Perempuan itu sedang membetulkan kancing kemeja suaminya dengan jarum yang sedikit berkarat dan benang berwarna merah darah yang rasanya menurut perempuan itu agak kurang pantas disanding dengan kemeja yang berwarna kuning padi apalagi dengan kancing lainnya dijahit menggunakan benang warna abu-abu. Namun ia mendapatkan lelucon atas semua itu, tadi ia sempat tersenyum. “Merah dan kuning,” katanya. “seperti warna komunis . .” ia berseloroh dengan dirinya sendiri. “Dan kancing paling atas ini pantas dijadikan simbol resistensi terhadap benang-benang yang dikawinkan pada kancing lainnya.”
Bunyi ‘tuut’ panjang dari arah dapur menghentikan sejenak kesibukannya menjahit. Kemeja kuning itu ia letakkan di meja kecil di sebelah tempatnya duduk di dekat jendela yang menghadap ke bukit yang dikelilingi Hutan yang Agung. Matahari sudah mulai melipir ke arah yang lain. Air yang tiga puluh menit tadi ia jerang di kompor sudah matang. Perempuan itu beranjak dari kursi.
Selangkah lagi menuju dapur, tiba-tiba ia mendengar derap langkah kaki yang dihentak berlebihan menyerbu ke teras rumah mereka yang berlantai papan. “Cuma anak-anak dan orang dewasa yang panik yang melakukan ini” gumamnya di otak sambil mematikan kompor dengan ketergesaan penasaran. Buru-buru perempuan itu melesat ke arah depan, ke tempat suaminya sekarang berada sambil menikmati teh manis yang tadi ia bikinkan.
***
Setiba dirinya di teras, setelah menyibakkan daun pintu yang mengeluarkan bunyi berderitakibat karat, perempuan itu melihat pemandangan yang aneh di depannya. Suaminya dan si tamu seperti dijebak dalam diam, keheningan yang mencekam serupa dengan keheningan di desa mereka ketika orang-orang mengenakan seragam warna hijau—dulu warna kesukaannya—datang. Mereka membawa petaka. Orang-orang dibariskan di halaman rumah kepala desa, si Odang yangmalangitu. Ibu dan anak-anak tak sanggup melihat suami dan ayah mereka dibariskan dengan sikap tak manusia tersebut. Mencicipi sepatu boot dan popor senjata selama berjam-jam. Orang-orang merasakan aroma keheningan yang jahat hingga membuat seluruh penduduk, jangankan berbisik, bernafas saja jadi seolah tertahan.
Itulah keheningan yang pernah ia alami waktu masih berusia belasan. Sejak saat itu ia tak terlalu memilih warna kesukaan, “Apa saja sama” katanya, “hijau tak melulu jadi warna bumi. Tentara menggunakan hijau untuk mengelabui musuh dan menebar ancaman.”
Angin sepoi-sepoi berhembus dari arah punggung perempuan itu, datangnya dari bukit arah utara, niscaya membawa perasaan damai pada waktu-waktu malas kecuali pada sore hari seperti sekarang. Perempuan itu memecah kesunyian dengan suara agak tercekat, “Adaapa?”
***
Suaminya berdiri dengan kaku di hadapan tamu mereka. Angin sepoi-sepoi yang berhembus tak’kan mampu meredakan amarahnya. Rahangnya mengeras. Giginya bergemeretak. Perempuan itu paham, Laki-laki itu sedang diliputi rasa geram yang meledak-ledak.
Asap mengepul dari dalam asbak yang berada di tengah meja bulat di tengah-tengah mereka bertiga. Sekilas perempuan itu melihat setengah batang rokok kretek milik suaminya yang nampaknya disudahi dengan tergesa-gesa.
Sebentar lagi ia akan menjadi api, gumam perempuan itu dalam benaknya demi melihat ekspresi suaminya yang menakutkan.