia tak ada.
Dia pengembara. Lebih nyaman hidup bebas di luar sana daripada terikat dengan segala tatanan dan aturan hidup yang selama ini membelengguku. Segala tatanan aturan yang mengatasnamakan kebenaran. Yang selama ini harus kutelan, bahkan tidak bisa aku elakkan. Sudah lama tak kudengar kabar beritanya. Entah sudah sampai belahan bumi yang mana pengembaraannya. Keberadaannya yang entah ada dimana membuatku diam-diam bertanya dan merindunya
Sore ini, ketika segala penat sudah begitu hebat. Bersama dengan kedatangan sekotak coklat wajahnya mendadak kuingat. Senyumnya yang hangat juga tatapan matanya yang lekat. Ah... dia mengirimkan sekotak coklat ini dari tempat yang beribu-ribu mil jauhnya dari sini. Tak terasa air mata menetes di pipiku. Mengingatnya disaat seperti ini, semakin membuatku sakit. Semakin membuatku sadar bahwa tanpanya aku rapuh.
Lalu aku melangkah gontai menuju ke kamarku sambil memeluk sekotak coklat dan salam hangatnya. Mama yang sedari tadi mengamati-amati aku dengan sigap menahan pintu kamar yang akan kututup rapat.
"Nak, kamu baik-baik saja?"
"Tinggalkan saja aku. Saat ini aku hanya ingin begini. Sendiri, mengunci diri disini. Merasakan setiap manis dan hangatnya segigit demi segigit coklat yang akan lumer dengan segera dilangit-langit mulutku. Ini semacam memberikan oksigen kepada pasien sesak nafas. Melegakan. Percayalah, aku akan baik-baik saja setelahnya."
Salam hangat sekotak coklat membuatku berdiam sesaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H