Mohon tunggu...
anggar septiadi
anggar septiadi Mohon Tunggu... -

let's being an absurd

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pendidikan dan Manusia

1 Februari 2012   08:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:12 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul Buku      : Mazhab Pendidikan Kritis Menyingkap Relasi Pengetahuan  Politik, dan Kekuasaan
Penulis               : Agus Nuryatno
Penerbit             : Resist Book
Tahun Terbit  : 2008
Halaman           : VI+133 hal

The Neutrality of education is the one of fundamental connotations of the naive vision of education

Sebagai mahasiswa ex-IKIP yang dipersiapkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga pendidik, pada awalnya, saya-dan semua mahasiswa lainnya-diganjar dengan pernyataan bahwa pendidikan adalah usaha sadar manusia beranjak dewasa atas proses tidak tahu menjadi mengetahui. Transfer knowledge.

Dari institusi berwujud Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) ini saya dipersiapakan untuk mentransfer pengetahuan lewat proses pendidikan, di dalam sekolah. Nantinya pengetahuan-pengetahuan yang saya terima di ruang kelas diharap mampu direproduksi di sekolah dimana saya menjadi pengajar. Prosesnya berputar dari produksi, distribusi, dan konsumsi pengetahuan yang bersifat statis dan punya watak represif untuk membuat kita menjadi permisif atas siklus pengetahuan tersebut.

Saya dituntut untuk menerima pengetahuan secara bebas nilai, menditribusikannya secara bebas nilai, dan memaksa kegiatan konsumsi pengetahuan di sekolah nantinya juga tanpa nilai. Saya sebagai agensi pengetahuan diposisikan untuk tetap menjadi objek dalam fungsinya sebagai distributor pengetahuan kepada masyarakat.
Di ruang kelas, tanpa kritisisme, saya menerima begitu saja mode of production dari pengetahuan tersebut. Tentang apa, siapa, tujuan, dan kepentingan pengetahuan itu hadir, saya tidak tahu dan tidak mau tahu. Kenapa saya tidak tahu dan tidak mau tahu? Karena saya dibentuk untuk menjadi permisif atas penetrasi dan sosialisasi nilai pendidikan yang dilakukan oleh produsen pengetahuan, sedangkan sifatnya sangat represif hingga internalisasinya berbuah common sense bagi saya.

Hal-hal tersebut yang oleh beberapa ahli disebut positivisme, yakni sebuah metodologi dalam pemisahan atas berapa relasi-relasi yang sebenarnya saling terkait. Sesuatu dianggap hadir secara bebas nilai dan punya sifat universal. Positivisme biasa digunakan dalam mengkaji ilmu-ilmu eksakta. Dan Auguste Comte mencoba mengadopsi nilai-nilai posotivisme ke dalam ilmu-ilmu sosial. Ia mengkonversinya lewat sosiologi-dan ini adalah sebuah blunder besar!

Makanya, saya menerima pengetahuan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Padahal, dalam mode of production pengetahuan saya sadar jelas diberi posisi sebagai distributor pengetahuan. Lantas siapa produsen, dan maksud tujuan pengetahuan itu hadir. Untuk menyingkap agensi, posisi, dan relasi pengetahuan bisa dimulai dari apa yang kasat mata tentunya dengan penggunaan fakultatif akal yang kritis.

Pertama, bicara akses untuk mendapatkan pengetahuan. Pada tingkatan pertama, sekolah diyakini semua orang mendapat porsi besar dalam akses menuju pengetahuan. Lewat sekolah, seseorang diimani untuk mampu mendapat perolehan-perolehan tertentu dari pengetahuan. Pada tingkat selanjutnya, sekolah juga punya karakteristik pengetahuan dan keterbukaan akses pengetahuan.

Semisal, sekolah yang punya kualitas pengetahuan mumpuni harus sejajar dengan cara mendapatkannya. Logikanya mirip mekanisme ekonomi: untuk mendapat hal yang berharga kita harus mendapatkannya dengan jerih payah yang setimpal. Maka, untuk mendapat pengetahuan yang berkualitas harus diimbangi atas pengeluaran yang besar.

Dari pengklasifikasian tersebut akan muncul stratifikasi atas akses pengetahuan lewat sekolah. Dan tentunya lewat biaya yang setimpal pula. Mudahnya, ada realita yang coba dikonformitaskan bahwa untuk mendapat ilmu pengetahuan yang mumpuni harus didapat dengan imbalan yang mumpuni (mahal) pula.

Kedua, dari fenomena tersebut, penyediaan ilmu pengetahuan juga turut diklasifikasikan. Jurgen Habermas, punggawa Mazhab Frakfurt melihat penyediaan pengetahuan menjadi tiga bagian: teknis, praktis, dan emansipatoris. Pengetahuan teknis berupa penjelasan kausalitas yang dijewantahakan pada media kerja (konkretisasi). Pengetahuan macam ini tercermin pada ilmu-ilmu alam yang memang berkerja secara mekanik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun