Mohon tunggu...
Angga Yuda Pradana
Angga Yuda Pradana Mohon Tunggu... pegawai negeri -

belajar memahami hidup

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Bisakah Presiden Nanti Mengganti Kedukaan Piala Thomas/Uber?

24 Mei 2014   20:58 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:09 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk kesekian kalinya Indonesia semakin terpuruk dalam dunia perbulutangkisan kala harus menelan pil pahit dalam ajang piala Thomas dan Uber di New Delhi, India. Setelah Tim Uber kita kalah dari tuan rumah dengan skor 3-0 di perempat final, kini giliran Tim Thomas yang menyusul mereka setelah dikalahkan Malaysia dengan skor sama 3-0.

Kejuaran paling tua dunia bulutangkis ini bagian dari sejarah kejayaan Indonesia. Tercatat 13 kali Indonesia memenanginya disusul China dengan 9 kali juara. Sejak diadakan pertama kali hanya 3 negara yang pernah merasakan mengangkat tropi juara, yaitu Indonesia, China, dan Malaysia. Namun, dalam dekade terakhir ini supremasi Indonesia di Piala Thomas kalah dengan negeri tirai bambu, China. Dan pada tahun 2014 ini, Indonesia kembali tak sanggup membawa piala tersebut ke pangkuan ibu pertiwi.

Harapan untuk merebut Piala Thomas tersebut sebenarnya sangat terbuka lebar pada tahun ini. Para punggawa Tim Thomas lebih diunggulkan dari Malaysia. Hanya Lee Chong Wei yang secara peringkat lebih unggul dari tunggal Indonesia. Namun, pertandingan sekelas Thomas Cup terkadang tidak hanya ditentukan oleh peringkat di atas kertas. Motivasi bermain, kerja keras pantang menyerah di lapangan, dan mentalitaslah yang lebih menentukan hasil akhir.

Pertandingan pertama antara Tommy Sugiarto melawan Lee Chong Wei, secara teknik dan mental lebih unggul tunggal dari Malaysia. Lee yang telah sering naik podium dan penampilannya yang konsisten selama ini menunjukkan mentalitasnya sebagai juara tak diragukan lagi. Berbeda dengan Tommy yang terkadang main angin-anginan, saat mendapat momen yang tepat permainannya bisa gila-gilaan tak terbendung terlihat saat terakhir kali mengalahkan Bonsak Phonsana dalam final Singapura Open pada tahun 2013, tetapi pada tahun berikutnya harus rela menyerahkan gelar juara itu kepada rekan senegaranya Simon Santoso. Puncaknya pada pagelaran Piala Thomas 2014 ini para pemerhati bulutangkis pun memprediksi Lee Cong Wei akan mengalahkan tunggal dari Indonesia ini. Dan ternyata benar, Tommy harus menyerah dua set langsung dari Lee Chong Wei.

Harapan berikutnya untuk merebut satu poin ditumpukan pada ganda nomor satu dunia Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan pada partai kedua. Namun kenyataan berkata lain, teknis hitung-hitungan matematis tak berlaku saat itu, pasangan ganda Indonesia ini juga harus mengakui keunggulan lawan dengan permainan rubber set. Kekalahan partai kedua ini menjadikan Kedudukan sementara 2-0 untuk keunggulan Malaysia.

Tim Thomas Indonesia tertinggal 2-0 artinya Indonesia harus menang di partai ketiga. Harapan untuk menang di partai kedua telah kandas, sehingga harapan itu bergeser ke partai berikutnya di tunggal putra yang akan dimainkan Hayom Rumbaka. Hukum matematis kala itu benar-benar sedang tak berlaku. Lawan Hayom, Chong Wei Feng yang memiliki peringkat dibawahnya pun bisa mengalahkannya. Faktor mental serta beban harus menang yang membuat permainan Hayom sukar berkembang hingga sering berbuat kesalahan sendiri. Sedangkan bagi kubu Malaysia yang telah mengantongi 2 poin terlebih dahulu bermain lebih lepas.

Malaysia bisa meraih terlebih dahulu 3 poin dari lima partai yang seharusnya dimainkan, maka Malaysia berhak lolos ke Final dan akan berhadapan dengan tim Jepang.

Duka bagi Indonesia. Kekalahan ini bukan hanya kekalahan bagi tim bulutangkis Indonesia semata, namun lebih dari pada itu kekalahan bagi bangsa Indonesia. Bulutangkis yang sejak dahulu menjadi icon olahraga Indonesia dan selalu menjadi andalan serta mampu mengukir prestasi dengan meraih berbagai kejuaraan tingkat dunia, sekarang ini seperti susah sekali untuk bangkit meraih kejayaan tersebut.

Indonesia terlalu banyak disibukkan dengan urusan politik yang dari dahulu berputar-putar tentang perebutan dan pembagian kekuasaan. Aspek olahraga khususnya bulutangkis kurang menjadi perhatian yang lebih dari pemerintah. Hal ini terbukti tak kunjung membaiknya bulutangkis Indonesia. Saya yakin sebenarnya telah ada program pemerintah yang jitu untuk memajukan perbulutangkisan di Indonesia. Namun eksekusinya sering tak sesuai dengan rencana. Tak terlihat pengkaderan atlet bulutangkis yang dilakukan secara berkesinambungan. Selain itu apresiasi kepada atlet-atlet Indonesia dirasa juga kurang. Sehingga banyak bakat-bakat bulutangkis yang tidak bisa menyalurkan keahliannya di dunia bulutangkis karena tak bisa menjadikannya pegangan hidup. Terkadang setelah berjasa besar bagi negara, atlet bulutangkis hanya dianggap angin lalu yang tak dipedulikan lagi kesejahteraanya.

Melihat keadaan negeri ini yang kian kusut tak ayal membuat bulutangkis kita juga tak karuan. Tak tau apakah momen pergantian presiden tahun ini juga bisa mengganti kedukaan Indonesia di dunia bulutangkis atau tidak. Semoga saja bisa, harapan itu selalu ada.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun