Mohon tunggu...
anggar septiadi
anggar septiadi Mohon Tunggu... -

let's being an absurd

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Cinta

8 Desember 2010   12:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:54 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Cinta itu seni, ia butuh pengetahuan dan perjuangan-Erich Fromm

Awalnya sebuah pesan di akun Facebook dari seorang perempuan, isinya sebuah ungkapan kemarahan. Perempuan tersebut marah-marah kepada si empunya akun Facebook tersebut. Ia marah karena ia punya seorang sahabat yang merasa dimainkan oleh si pemilik akun Facebook tersebut. “Kalo memang anda sudah tidak memiliki perasaan dengannya silahkan pergi dan jangan ganggu dia lagi,” ketus perempuan tersebut.

Tentang cinta adalah tentang perasaan, hemat perempuan tersebut. Cinta hanya sejumput perasaan menyenangkan saat ia datang, dan menjadi sebuah keterpurukkan saat ia pergi. Erich Fromm, Psikoanalis dari Jerman membedah habis soal cinta dalam bukunya The Art of Loving. Fromm menolak jauh-jauh bahwa anggapan cinta hanya sebentuk perasaan menyenangkan, menurutnya cinta adalah seni, ia butuh pengetahuan dan perjuangan.

Mengapa cinta butuh pengetahuan? Pertama, kita harus melihat anggapan mengenai cinta dalam masyarakat. Masyarakat umumnya menganggap remeh masalah cinta, cinta baru datang saat ada objek yang tepat dicintai. Padahal, masyarakat jelas membutuhkan cinta. Buktinya larisnya film, lagu mengenai cinta entah itu menyedihkan atau menyenangkan.

Pun dalam masalah cinta, kebanyakan orang lebih melihat bagaimana caranya dicintai (to be loved) bukan bagaimanaia mencintai atau bagaimana kemampuan mencintai. Demi tujuan ini entah lelaki atau wanita banyak menempuh cara untuk bisa menjadikan dirinya menarik. Lelaki biasanya melakukannya dengan bekerja keras supaya mendapatkan uang, status, kuasa. Perempuan biasanya bersolek, membuat diri semenarik mungkin. Padahal, apa yang dimaksud dengan menarik pada dasarnya adalah campuran popularitas dan daya tarik seksual.

Kedua, persoalan cinta dewasa ini hanya dianggap persoalan objek bukan tentang kemampuan, persoalan mencintai adalah masalah sepele namun mencari objek untuk dicintai adalah persoalan yang rumit dan kompleks.

Dahulu, kebanyakan keadaan masyarakat cinta bukan merupakan sebuah pengalaman spontan yang bisa berlanjut begitu saja ke jenjang perkawinan. Untuk menuju perkawinan banyak pagar-pagaryangharus dilewati semisal; keluarga, perantara atau pertimbangan-pertimbangan social lainnya.

Kini, walaupun aturan-aturan konvensional itu masih ada yang bertahan di sejumlah kelompok masyarakat. Namun, tak sedikit pula orang yang memburu ‘cinta romantis’, yaitu sebentuk pengalaman cinta personal yang diharapkan berakhir dalam perkawinan. Konsep ini yang kemudian memuat kebebasan dalam mencintai yang turut pula memperbesar arti pentingnya objek cinta ketimbang fungsi cinta.

Ketiga, bagaimana seseorang mencintai sangat tergantung kondisi zamannya. Di tengah arus modernitas ini oarng-orang biasanya menemui kesenangannya saat memandangi etalase-etalase toko dengan didasari nafsumembeli dan menukar. Semua harus memiliki nilai sosialnya, begitu pula cara manusia modern memandang sesamanya.

Contohnya, pada tahun 1920-an di Amerika seseorang wanita dianggap menarik saat ia minum-minum, merokok, terlihat seksi dan ulet. Kini wanita yang menarik adalah wanita yang pintar, pemalu, betah di rumah. Intinya perasaan jatuh cinta biasanya berkembang karena adanya komoditas-komoditas yang bisa dipertukarkan. Sang ‘aku’ selalu berada diluar bargain, karena segala sesuatu dinilai berdasar nilai sosialnya.

Cinta dan problem eksitensi manusia

Mengapa manusia mencintai, bisakah manusia hidup tanpa cinta? Setiap manusia niscaya akan mencinta, karena teori tentang cinta dimulai dengan teori tentang manusia, tentang eksistensi manusia. Meski dalam dunia binatang juga ditemukan sesuatu yang mirip cinta namun itu hanya perpanjangan dari kemampuan instingtualnya. Berbeda dengan manusia yang telah terlempar dari dunia binatang dengan akal dan pikirannya.

Manusia adalah makhluk yang sadar akan dirinya , akan diri sesamanya, akan masa silam, serta kemungkinan-kemungkinan di masa depan. Manusia juga memiliki kesadaran akan dirinya sebagai entitas yang terpisah serta kesadaran akan jangka hidupnya yang pendek. Fakta mengenai ia lahir diluar keinginannya, mati mendahului atau didahului orang yang mereka cintai, kesadaran akan kesendirian, kelemahan menghadapi kekuatan alam dan masyarakat.

Semua kenyataan itu membuat keterpisahan manusia. Eksistensinya tidak bersatu(disunited Existence) sebagai penjara yang menyakitkan. Manusia akan jadi gila bila ia tak mampu keluardari penjara ini, ia harus mencaripertalian baru dengan manusia lain, dengan dunia lain.

Bahkan Hawa diciptakan setelah Adam diciptakan dengan analogi, diambil dari tulang rusuk Adam. Gambaran mengenai keterpisahan jelas terlihat saat Adam dan Hawa bertemu pertama kali. Mereka merasa asing, malu, juga rasa bersalah. Karena, kesadaran akan keterpisahan manusia tanpa adanya penyatuan kembali oleh cinta ini-menjadi sumber dari rasa malu sekaligus sumber rasa bersalah dan kecemasan.

Jawaban atas keterpisahan ini adalh dengan pencapaian kesatuan interpersonal dengan orang lain yang sering disebut cinta. Hasrat akan kesatuan interpersonal adalah dorongan yang paling kuat yang ada dalam diri manusia. Walaupun begitu pencapaian penyatuan interpersonal bukan hanya dapat diperoleh lewat cinta. Penyatuannya bisa melalui banyak cara yang sering diasosiasikan dengan bentuk-bentuk cinta.

Fromm juga menyaratkan beberapa aspek dalam seni mencintai. Pertama, adalah perhatian aktif., cinta adalah perhatian aktif kepada kehidupan serta perkembangan dari yang kita cintai-entah itu sesuatu atau seseorang. Dari perhatian dan kepedulian kemudian cinta membutuhkan aspek lagi yaitu tanggung jawab. Tanggung jawab bukan berarti sebuah beban yang harus dipikul seseorang, menurut Fromm tanggung jawab justru merupakan sebuah kerja bersifat sukarela.tanggung jawab hadir atas respon kebutuhan-kebutuhan dasar manusia.

Ketiga, adalah penghargaan. Sebuah tanggung jawab bisa mudah menjadi dominasi penghargaan dialpaakan. Penghargaan juga bukan berupa keterpesonaan, ia berbentuk sebuah pemberian kebebasan terhadap objek yang dicintai untuk tumbuh dan menjadi apapun bukan dipaksa berkembang demi hasrat atau ambisa si pecinta. Penghormatan tak akan bisa dilakukan tanpa memahami si objek cinta. Pemahaman dan pengetahuan memiliki kaitan yang fundamental terhadap dengan masalah cinta, kebutuhan untuk lepas dari penjara keterpisahan berhubungan erat dengan sifat manusia untuk mengetahui manusia itu sendiri.

Perhatian, tanggung jawab, penghargaan serta pemahaman merupakan unsur yang saling tergantung satu sama lain. Semua merupakan sindrom yang ditemukan dalam pribadi-pribadi yang matang, pribadi-pribadi yang mampu mengembangkan kemampuan manusiawinya secara produktif, pribadi yang hanya mau memiliki atas apa yang dia usahakan sendiri, pribadi yang telah meninggalkan impian-impian narsistis tentang kemahatahuan dan kemahakuasaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun