[caption id="attachment_153048" align="alignleft" width="300" caption="Ketiadaan sumber daya yang menjual dari universitas menjadikan mahasiswa sebagai korban"][/caption]
Giatnya universitas melakukan usaha mandiri malah membawa bencana. Batas antara keadilan dan kemanusiaan dengan mengejar keuntungan kian hilang.
Awalnya, adalah bedah buku Enterpreneurial Pathways of University Transformation pada Februari 2003.Bedah buku ini merupakan langkah awal UNJ menujuEnterpreneurial University. Maksud bedah buku ialah pengenalan kepada civitas akademik dengan orientasi pedidikan wirausaha di perguruan tinggi.
Kusmayanto Kadiman, saat itu Rektor ITB, didaulat sebagai pembicara utama.ITB sendiri diyakini merupakan teladan, banyak civitas akademik belajar berwirausaha ria dari bekas sekolah Ir. Soekarno ini.
Dalam bedah buku tersebut, banyak diperkenalkan kampus ternama duniaseperti, Warwick University Inggris, Twente University Belanda, Chalmers University of Technology Swedia, Joensuu University Finlandia, dan Strathclyde University Skotlandia. Kampus-kampus ini tersohor akan kesuksesannya mengembangkan wirausaha di universitas.
UNJ yang kala itu dipimpin Rektor Sutjipto pun memiliki maksud hati mencuri rumus kampus-kampus wirausaha ini. Menurut Sutjipto, orientasi wirausaha universitas akan mengecilkan ketergantungan dana kepada pemerintah, terlebih kampus tak lagi bermasalah dengan kekurangan uang.
Lantaran itu, kampus akan berjalan lebih mandiri. Khusus UNJ, persoalan dana seolah menemukan jalan buntu, alokasi didapat dari bayaran mahasiswa non reguler(SK Rektor no 950 tahun 2001). Penjatahan anggaran 10% universitas, 10% fakultas, dan 80 % program studi/Jurusan, dianggap terlampau sedikit demi mengembangkan program studi/jurusan.
Tahun 2004, karena belum juga menemukan pintu keluar, permasalahan kekurangan dana akhirnya mendorong universitas memberi keleluasaan bagi program studi/jurusan DPPS (Dana Pengembangan Program Studi). “Lewat otonomi tersebut,jurusan diharapkan bisa mengembangkan jurusannya masing-masing, dan pada akhirnya bisa menghidupi jurusannya sendiri,” kata Sutjipto.
Dari kebijakan ini, UNJ menikmati peningkatan Pendapatan Nasional Bukan Pajak dari yang sebelumnya hanya 35 milliar rupiah menjadi 50,7 milliar rupiah. Dana melimpah inipun memunculkan pembentukan fakultas baru,Jurusan Ekonomi resmi terpisah dari Fakultas Ilmu Sosial (FIS).
Di lain sisi, terdapat pula program studi/jurusan yang tak bisa mencicipi manisnya sistem swadana ini. Mereka masih merasa berkah dana dari otonomi belum bisa menutup biaya honor dosen, dari sini mereka ramai-ramai memulai mengelola bisnis di dalam kampus.
Mereka mayoritas jurusan-jurusan yang dinilai memiliki disiplin ilmu “menjual”.“Karena masih dalam tahap pengembangan jadi skalanya masih kecil, semisal restoran di (jurusan) IKK,” terang Sutjipto.
Pendirian unit bisnis ini sedikit memberi angin segar bagi jurusan, apalagi bebarengan dengan itu gagasan pendidikan wirausaha sedang galak-galaknya diperkenalkan. Kehadiran unit bisnis milik jurusan pun dianggap tepat dan sejalan dengan pengembangan kurikulum wirausaha.
Pada masa Sutjipto, program pendidikan wirausaha memupuk unit bisnis dengan kucuran modal di tiap jurusan. Bagi para mahasiswa, terdapat sederet program berupa pelatihan, pentaran maupun seminar tentang Kampus Wirausaha (lebih dikenal UNJ-Bw).
Program UNJ-Bw (UNJ Berwirausaha), kata Pak Tjip sebutan akrabnya, lahir setahun sebelum masa jabatannya usai. UNJ-Bw bertugas agar seluruh potensi kampus, baik bidang akademik, pelayanan dan pendukung, maupun kemahasiswaan bisa mengamalkan orientasi enterpreneur, mencari untung di tiap kesempatan.
Selain itu, UNJ-Bw adalah cikal bakal kampus mandiri sebagaimana tuntutan Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang kala itu tengah digodok dasar konstitusinya.Sejak semula sudah berhembus kabar bahwa BHP bakal melepas “belenggu” pemerintah terhadap kampus, otonomi akademik dan keuangan.
Seiringberjalannya waktu dan sampai masa Sutjipto selesai, UNJ Bw kian lesu. Ia hanya gagasan, tapi mandeg pada pelaksanaan. “UNJ-BW baru pada tahap penataran-penataran,” akuFakhrudin Arbah, PR III UNJ.
Banyak sebab kegagalan UNJ –Bw, Sutjipto menenggarai minimnya dukungan dan belum terciptanya budaya mandiri. “Dibangun dulu budayanya, dan juga perlu banyak dukungan kebijakan, politik, dan aturan yang jelas kalau itu belum jalan ya tidak mungkin berhasil, waktu itu semuanya minim,“ kata Sutjipto.
Otonomi salah kaprah
Tak ada asap bila api tak ada, agak tepat mengatakan demikian kepada perguruan tinggi yang tergila-gila menerapkan gagasan enterpreneur. Akibat pengesahan UU Sisdiknas Tahun 2003, seluruh perguruan tinggi dituntut bermandiri.
UU ini seolah membuat celaka kampus yang amat bergantung pemerintah, tak mandiri secara akademik dan keuangan. Perguruan tinggi diamanatkan beralih dan memiliki status hukum sebagaimana Sisdiknas telah melahirkan UU BHP yang gagal disahkan pada 2008 lalu.
Meski begitu, banyak kampus telah melakukan pemanasan sebagai pelaksana otonomi, terbukti dengan penerapan Badan Hukum Milik Negara (BHMN), seperti dilakukan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung. Sejak 2004, UPI mulai struktur organisasinya supaya sejalan dengan semangat kemandirian.
Dengan naungan peraturan BHMN, UPI berhasil mendatangkan dana sendiri melalui unit-unit bisnis yang ia dirikan. “Karena BHMN, UPI bisa melakukan kegiatan-kegiatan usaha.Dari usaha tersebut, UPI mendapatkan keuntungan secara finansial,”ujar Dadang Suhendar, Pembantu Rektor bidang kemahasiswaan dan Kemitraan UPI.
UPI kian bangga, enam unit bisnis yang mereka miliki sukses menyumbang keuntungan besar. Gelanggang Olahraga, Poliklinik, Balai Bahasa, Bengkel Kerja Prototipe Alat-Alat Pendidikan, UPI Press, Isola Resort Hotel, unit-unit bisnis ini kini terus dikembangkan divisi pengembangan usaha UPI. “Seperti Gelanggang Olahraga, itu sekarang malah rutin digunakan untuk latihan Persib,” Dadang membanggakan.
Selang empat tahun dengan UPI, UNJ yang eks-IKIP juga punya niatan sama. Lewat S.K. Menkeu no. 440/KMK 05/2009 UNJ resmi berwujud PK-BLU (Pelayanan Keuangan Badan Layanan Umum). BLU tak beda dengan BHMN.
Penerapan BLU bagi UNJ seakan memompa kembali nafsu kemandirian yang dulu pernah gagal melalui UNJ-Bw. BLU memberi keleluasaan kampus dalam pengelolaan keuangan, termasuk mendirikan unit-unit bisnis.
Peluang berbisnis terbuka lebar bagi UNJ. Pasca mendapat utang IDB (Islamic Development Bank) 24,9 Juta Dollar, UNJ merasa bisa berbuat banyak dengan hasil pembangunan dan perbaikan wajah kampus. Bangunan gedung yang megah dan bagus kelak dijadikan modal pencari keuntungan.
Apalagi hasil dari bisnis ini perlahan menampakan hasil. Selepas didirikannya Gedung Pusat Studi dan Sertifikasi Guru setinggi sepuluh lantai yang melayani sertifikasi guru tiga daerah yakni, Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, mulai menerima pemasukan.
Demi mendapat keuntungan berlipat, UNJ juga mulai mengejar paten dari penciptaan model-model pembelajaran, bentuk pengajaran, bahkan perumusan kurikulum. “Hak paten seperti itu kan mahal harganya,” Ucap Zainal Rafli, Pembantu Rektor bidang akademik.
Sementara unit bisnis sebagai sumber uang tengah dirancang, UNJ juga masih getol mencari dana tambahan. “Pencarian dana juga bisa berupa lobi-lobi seperti hibah, dan pinjaman luar negeri,” Kata dedi Purwana, Kepala Proyek UNJ-BLU sekaligus Pembantu Dekan bidang akademik FE.
Mahasiswa Tambah Susah
Dalam buku Enterpreneurial Pathways of University Transformation dikemukakan ada beberapa syarat sebelum sebuah universitas bisa berwirausaha. Pertama, kepemimpinan yang visioner, kedua, optimalisasi potensi yang dimiliki, ketiga, penciptaan iklim yang demokratis, keempat, profesionalisasi dan efisiensi, kelima, menghilangkan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Terakhir, jaminan kesejahteraan bagi seluruh sivitas akademik.
Dari buku itu, dapat dipetik nilai antara manfaat bisnis terhadap kepentingan kampus, yakni mengelola dunia akademik. Setidaknya ukuran paling sederhana ialah kemudahan bagi mahasiswa terkait akses berkuliah, khususnya pembiayaan.
Namun pengalaman UPI berbicara sebaliknya. Semisal, Poliklinik UPI mulai tahun 2010 membebankan biaya sebesar seratus ribu rupiah saat mahasiswa kali pertama masuk.Padahal di tahun-tahun sebelumnya biaya tersebut hanya Rp.12.500,-/tahun, itupun masih menyisakan dana untuk kampus sebesar Rp.253,7 juta (Isola Pos, September 2010: Jalan Sempit Program Kesehatan).
Gelanggang olahraga dan Isola Resort Hotel berwajah sama. Pengelola tak pandangbulu terhadap penyewa, termasuk kepada kegiatan mahasiswa. “Semua dikelola secara professional,” Jelas Tjutju Yuniarsih, ketua Direktorat Akademik UPI.
Mahasiswa UPI kian gigit jari, manakala pengelola Asrama Mahasiswa atasnama “berwirausaha” mengizinkan pihak luar (UPI) menyewa.“Sekarang (asrama mahasiswa) jadi hotel murah, jadi tidak tepat lagi sasarannya,” Ujar Isman Yusron, Mahasiswa UPI.
Lebih parah lagisemenjak UPI berstatus BHMN, biaya kuliah tajam meningkat. Pada penerimaan mahasiswa tahun 2011 baru-baru ini, rata-rata biaya masuk reguler menembus kisaran 14-18 juta rupiah.
Kisah berbeda dialami UNJ. Jika UPI sukses menjual apapun, UNJ masih kelimpungan memikirkan barang jualan.“Padahal kita punya UNJ Press, tapi kenapa masih mencetak buku diluar,” kata Fakhrudin mencontohkan.
Gedung Pusat Studi dan Sertifikasi Guru awalnya diharapkan mampu sebagai contoh praktek bisnis UNJ. Belakangan, pengelolaan gedung tersebut justru malah terkesan menyusahkan, di tengah kondisi keuangan kering, perawatan gedung menelan biaya besar.
Bagi UNJ, sukar menemukan jalan keluar guna menggenjot pendapatan dari unit-unit bisnis. Kekurangan permodalan diperparah lagi dengan iklim kampus wirausaha yang belum terbangun. “Itu yang selama ini belum terlihat di UNJ, belum ada produk yang dihasilkan,” Ujar Dedi Purwana.
Niat berjualan hasil penelitian melalui paten juga mendapat nasib sama, langka penelitian dan penghasilan.“Selama ini penelitian belum mendapat nilai jual, jadi belum signifikan,” tambah Dedi. Dedi mengimpikan nantinya penelitian dari UNJ berdaya saing, lantas bisa tanggap terhadap permintaan dunia bisnis, proyek dan keuntungan akhirnya mengalir.
Pimpinan kampus sendiri memang beralasan UNJ masih banyak berbenah.“Ini masih dalam fase awal, saya akui kita belum mampu bergerak cepat karena sarana dan prasarana terbatas,” Zainal Rafil membenarkan.
Karena itu pula, kampus menjalankan cara kuno dalam mencari dana, menaikan biaya kuliah mahasiswa. “Karena ituperawatan dan pemeliharaan gedung ditanggung oleh pihak oleh mahasiswa atau universitas sendiri,” Ujar Bedjo Sujanto (Wawancara khusus Laporan Utama, Majalah Didaktika edisi 39).
Pada penerimaan mahasiswa baru tahun ini, kenaikan mencapai rekor 100%. “Kenaikan bayaran tidak dapat dihindari, karena beban operasional yang banyak serta ketiadaaan sumber pendapatan baru ,” Ujar Bedjo Sujanto, saat menanggapi protes mahasiswa (08/06).
Dengan demikian pula, enterpreneur serta semangat kemandirian kampus sebagai kebijakan pendidikan tinggi nasional patut dikoreksi ulang. Membawa manfaat atau mudhorat? Terutama bagi kepentingan akademik dan mahasiswa.
Diterbitkan dalam Majalah DIDAKTIKA Edisi 41 Oktober 2011
rubrik Laporan Utama
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H