Ketika sudah memasuki minggu ketiga bulan Ramadhan, sudah menjadi rahasia umum jika jamaah terawih pun bergeser shaf-nya ke depan. Kiblat pun sudah beralih ke mal atau pusat perbelanjaan seputar kita. Tingkat konsumsi pun melonjak drastis. Namanya juga budaya. Budaya konsumerisme massive menjelang lebaran.
Fenomena yang biasa memang, ketika menjelang akhir bulan Ramadhan pun konsumsi kita meningkat dari bulan-bulan biasanya. Tak peduli saat ini sedang tinggi-tingginya inflasi atau nilai kurs rupiah yang terdepresiasi, tapi masyarakat tetap membeli semua kebutuhannya dalam jumlah yang cukup besar. Fantastis, ini hanya ada di belahan dunia Indonesia saja.
Dari 114 juta penduduk yang bekerja di Indonesia, lebih dari separuhnya mendapat tambahan pendapatan/income menjelang lebaran. Mereka biasa menyebutnya dengan THR (Tunjangan Hari Raya). Meski mereka bekerja di sektor informal, namun keberadaan THR ini dianggap sebagai gaji ke-13 layaknya PNS atau bonus bagi karyawan swasta. Berdasarkan data BPS Pusat pada bulan Februari 2013, sebanyak 41,56 juta jiwa penduduk Indonesia bekerja sebagai karyawan.
Mereka inilah yang mempunyai ekspektasi yang berlebih menjelang datangnya hari lebaran. Bukan hanya untuk keperluan pulang kampung halaman, tapi juga belanja konsumtif yang terkadang tidak sesuai dengan kemampuan pendapatan. Lebaran sudah dianggap sebagai ajang pamer di kampung halaman setelah sekian lama bekerja di tempat ia bekerja.
Sebagai karyawan, mungkin pendapatan per bulan mereka saat ini rata-rata sekitar Rp. 1,5 juta - Rp 4 juta. Para pekerja ini pun masuk dalam kelas menengah yang hidup mencari nafkah baik di Indonesia maupun di luar negeri sebagai TKI. Mereka yang masuk dalam kelas menengah ini rata-rata menurut data Komite Ekonomi Nasional (KEN) membelanjakan uangnya sebesar Rp 750 ribu per bulannya.
Jika kita belajar ilmu ekonomi, mungkin kita tahu bahwa konsumsi adalah fungsi dari pendapatan. Ini berarti secara awam kita artikan bahwa tingkat konsumsi kita dipengaruhi oleh tingkat pendapatan kita. Makin kita mendapatkan pendapatan lebih besar, makin banyak konsumsi yang kita lakukan. Taruhlah kata, jika per bulan kita menerima upah sebesar Rp 1,5 juta per bulan dan konsumsi kita Rp 750 ribu per bulan, maka di moment menerima THR dengan rata-rata 1 kali gaji, maka konsumsi kita pun naik menjadi Rp 1,5 juta.
Mungkin digit di kalkulator tidak akan cukup jika berapa jumlah konsumsi 41 juta karyawan di Indonesia jelang lebaran. Tapi kita lihat saja data kasar di website BPS pusat yang mengatakan konsumsi masyarakat Indonesia untuk belanja bukan makanan sebesar 52,29%. Ini berarti belanja sehari-hari karyawan kita masih lebih banyak untuk kebutuhan “non perut”. Mungkin saja untuk kebutuhan BBM, perumahan/tempat tinggal, atau pendidikan. Tetapi bisa juga untuk kebutuhan lifestyle (gaya hidup) yang kian menuntut untuk sosialisasi mereka.
Di era post-modernisme, semakin jamak terjadi masyarakat membeli barang dan jasa bukan karena nilai kemanfaatannya atau karena didesak kebutuhan yang tak bisa ditunda, melainkan karena dipengaruhi gaya hidup (Bagong Suyanto,2013). Kita bisa melihat jika para penerima upah seperti karyawan ini mendapatkan tambahan pendapatan, maka ekspektasi konsumsi mereka pun akan berlebih. Kelebihan pendapatan ini pun membuat ekspektasinya sudah terhegemoni oleh pengaruh iklan dan mode lewat televisi , tayangan infotaintment, majalah fashion, gaya hidup selebritas, dan berbagai bentuk industri budaya populer lain.
Sebut saja telepon genggam. Barang ini sudah lazim dipakai semua orang mulai dari anak-anak hingga orang tua. Awalnya fungsi gadget ini adalah sebagai alat komunikasi suara dengan fasilitas pengirim dan penerima pesan pendek. Tapi saat ini alat komunikasi ini merupakan suatu tolok ukur strata sosial. Ketika sebuah handphone dimasuki teknologi internet, fungsinya pun menjadi alat penjelajah dunia maya yang mobil.
Kita pun tidak sadar bahwa sebagian dari kita lebih suka menanyakan PIN blackberry messenger dari pada nomor telepon. Persaingan messenger pun semakin ketat ketika beberapa produsen telephone genggam mengadopsi sistem operasi baru, lalu pengguna blackberry yang dulu mempunyai strata lebih tinggi kini pun jadi sedikit menurun kastanya.
Tak ayal jika pengguna handheld kelas atas yang biasa disebut BB ini merubah atau menambah kepemilikannya ke produk handphone lain seperti produksi Apple yaitu Iphone atau produksi gadget berbasis android. Alasannya kadang tak masuk akal, mereka menggunakan produk telekomunikasi tersebut hanya karena beberapa selebritas lokal dan dunia memakainya. Ya, inilah bagaimana konsumsi bisa dipengaruhi oleh industri budaya dan budaya populer.
Itu baru alat komunikasi, masih banyak konsumsi yang irasional seperti fashion, alat transportasi dan lain sebagainya yang sebenarnya bukan kebutuhan pokok. Dan ketika menjelang bulan Ramadhan berakhir konsumsi yang irasional ini pun semakin meningkat. Pulang ke kampung halaman sudah tak lagi beresensi silaturahmi dengan handai tolan tetapi juga ajang pamer dan berharap jadi trendsetter di kampung halaman.
Tanpa sadar kita sudah dicekoki oleh budaya konsumerisme sejak dini. Bagaimana ketika lebaran kita harus memakai baju baru, sarung baru dan sandal baru meski baju, sarung dan sandal lama masih layak dipakai. Akhirnya, ketika kita menjadi pekerja dan memiliki pendapatan kita pun menambah keberadaan “sesuatu yang baru” lagi.
Sudah saatnya kita menjadi konsumen yang cerdas. Membeli barang berdasar kebutuhan secara riil/nyata bukan kebutuhan gengsi agar tak disebut ketinggalan jaman. Masih banyak kebutuhan kita setelah lepas dari bulan Syawal . Jikalau harta kita masih berlebih bukankah selayaknya kita harus berbagi kepada sesama yang kurang beruntung. Itulah mengapa Rasulullah Muhammad SAW mengajarkan kita untuk tidak menghambur-hamburkan harta dan tidak menyamarkan esensi dari Idul Fitri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H