Berbicara mengenai penelitian di bidang sosial keagamaan maupun pendidikan, tidak bisa lepas dari sosok Prof. Irwan Abdullah, pendiri IA Scholar Foundation. Saat ini beliau merupakan salah satu tokoh Indonesia yang paling berpengaruh dalam pengembangan penelitian pada bidang ilmu-ilmu sosial keagamaan.
Saya mencoba, dengan sedikit lancang dan keberanian yang dipaksakan untuk membedah sistematisasi berbagai macam perspektif keilmuan yang dihimpun oleh Prof. Irwan Abdullah yang diistilahkan  dengan frasa "10 Keilmuan IA Scholar." 10 Keilmuan IA Scholar meliputi: (1) place/tempat. (2) batas. (3) Relasi. (4) (struktur). (5) power. (6) resources/capital. (7) perubahan/change/transformasi. (8) waktu. (9) aktor. (10) infrastruktur.
Perspektif yang dikembangkan Prof. Irwan Abdullah ini merupakan aspek yang paling mendasar dalam membaca fenomena serta menarik benang merah dari makna yang tersembunyi/disembunyikan dalam fenomena tersebut.
Menurut saya, apa yang dikontribusikan Prof. Irwan Abdullah dalam pengembangan keilmuan penelitian sosial keagamaan patut disebarluaskan. Ini seakan menjadi "fardhu kifayah" yang harus didiseminasikan kepada seluruh sarjana maupun masyarakat intelektual di Indonesia. Harapannya, kompetensi para peneliti di Indonesia semakin canggih dan lebih kaya perspektif dalam mengupas berbagai macam fenomena yang menarik. Sebagaimana dikatakan oleh Prof Irwan Abdullah, Indonesia adalah surga dari berbagai macam fenomena yang unik dan menarik untuk digali dan dikembangkan menjadi ilmu pengetahuan
Salah satu yang kita bahas dari 10 Keilmuan IA Scholar adalah place. Menurut Prof. Irwan Abdullah, "Tidak ada fenomena yang terlepas dari tempat.  Selalu kita bicara The place of birth. Orang bertanya selalu tentang tempat lahir. Tempat sesuatu terjadi.  Tempat selalu yang dituju.  Selalu menyangkut tempat. (Tempat juga menyangkut) Ruang hidup adanya suatu agama. Tempat adanya suatu peristiwa  dan sebagainya. Jadi soal place,  itu juga nanti bisa menyangkut displace. Seperti misalnya displace person.  Jadi orang-orang yang hidup di pengungsian.  Itu disebut sebagai displace person. Place itu sangat mendasar. Kalau kita memandang suatu fenomena tidak bisa kita lepaskan dari tempat. Karena tempat nanti juga akan menunjukkan ruang sosial, ruang politik, sampai kepada suasana."
 Dalam konteks pendidikan konsep "place" ini bisa digunakan dalam menganalisis kegagalan membaca potensi dan minat siswa. Bisa jadi kegagalan siswa mencapai prestasi optimal dalam belajar bukan karena intelektualitasnya yang rendah atau kompetensinya yang tidak sesuai dengan standar. Melainkan karena dia merasa berada dalam tempat yang salah (displace person). Itu mungkin yang terjadi dengan dihapuskannya kelas IPA dan IPS yang menjadikan anak-anak kita merasa dalam tempat yang salah. Sebuah kebijkan pendidikan yang menyebabkan adanya keilmuan yang terbelah. Alih-alih membuat siswa semakin fokus dan konsentrasi terhadap ilmu yang diminati, pemberlakukan kelas IPA dan IPS malah menjadikan munculnya "kastanisasi dan stigmatisasi" terhadap satu jurusan tertentu sebagai jurusan anak buangan.
Perspektif "place"ini bisa dikembangkan dalam membaca fenomena pendidikan saat ini yang memiliki banyak polemik.Bahkan bisa dijadikan sebagai pisau analisis sehingga penelitian yang dikembangkan oleh mahasiswa jurusan pendidikan Tidak hanya memperkaya keilmuan tapi juga menjadikan penelitianya semakin bijaksana dalam mengambil keputusan yang berkiatan dengan isu-isu krusial dalam kehidupan saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H