Mohon tunggu...
Angger Setio Panuntun
Angger Setio Panuntun Mohon Tunggu... Administrasi - Tenaga Adminitrasi

Tak ada yang lebih indah dan Puitis selain berbicara KEBENARAN

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Senyum Senja Part 1

22 Mei 2013   09:12 Diperbarui: 19 November 2024   17:59 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto : https://pixabay.com/id/photos

Sepasang kaki berbalut sepatu skete putih melangkah semangat mengikuti alaunan misik pop menuju kampus. Pemilik sepatu itu langsung duduk di kursi tepat di depan meja dosen dan sampai selesai kuliah.

 Sebenernya, masih pengen mendapat pelajaran lebih lama sih … tapi jam sudah menujuk jam dua dan nggak mungkin gue belajar terus sampai besok! Langsung pamit kepada teman-temanya” Assalamuallaikum! Semuanya saya pulang dulu!”

 Cowok itu memasang headpone di kepalanya, kemudian meraih buku karya Harimurti yang tadi dibacanya ketika lagu-lagunya diputar tanpa dimasukan kedalam tas. Dia begitu asyik sendiri sampai tidak memperhatikan cewek yang lewat di depanya dan menghapirinya.

 “Zha, gimana belajarnya?” tanya Nurul. “Bikin jam belajarku jadi bener,” sahut Rheza sambil terus mengotak-atik ponselnya. “Bagus, kalo gitu. Tapi, gua kangen baca post baru di blog lo yang ditulis pagi buta. Biasanya pikiran lo waktu insomnia suka ngaco!” sambil cengegesan Nurul menggodanya.

 “Lo sih, emang paling suka kalo tiba-tiba gue curhat colongan pas lagi galau tengah malem!” Rheza sambil ketawa gokil dari wajahnya yang manis.

 Nurul geleng-geleng kepalanya sambil berdecak, “ Suka amat lo ama lagunya Alter Bridge.?”

 Will they open their eyes And realize we are oneon and on we stand alone, nyanyi Alter Bridge, Open Your Eyes”! Rheza sambil menjulurkan lidahnya ke arah Nurul.

 “Iya, deh, iyaaa,” sahut Nurul sekenanya. “Dan nggak ada juga yang bisa ngalangin Ibu Erika buat ketemu lo hari ini.”

 “Demi apa, lo?” Rheza langsung berpaling menatap cewek yang dua tahun usianya lebih muda darinya itu.

Nurul mengangguk dan mengiyakan. “Lo dipanggil sama Ibu Erika di ruangannya.”

 Rheza menatap Nurul dengan penuh tanda tanya.

 “Sekarang,” tegas Nurul. “Kalo nggak disuruh Ibu Erika manggilin lo, gue nggak akan keluar dari ruangan. Banyak yang harus aku kerjain.”

 “Tau deeeh, Asisten dosen paling rajin se-bandung!” canda Rheza seraya berdiri dan menyandang tas gendongnya.

 “Gue gitu lho!” dengan gaya angkuh yang kocak tapi cantik wajahnya, Nurul mengangkat kerah seragam Almamater Universitas yang dipakainya.

 Najong” tukas Rheza, kemudian merangkul pundak Nurul dan berjalan bersamanya menuju pintu ruangan Ibu Erika “Ada apa, nih, Ibu Erika manggil gue? Bakal naikin nilai gue, kali, ya?”

 “Mungkin. Bagus, tuh! Siapa tau gaji gue juga naik,” timpal Nurul yang balas merangkul pinggang Rheza sahabatnya.

 “ Lebih bagus lagi kalo gue dapet kerjaan baru! Jadi asisten dosen juga!” Rheza ngakak sambil memandang wajah Nurul dari samping lalu berlari mendahuluinya menuju ruangan Ibu Erika.

 “Heh! Enak aja mau ngambil kerjaan gue! Langkahin dulu mayat gue! Sial! Pakai ngelus-ngelus pipi geu segala, lagi!” Seru Nurul sambil mengusap-usap pipinya yang jadi sasran tangan jail  Rheza.

 …………………..

Ibu Erika adalah dosen paling gaul yang pernah Rheza kenal. Usinya sudah 40 tahun tapi wajahnya masih kencang dan cantik. Tubuhnya langsing, aktif dan punya inovasi dalam mengurus mahasiswanya. Dia menjabat sebagai Wakil Kemahasiswaan FBS, sekaligus istri dari Harianto Marianto pemilik radio anak muda paling popular di Jakarta. Sudah dua tahun Rheza mengenalnya, sejak kampus ini menerimanya sebagai mahasiswa.

 “Fina apa kabar, Ibu? Betah, nggak dia di Jakarta?” tanya Rheza yang kini duduk di salah satu dari dua kursi putar yang keliatan mahal harganya di ruangan Ibu Erika itu.

 “Sampai kapan kamu nanyain anak saya terus?” sahut Ibu Erika dengan gaya juteknya yang khas.

 Rheza cengengesan “Namanya juga usaha , Ibu … “ Candanya.

 “Bersaing saja dengan cowok-cowok lain yang juga mau jadi suami pewaris semua perusahaan,” Kata Ibu Erika santai.

 “Aku tau itu berat, Ibu. Lebih baik saya mencari putri yang lain aja,” timpal Rheza berlebihan, pura-pura sedih. Karena hubungan mereka sudah akrab. Rheza adalah mahsiswa yang sering berurusan dengan Ibu Erika bahkan mendapat bimbingan istimewa darinya. Rheza yang tidak canggung dengan Ibu Erika yang sebenernya humoris.

 ‘Ya, ya, ya … Raja Drama. Tidak apa-apa, karena itulah yang sekarang kita butuhkan sekarang. Drama,” sahut Ibu Erika mengantung.

Kampus mau bikin reality show, apa gemana maksudnya, Ibu?” tanya Rheza.

Ibu Erika mengepalkan kedua tanganya di atas meja dan menatap cowok yang duduk di hadapanya dengan serius.

“Saya akan membuat film untuk di diputar dan dinikmatai pada acara ulang tahun kampus kita yang ke duapuluh tahun ini.” Kata Ibu Erika

“Wow! Keren, Ibu! Filmnya Tentang apa?” ujar Rheza.

“Saya baru menjelaskan ketika kamu menyela barusan, Rheza.” Ibu Erika memicingkan matanya.

Rheza nyengir. “Sori Bu. Ayo, ayo, lanjutkan. Seru nih.”

“Betul. Saya sangat serius soaal film ini. Nggak susah-susah, ceritanya seputar aktivitas dan permasalahan kampus kita ini. Fiksi, tapi harus kampus ini banget” jelas Ibu Erika. “Nah kamu bersedia?”

Rheza melongo. “Bersedia apa, Bu? Kalo dijodohin sama Fina, sih aku setuju-setuju aja.”

“Itu sih, memeng obsesi kamu!” ujar Ibu Erika sambil mengetok pelan kepala Rheza. “Kamu bersedia menulis scenario film ini? Saya tahu kamu suka menulis.”

Rheza jadi lebih terperangah. “Ibu serius?”

“Kapan sih, saya ngak serius?”

“Sering, Ibu Erika.”

“Ya, tapi sekarang saya serius.”

“Kalo gitu gitu aku juga serius.”

“Betul?”

“betul. Siapa juga yang bakal nolak jadi suami Fina ?”

“Kenapa jadi balik lagi ke anak saya? Ini soal film”

Rheza tergelak. “ Sori Ibu. Fina terlalu mempesona buat dilupakan. Oke! Aku bersedia! Dari dulu pengen nyoba nulis sekenario film. Ceritanya aku yang bikin atau Ibu udah punya?”

“Ceritanya dari saya. Baiklah, rheza jadi saya pengen film bercerita tentang ….”

…………………..

Rheza duduk memeluk kedua kakinya, bercumbu dengan matahari senja yang memancar sangat anggun; angun berhembus meniup wajahnya yang lelah. Buat Rheza, tak ada tempat yang paling nyaman selain bediam di puncak bangunan, salah satunya roof tof-nya kampusnya, gedung kampusnya sejak menjadi mahasiswa di lantai 4 gedung itu. Ini adalah tempat favorit Rheza. Dia takan pernah melewatkan matahari apalagi jika hatinya sedang sedih. Dari headset dipasang di telinganya mengalun lagu sendu Ariel Peterpan band kesukaan Rheza.

 Rheza Ramansyah Prasetyo adalah mahasiswa muda di kampus ini. Umurnya baru dua puluh satu tahun. Kuliahnya menganjak semester empat dan mestinya dia sedang sibuk-sibuknya dengan mata kuliahnya yang padat. Tetepi, banyaknya kegiatan selain kuliah membuat Rheza tidak punya cukup waktu untuk fokus dan duduk mengerjakanya.

 Otak rheza sekarang sibuk; bukan mengerjakan tugas kuliahnya , melainkan mengelola cerita yang tadi di paparkan oleh Ibu Erika. Akan dikembangkan seperti apa, akan menjadi film yang bagaimana. Ini kesempatan besar bagi Rheza.

 Senyum Rheza merekah begitu mengingat akan doanya tahun lalu. Film-film keren selalu memukaunya sehingga membentuk sebuah mimpi ingin membuat cerita seperti salah satu dari mereka. Kini tuhan memberikanya kesempatan melalui Ibu Erika, Rheza tidak akan menyia-nyiakanya. Malah semakin yakin, Tuhan mungkin menjawab permohonan umat-Nya pada suatu yang tidak terduga. Kejutan indah memang selalu berarti.

………………

Rheza berlari menuruni tangga rumahnya, kakinya berdera rebut. Karna memakai sepatu sket putih kesayangannya, hampir saja Rheza terjatuh. Jelas saja Rheza panik, tiga puluh menit lagi dia harus sampai di kampus.

 Kejadian pagi ini cukup membuat rheza kesal. Memang, dia salah sudah bangun terlambat, tetapi menurut Rheza, Om Hendra tidak akan rugi menolongnya dengan mengantarnya ke kampus.

 Setelah turun dari angkot, Rheza masih harus berjalan agak jauh ke kampus kesayanganya karena ada jalanya yang berlawanan arah. Cowok itu melirik jam di tangan kirinya, sudah pukul 08:55. Lima menit lagi saya sudah harus duduk di meja belajar, jika tidak aku akan di damprat Nurul, walaupun mereka sahabat dekat harus tetap profesianal, yang selalu mengingatkan agar kuliahnya disiplin.

 Langkah –langkah semakin cepat. Lagu Broken-ya Seether  mengalun keras lewat headset iPod yang di pasang di telinganya. Music itu yang selalu membuatnya semangat.

 Sudah setengah jalan, harusnya Rheza berlari, tetapi dia menghentikan langkahnya begitu melihat seorang nenek yang duduk di depen Melanium hotel. Sosok nenek itu membuatnya penasaran.

 Sudah renta – menurut tebakan Rheza, umurnya sudah kepala tujuh seperti Nini, panggilan untuk nenek dari ibunya. Kulit keriput nenek. Itu gelap karena sering terbakar sinar matahari, kacamata yang dipakainya retak sana-sini, kerudungnya lesuh dan menggunakan kebaya yang sudah lama dan kotor. Di depan nenek itu di gelar plastik; diantara tertera belasan tasbih.

 Rheza berdiri dihadapanya, mematikan lagu dari iPond, lalu bertanya, “ Nenek, jualan tasbih ini?”

 Si nenek berpaling menatap Rheza dan tersenyum lebar, memperhatikan giginya yang rapi tetapi kusam dimakan usia.

 “Iya Jang,” katanya ramah

 “Berapa harganya?” tanya Rheza seraya meraih sebuah tasbih berwarna hijau.

 “Sepuluh ribu.”

 “Saya beli satu.” Langit tersenyum kemudian member si nenek selembar uang sepuluh ribu.

 “Alhamdulillah. Terima kasih jang.”

 “Nenek baru, ya, jualan disini?” tanya Rheza, merasa belum pernah melihatnya sebelum ini.

 “Biasanya keliling, jang. Tapi, sudah tidak kuat berjalan jauh pakai tongkat. Jadi Rusdi menyuruh berjualan disini saja,: jawab nenek itu

 Rheza tidak tahu siapa Rusdi yang dimaksud, tetapi dia menyadari kalau disamping nenek itu tergeletak sebuah tongkat kayu yang digunakannya untuk membantunya berjalan.

 “Kaki nenek pincang karena tertabrak mobil waktu mencari anak nenek.” Beliau bercerita tanpa diminta.

 Rheza sangat ingin mendengar ceritanya lebih lanjut, tetapi ini sudah pukul 09:00

 “Nek kapan-kapan saya mau dengar cerita Nenek. Tapi, sekarang saya buru-buru. Saya harus kuliah dulu ya, Nek.” Kata Rheza sopan.

 “Iya, Jang. Iya, silahkan.” Senyumnya tulis si nenek mengantar melajutkan perjalanya ke kampusnya.

Entah mengapa, pertemuanya dengan nenek penjual tasbih tadi membuat Rheza senang, senyumnya tidak bisa hilang sepanjang hari itu. Walaupun Nurul terus ngomel karena Rheza baru dating untuk mengikuti pelajaranya jam 09:15.

-------------

 Rheza melihat Nita di depan setudio 6, berdiri menunggunya dengan wajah tanpa ekspresi.

 “lama. Temen-temen udah masuk duluan,” kata Nita dingin

 “Sori … macet.” Rheza cengengesan karena merasa bersalah.

 Nita langsung memimpin Rheza ke setudio 6 yang sudah gelap dan menuju ke kursi mereka.

 “Weeey! Rheza” sapa Wulan teman kampus yang juga menonton film bersama mereka.

 “Hai, Lan!” bisik Rheza, tidak mau menggangu orang lain yang sedang asyik menonton film.

Nita dan rheza sudah bersahabat sejak semester 1, Cuma meraka kuliah berbada fakultas. Nita fakultas Ekonomi dan Rheza Sastra. Karna sering main bareng, Rheza jadi kenal dengan teman-teman Nita. Salah satunya wulan dan ….

 “Putri …” Rheza mematung begitu melihat cewek yang duduk disamping kiri Wulan.

 Sejak dikenalkan oleh Nita, Rheza langsung menyuakai Putri. Cewek itu cantik, tubuhnya tinggi dan langsing, berkulit putih dengan rambut panjang dan beponi pinggir, dan dia tampak pendiam. Diantara teman-teman Nita, putri paling yang tidak akrab dengan Rheza.

 

-----------------

Di hadapan Queen La ---Laptopnya Rheza duduk sambil mengetik dengan wajah serius. Lagu Brroken diputar nyaring dikamarnya yangmendominasi warna Biru muda, warna favoritnya yang mengingatkan pada langit terang berwarna putih yang selau membuat hati dan pikiranya sejuk.

 Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dan terdengar suara mamanya dari luar “Rheza …”

 Rheza bangkit, membuka kunci kamarnya kemudian kembali ke laptopnya. Mamanya langsung membuka dan mengikuti anaknya ketempat tidur.

 “lagi apa, Zha?” tanya wanita berusia 42 tahun yang bekerja sebagai guru SMP itu.

 “Nulis,” jawab Rheza singkat, sambil terus mengetik.

 Fariha duduk di tepi tempat tidur anak semata wayangnya. “Ua Didi ada disini tadi siang, ada pertemuan sama keluarga,” katanya mengawali pembicaraan.

Wajah Fariha berubah kesal.”Nggak. tadi Ua Didi Cuma telepon, itu juga sembunyi-sembunyi. Kamu tahu lah, Zha, dia ke sini sama Istrinya.”

Langit langsung mengerti. Ua Tuti, istri Ua Didi memang seperti tidak suka dengan keluarganya di Bandung. Ua Didi yang sejak lama kerja di Jakarta sebagai guru besar di universitas ternama termasuk suami yang nurut dengan istrinya, jadi tidak ingin membuat Ua Tuti marah dengan sengaja ketemu dengan dan adiknya yang tinggal di Bandung.

“Kok ada, ya, orang seperti itu? Melarang seorang suami ketemu sama keluarganya, kan, termasuk dosa, ya? Masa kita ketumu Ua Didi Cuma pas lebaran?” ujar Fariha.

Seperti biasa, Rheza hanya diam dan mendengarkan . menurutnya, urusan sifat seseorang selalu rumit untuk dibahas secara sepihak. Lagi pula mamanya tidak berani protes langsung pada Ua Tuti, hanya selalu mengomel sendiri, itu yang Rheza sayangkan.

“harus kita yang selau mendatangi mereka ke Jakarta. Padahal Nini, kan, tinggal di bandung. Apa Ua Tuti tidak ingat, siapa yang melahirkan suaminya? Siapa yang hidup bersama Ua Didi sebelum menikah? Ua Didi mau bertemu sama kita saja kok dilarang-larang,” Fariha terus mengoceh.

Tanpa berhenti mengetik pada Laptopnya. Rheza menyela. “ Kenapa Mama nggak pernah bilang gitu sama Ua Tuti?”

“Ya.. Mama tidak mau nanti urusanya jadi panjang. Hubungan kita sama mereka bisa jadi tidak baik,” sahut Fariha.

“bukanya sekarang juga udah nggak baik, ya? Di depan Ua Uti aja mama pura-pura baik dan nggak ada masalah apa-apa, padahal dalam hati kecil benci dengan sikapnya.” Timpal Rheza.

Sebelum mamanya sempat membela diri, Rheza sudah menahanya dengan melanjutkan omongan.

‘Mending Mama lupain aja kejadian tadi siang. Nggak usah terlalu mikirin sikap Ua Tuti, malah bikin capek hati. Pikirin aja ulangan murid-murid Mama. Aku mau tidur, nih.”

“Oke, selamat malam, Rheza.”

“malam Ma.” Rheza langsung menutup kembali pintu kamarnya setelah mamanya keluar.

Prioritas hidup Rheza adalah pekerjaan dan kuliahnya---- bagaimana menjadi orang terkenal dengan prestasi yang membanggakan. Masalah keluarga tidak termasuk hal-hal yang capek-capek dipikirkan olehnya.

Rheza langsung melanjutkan menulis blognya. Sebetulnya gadis itu belum mau tidur, itu hanya alibi supaya mamanya keluar dari kamarnya dan tidak mengoceh. Ponselnya tiba-tiba berbunyi dan muncul nama Chuakotak, Rheza langsung menerima telepon itu.

Rheza suka dengan acara music, apalagi acara music indie. Tahun lalu di sebauah gig, rheza baru menyadari bahwa dia tertarik dengan seorang personel band V-Mail grup band band yang dinaungi oleh Mitha The Virgin asal Bandung yang sering disebut Chua yang sekarang jadi basisnya Kotak. Rheza semakin menyukainya karena Chua orang yang ramah dan supel.

Mereka bertemu diacara musik lainya, kemudian di Inbox Rheza juga sering melihat Chua pentas. Pertemanan mereka semakin erat karena banyak sekali obrolan mereka yang nyambung.

“Halo? Rheza ada, nggak, yaaa?” terdengar suara Chua yang ceria dari seberang sana.

“Rheza udah tidur. Ini HP-nya di pegang sama Vino G sabastian,” canda Rheza.

“Oh. Ya, udah, titip salam aja buat Rheza, y.”

“Lho/ Nggak mau ngobrol dulu sam Vino?”

“Nggak, ah. Aku maunya sama Rheza aja.”

Untung Chua tidak melihatnya sekarang wajahnya karena Rheza jadi mesem sendiri dengan wajah merona.

“Aduh Vino! Ngapain, sih, kamu pegang pegang HP-aku? Itu kamu lagi nelepon siapa?hah?! Chua?! Heeei! Sini HP-nya!” mulailah Rheza bermonolog.

Chua tertawa mendengar ocehan Rheza.

“Sori, yah, Chua, tadi Vino main ambil Hp aku aja.”

“Nggak apa-apa, yang penting sekarang aku bicara sam Rheza, kan?”

“Iya, dong … Ada apa malem-malem gini telepon?”

“Ganggu, nggak? Kamu lagi apa?”

“Nggak kok. Aku lagi update blog aja.” 

“Wow! Nanti aku liat, ah.”

“Boleh,” Rheza ketwa kecil, “Kamu lagi apa, Chua?”

“lagi telepon kamu, mau nawarin sesuatu, nich”

“Apa? Apa? Tiket nonton kotak yah!”

“Kalo itu, sih, free pass-nya wajah kamu aja.

Kamu boleh bebas masuk kalo kami manggung. Ini soal hobi kamu bloging dan King Rock. Kamu mau nulis revieuw blog buat bulan depan?”Selain bermusik dengan Kotak Chua adalah editor sebuah majalah Indie di bandung bernama King Rock .

“Mauuu! Rivieuw blog kamu juga boleh.”

Rheza tertawa,”Nggak, ah, Blog aku nggak ada isinya, nggak berarti,”

“Hey yang nilai suatu hal berarti atau ngak, kan orang lain. Menurut aku tulisan-tulisan kamubagus, makanya aku tawarin buat nulis rivieuw blog di King Rock. Mau, ya?

Senyum Rheza mengembang. Tuhan memberiku lagi Kejutan :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun