Beberapa hari lalu, saya membaca media sosial di ponsel saya. Seorang analis gadget yangnarasumber para gadgeters yang terkemuka di kota saya menggerutu pada sebuah acara peluncuran sebuah smartphone. Pihak vendor smartphone itu membatasi bagaimana sebuah peliputan launching tipe terbarunya para jurnalis tidak boleh menulis atau meliput melenceng dari koridor yang ditentukan vendor, tidak boleh bertanya ini-itu yang berkaitan dengan produk yang diluncurkan, malah bahkan tidak boleh merekam gambar produk tersebut.
Waduh, smartphone apa itu? Segitunya protektif terhadap produk yang dikeluarkan. Sehingga acara tersebut layaknya peluncuran smartphone buatan "orde baru". Jika melenceng, bisa kena pasal subversif. Padahal vendor tersebut saat ini sedang ramai di pasaran, dan melakukan promosi di media televisi hingga media cetak. Maaf saja saya tak berani menyebut merk, khawatir mencemarkan nama baik. lebih baik lihat link ini saja: http://ponselmu.com/yang-perlu-anda-ketahui-tentang-oppo/
Aneh memang, namun nyata. Tapi saya percaya pada analis gadget yang telah berkecimpung di dunia IT belasan tahun itu. Sudahlah, bagi saya ini sebuah pelajaran yang sangat menarik dilihat dari sisi bisnis dan ekonomi.
Aliran ekonomi ortodoks membuat teori, jika harga murah maka kuantitas barang yang diminta akan meningkat. Begitu juga sebaliknya, jika harga meningkat, maka permintaannya akan turun. Tapi teori itu sudah patah pada era post-modern.
Lihat saja pada awal krisis 2009 lalu. Begitu kurs rupiah melemah, harga-harga mulai merangkak naik, tapi permintaan akan mobil mewah justru menjulang tinggi. Saya pikir itu hanya sebuah gengsi masyarakat Indonesia saja. Ternyata banyak analis ekonomi yang mengatakan bahwa itu merupakan rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap mata uang rupiah, sehingga ia berpikir lebih baik dirupakan dalam bentuk benda daripada menyimpan uang rupiah.
Lalu, krisis pun berlalu. Saat ini masih banyak orang yang belum percaya terhadap mata uang lokal. Nilai tukar masih belum terlalu stabil, jika ada penguatan mata uang itu pun karena hembusan isu pencalonan seorang gubernur menjadi presiden.
Kembali ke persoalan gadget tadi. Gadget seolah tak bisa lepas hampir dari semua orang yang ada di Indonesia. Perilaku konsumtif masyarakat kita memang pasar yang cukup potensial bagi negara asing untuk masuk ke pasar Indonesia. Hanya dihembuskan isu saja, bahwa sebuah merk smartphone ini lisensi dari Amerika Serikat, mereka pada berduyun duyun ke gerai ponsel untuk melihatnya.
Sentra ponsel di beberapa kota besar pun ramai, apalagi mereka memasang dan memperbanyak agen-agen penjualan lebih banyak. Soal harga memang mahal, tapi tak semahal merk buatan AS atau Korea. Apalagi fiturnya itu lho, menggoda sekali hanya untuk sebuah smartphone buatan negeri tirai bambu.
Sang analis gadget itu pun membandingkan produk tersebut. Dengan spesifikasi yang nyaris sama, smartphone itu dijual dengan harga yang lebih mahal 500 ribuan dibandingkan dengan smartphone lain yang sama sekali kurang terdengar suaranya.
Robert Giffen (18317-1910) menamakan fenomena ini adalah "barang giffen". Ketika harga naik, maka permintaannya pun akan naik pula. Dulu banyak yang menggap fenomena ini tidak nyata. Intinya smartphone ini adalah barang inferior, dimana ketika pendapatan seseorang naik, maka seseorang akan meningkatkan permintaan barang tersebut. Namun, tidak semua barang giffen termasuk barang inferior.
Barang inferior adalah barang yang jumlah permintaannya akan turun seiring dengan peningkatan pendapatan masyarakat. Contoh lain barang inferior adalah sandal jepit. Ketika tingkat pendapatan masyarakat rendah, tingkat permintaan terhadap barang tersebut akan tinggi. Namun ketika tingkat pendapat masyarakat meningkat, permintaan atas barang tersebut akan turun karena masyarakat meninggalkannya dan memilih untuk membeli sandal lain yang lebih berkualitas meskipun dengan harga yang lebih mahal.
Nah, saya berpikir inilah strategi perusahaan smartphone itu melakukan "MI". Bukan "Mission Impossible", tetapi "Marketing Impossible". untuk memakan pasar yang tidak terjangkau oleh kalangan menengah. Saya tidak menyebut menengah-bawah, karena harga smartphone ini tak terjangkau oleh masyarakat bawah sama sekali.
Analis itu mengamati lebih jauh bagaimana merk itu bisa menarik agen-agen penjualan baru. Ternyata ia mengungkapkan jika harga yang mereka pasang di pasaran mempunya margin keuantungan yang sangat besar. Hanya dengan “kulakan” harga yang rendah, namun ia disarankan oleh vendor smartphone itu untuk mematok harga tertentu yang cukup tinggi.
Ya secara otomatis, jika smartphone itu dijual kembali, mana ada gerai ponsel yang mau. Lha wong harga “kulakan”-nya saja jauh lebih murah dibandingkan dengan harga second yang umumnya turun 500 ribu dari harga jual jika hanya dipakai beberapa minggu.
Bisa dilihat, dengan harga yang sangat tinggi dan hembusan isu yang tidak benar mengenai asal muasal produk itu membuat smartphone itu menarik hati kalangan menengah. Kaum middle yang selama ini kalah gengsi kini bisa bersaing dengan kalangan atas pemilik smartphone buatan Korea. Mereka yang duduk di kelas tengah, kini bisa ber-selfie lalu di-upload dengan gambar yang beda tipis.
Sebenarnya semua itu hanya ilusi. Smartphone yang berharga lebih rendah saja juga bisa sedemikian rupa. Tapi, masalah merk adalah masalah gengsi bagi kebanyakan masyarakat kita. Tak banyak yang harus kita lakukan agar tak terjebak dalam sebuah misi marketing rahasia itu, hanya cukup jadilah konsumen yang cerdas. Paling tidak ini upaya kita merayakan Hari Konsumen Indonesia yang jatuh pada tanggal 21 April lalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H