Muara Gembong yang digambarkan selama ini sebagai desa tertinggal kini sudah banyak berubah. Kesadaran pendidikan yang kini sudah mulai meningkat menjadi salah satu faktor pertumbuhan di Muara Gembong.
[caption id="attachment_78126" align="alignleft" width="298" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas)"][/caption]
Teriknya matahari sangat terasa sangat terasa didalam kelas. Atap dan genting yang seharusnya menjadi penghalang sengatan matahari sudah tak lagi berada pada tempatnya. Jendela pun sudah kehilangan kaca-kacanya. Cat yang mengelupas di makan usia, juga keramik putih yang berubah kecokelat-cokelatan karena kotoran. Membuat siapapun tak mau berlama-lama di dalam kelas.
“Iya mas, sekolah ini lagi beres-beres untuk proses renovasi,” ujar pak Atit, salah satu staf kurikulum Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1 Muara Gembong. Usia bangunan sekolah yang terhitung tua, menjadi penyebab banyak kerusakan disana-sini. Sudah hampir terhitung sudah dua puluh tiga tahun sekolah ini menjadi salah satu penggerak pendidikan di kecamatan Muara Gembong kabupaten Bekasi.
Bangunan sekolah yang telah lapuk ini memang belum pernah terjamah oleh renovasi sekalipun. Pihak sekolah sendiri bukan berarti tanpa usaha. Pihak SMPN 1 Muara Gembong sendiri langganan setiap tahun untuk mengajukan permohonan agar diadakan renovasi terhadap bangunan sekolah yang sudah tak layak ini.
Namun keinginan pihak sekolah untuk merenovasi bangunan sekolah ini terbentur dengan adanya program Bantuan Operasional Sekolah. Pihak sekolah tidak diperbolehkan memungut biaya untuk renovasi kepada orang tua. Alhasil perhatian serta dana dari pemerintah Kabupaten Bekasi, dijadikan satu-satunya harapan untuk melakukan renovasi.
Tahun ini, harapan itu telah menjadi kenyataan “Dana untuk perbaikan gedung SMPN 1 Muara Gembong ini baru akan turun dari Kabupaten Bekasi Agustus nanti,” ungkap Rusdi, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bekasi saat dihubungi lewat telepon.
Keterlambatan dana yang diberikan oleh pihak pemerintah Kabupaten, turut membuat pihak sekolahkecewa. “Pihak Pemda semestinya harus melihat kondisi real di lapangan. Apabila cuma diatas kertas tidak ada artinya,” keluh Afri, Wakil kepala sekolah SMPN 1 Muara gembong.
Kekecewaan pihak sekolah tak hanya berhenti sampai disitu. Mereka juga menyesalkan kekurangan tenaga pendidik yang ada di sekolah. Yang ada sekarang hanya dua puluh tiga guru dan sembilan guru yang sudah berstatuskan pegawai negeri sipil. Serta lebih dari setengahnya masih berlatar belakang pendidikan diploma satu dan diploma dua.
SMPN 1 Muara Gembong sendiri memiliki 14 kelas. Dengan prosentase kelas seperi itu paling tidak jumlah ketersediaan guru mencapai tiga kali lipatnya. Sekitar 42 guru semestinya ada untuk mengajar. Ketersediaan guru yang mencukupi diperlukan untuk menciptakan proses belajar yang kondusif. “Satu guru itu bisa mengajar sampai tiga puluh jam pelajaran dalam seminggu, walau begitu kita berdayakan saja guru yang ada saat ini,” ucap Afri.
Masih menurut pengakuan Afri, sekolahnya juga mengalami kesulitan untuk menutupi kekurangan tenaga pendidik. Hal ini terbentur dengan adanya peraturanPemda untuk tidak mengangkat guru honorer saat ini. Afri mengatakan, “Jadi lagi-lagi kita hanya menunggu pihak Pemda dalam menyelesaikan masalah kekurangan guru ini. Karena ini semua yang mengatur adalah dari pihak Pemda.”
Namun hal ini di sanggah oleh Rusdi “Di sekolah boleh merekrut guru honorer, lalu dilaporkan ke Pemda. Untuk permasalahan kekurangan guru di Muara Gembong itu disebabkan karena pertumbuhan sekolah yang pesat, sehingga meningkatkan kebutuhan guru pula. Jadi ada ketimpangan kuota. Jumlah guru yang tersedia dengan yang dibutuhkan.”
Dalam bidang pendidikan, kekurangan tenaga pendidik merupakan masalah klasik yang dihadapi oleh masyarakat Muara Gembong. Pada tahun 80-an misalnya, diperlukan selebaran-selebaran tentang kekurangan tenaga pendidik di Muara Gembong. Penyebarannya pun tak hanya di Bekasi. Daerah Kediri, Klaten dan berbagai kota di Jawa Tengah tak luput dari sasaran.
Selain itu, ruang-ruang kelas pun sepi dari kegiatan belajar mengajar karena kekurangan murid. Ibaratnya bukan para murid yang mendaftar untuk sekolah, melainkan pihak sekolah yang mencari murid untuk disekolahkan. Banyak cara yang ditempuh, mulai mendatangi warga dari rumah ke rumah atau lebih popular dengan istilah door to door sampai penyuluhan tentang pentingnya pendidikan dan sekolah yang biasa dilakukan di balai desa. Cara ini pula yang menyebabkan banyak tenaga pendidik Muara Gembong yang berasal dari luar Muara Gembong. Tetapi cara ini tidak sepenuhnya berhasil. Para calon guru kembali mengurungkan niatnya untuk menopang roda pendidikan di Muara Gembong, setelah melihat kondisi geografis Mura Gembong yang sulit dijangkau.
“Banyak yang cuma memberi SK dan tidak jadi mengajar setelah melihat letak Muara Gembong yang jauh dan terpencil,” kenang Afri yang berasal dari Bandung. Ia sendiri mengaku saat awal mengajar di sekolah ini sempat kebingungan mencari SMPN 1 Muara Gembong dan butuh waktu seminggu untuk menemukan sekolah ini.
Selain letaknya yang terpencil dan sulit dijangkau oleh kendaraan darat, ditambahdengan sepinya lalu lalang kendaraan umum menjadi kendala masyarakat menuju sekolah. Dulu pernah ada dua mobil angkutan khusus pelajar, namun sekarang sudah dalam kondisi rusak sehingga tidak dapat digunakan.
Menanggapi kelangkaan akses transportasi di Muara Gembong, Rusdi mengatakan. “Dalam rangka mempermudah akses transportasi, pertamina pernah memberikan seribu sepeda gratis di wilayah Muara Gembong, Babelan, juga tarumajaya.”
Sekolah bukan prioritas
“Kalo minta kawin orang tua modalin, tapi kalo untuk sekolah, enggak,” celetuk Juma, seorang warga Muara Gembong yang sehari-harinya berjualan nasi uduk. Celetukan Juma bukan hanya sekedar guyonan. Kata-kata yang meluncur ringan dari mulutnya bisa menjadi potret pendidikan di daerah kelahirannya.
Sekolah bukanlah hal yang menjadi prioritas disana. Latar belakang pekerjaan warga sebagai nelayan atau penambak yang terus diturunkan turun temurun kepada anak cucu, menjadi salah satu budaya yang turut melestarikan kurangnya kesadaran akan pentingnya sekolah.
“Lulusan perguruan tinggi disini tidak berpengaruh. Karena setinggi apapun lulusan pasti akan kerja sebagi nelayan juga. Makanya mereka lebih memilih untuk bekerja,” tambah Juma. Warga Muara Gembong lebih memilih untuk bekerja daripada sekolah, karena menurut mereka itu lebih menghasilkan ketimbang sekolah yang harus mengeluarkan biaya banyak nantinya.
Sebenarnya permasalahan kurangnya kesadaran pendidikan tak hanya dijumpai di Muara Gembong. Hampir di seluruh wilyah utara Bekasi, masalah pendidikan merupakan hal kesekian dalam kehidupan mereka.
Perlahan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan sudah mulai berkembang. Dengan banyaknya sekolah yang didirikan serta program pendidikan yang ditawarkan menjadi penggerak roda pedidikan di Muara Gembong.
Kelangkaan sekolah dulu juga menjadi salah satu penyebab masyarakat enggan untuk melanjutkan sekolah. Warga perlu pergi jauh ke Cikarang, Karawang, juga ke Jakarta untuk sekedar melanjutkan pendidikan ke tingkat Sekolah Menengah Atas.
Kini untuk melanjutkan ke sekolah tingkat menengah warga tak perlu jauh-jauh. Tiga SMA dan dua SMK gratis telah dibangun di muara Gembong. Menurut data yang didapat dari dinas pendidikan kabupaten Bekasi, sudah sekitar 256 siswa mendaftar dalam program sekolah gratis.
Selain melalui cara formal, juga ada program non formal seperti program pemberantasan buta huruf. Program yang dilakukan oleh Universitas Atma Jaya Jakarta telah ada semenjak lima tahun lalu dan selesai tahun ini. Dari program ini, ribuan warga telah dibebaskan dari buta huruf.
“Program pemberantasan buta huruf dan wajib belajar sembilan tahun. merupakan program yang sedang digencarkan oleh pemerintah setempat, yang ditargetkan selesai pada tahun ini,” ungkap Choiri, wakil kepala Unit Pelayanan Teknis Daerah (UPTD) pendidikan Muara gembong.
Kini wajah Muara Gembong tak lagi nampak sebagai desa tertinggal dengan tingkat pendidikan rendah. Masalah pendidikan bukan lagi prioritas kesekian bagi warga Muara Gembong. Sedikit demi sedikit kesadaran warga akan pentingnya pendidikan mulai tumbuh.
Warga tidak hanya memikirkan keberlangsungan hidupnya dalam jangka pendek, Mereka meyadari bahwa pendidikan nantinya pun akan dibutuhkan untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. Selain tingkat kesadaran pendidikan yang sudah mulai meningkat. Banyak lulusannya yang sudah berhasil menjadi guru, polisi, dan tentara Menjadi kebangaan sendiri bagi warganya, serta memicu masyarakat Muara gembong untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi.
Anggar Septiadi
*pernah dipublikasikan dalam Majalah DIDAKTIKA edisi 38, dalam rubrik Suplemen
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H