Mohon tunggu...
Achmad Zunaidi
Achmad Zunaidi Mohon Tunggu... -

Achmad Zunaidi, Almunis Magister Ekonomi Universitas Indonesia, fokus pada seluk beluk Anggaran Negara. Menjadi narasumber terkait sistem anggaran negara baik pada berbagai kesempatan. Untuk berdiskusi atau menghubungi melalui email ach_zunaidi@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ini Dia Modus Operandi Korupsi

12 September 2012   02:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:35 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua korupsi menonjol yang terjadi pada mediaakhir-akhir ini (2012), pertama, kasus penggelembungan nilai kontrak pengadaan AlQuran pada Kementerian Agama; kedua, kasus penggelapan pajak yang merupakan persekongkolan Kepala KPP Bogor, sebagai petugas pajak, dengan wajib pajak. keduanya jelas merugikan keuangan Negara. Namun demikian keduanya mempunyai sudut pandang yang berbeda bila dilihat dari sisi pengelolaan keuangan negara.

Case Pertama

Kasus pertama, terjadi pada saat pelaksanaan pengadaan AlQuran. Kondisi saat itu, dasar hukum pengalokasian anggaran pengadaan AlQuran berupa dokumen Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) sudah ada. Dalam DIPA tersebut tertulis (misalnya), pengadaan AlQuran sebanyak 10.000 eksemplar dengan anggaran sebesar Rp600 juta. Yang berarti, satu eksemplar AlQuran berharga Rp60 ribu.

Perlu diingat bahwa angka Rp60 ribu per eksemplar merupakan angka perkiraan pada saat perencanaan, dan itu merupakan batas tertinggi. Artinya, belum tentu pada saat pelelangan atas pengadaan AlQuran tersebut, harga yang terbentuk Rp60 ribu per eksemplar, bisa juga di bawahnya.

Kenyataan yang terjadi di lapangan atas kasus pertama ialah adanya persekongkolan atau pengaturan pelaksanaan pelelangan, tidak terjadi fairness.Pengaturan bisa terjadi karena persyaratan teknisyang ditentukan sulit dipenuhi oleh perusahaan yang ikut tender lelang. Hanya perusahaan tertentu saja yang mempu memenuhi. Bisa juga pengaturan juga dilakukan dengan memberikan waktu yang sempitatau kombinasi keduanya.

Dengan kondisi seperti itu, wajar saja pemenang lelang memperoleh keuntungan yang besar karena dapat menentukan harga tinggi yang sesuai persyaratan teknis, tetapi tidak ada yang mampu menyainginya. Keuntungan inilah yang dibagi-bagi kepada para pihak yang turut serta “mengatur” pemenangan pelelangan.

Jelas, ini penggelembungan angka yang sewajarnya apabila dilaksanakan pelelangan secara fair dan terbuka. Jika pengadaan AlQuran dilakukan secara fair, harga yang terjadi mungkin hanya Rp 30 ribu per eksemplar, namun kenyataanya harga yang terjadi (karena kondisi tersebut) sebesar Rp60 eksemplar. Selisih sebesar Rp300 juta antara harga wajar (Rp30 ribu per eksemplar) dengan harga tidak wajar (Rp60 ribu per eksemplar) inilah yang dibagi-bagi sebagai fee.

Case Kedua

Sementara itu pada kasus kedua yaitu penggelapan pajak. Petugas pajak dan wajib pajak bersekongkol untuk mengurangi kewajiban bayar pajak yang seharusnya. Wajib pajak diuntungkan dengan pembayaran pajak yang lebih kecil dari yang seharusnya, sedangkan petugas pajak mendapat uang tutup mulut.

Contohnya, wajib pajak seharusnya membayar Rp100 juta, namun atas pesekonkoloan ini, dia hanya membayar Rp50juta saja ke kas negara. Sedangkan petugas pajaknya diberikan fee Rp10 juta, atas jasanya menyetujui pembayaran pajak dari yang seharusnya. Secara matematitka keduanya sama-sama untung.

Wajib pajak tidak jadi membayar Rp100 juta, hanya membayar Rp60 juta saja dengan rincian Rp 50 juta dibayarkan ke kas negara dan Rp10 juta ke petugas pajak. Wajib pajak masih untung Rp40 juta.

Bagimana Modusnya

Coba kita lihat perbendaannya antara keduanya. Kasus 1, anggaran pengadaan AlQuran sudah tersedia di kas negara berdasarkan dokumen Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Pelaksana anggaran tinggal melaksanaannya berdasarkan peraturan tentang pengadaan barang/jasa Pemerintah. Aturan tersebut antara lain pengadaan barang/jasa untuk nilai tertentu (di atas Rp 200 juta) harus melalui pelelangan.

Selanjutnya pada saat pertanggungjawaban, pelaksana anggaran harus menunjukkan bukti bahwa pengadaan telah dilaksanakan sesuai peraturan yang berlaku. Harga pelelangan terbentuk melalui cara yang fair, harga wajar, dan tanpa rekayasa.

Intinya, mengeluarkan uang negara sangat memerlukan persyaratan yang cukup rumit dan membutuhkan kerjasama semua pihak sampai uang negara itu dikeluarkan (pelaksanan anggaran, peserta tender, bagian akuntansi, dan pemeriksa internal kementerian/lembaga).

Sedangkan pada kasus 2, uang wajib pajak belum masuk dalam kas negara dan yang terlibat atau mengetahui perihal uang tersebut hanya petugas pajak dan wajib pajak saja. Masuk tidaknya uang ke kas negara hampir tergantung sepenuhnya ditentukan oleh petugas pajak saja. Bandingkan dengan pada sisi belanja, kasus pengadaan AlQuran.

Keduanya sama-sama merugikan negara. Yang satu (kasus pengadaan AlQuran), uang negara keluar seharusnya lebih kecil jika dilakukan pelelangan secara wajar. Sedangkan pada kasus 2 (penggelapan pajak), uang negara masuk lebih kecil dari yang seharusnya.

Menurut pendapat penulis, semua peraturan telah mengatur dengan baik, tinggal pelaksanaannya saja, apakah dilaksanakan dengan baik atau tidak. Semua kesalahan tidak mutlak dari sisi birokrat saja, tetapi juga masyarakat yang kurang mematuhi hukum.

Mungkin saja hukuman dianggap lebih ringan atau masih dapat ditanggung pelakunya dibanding dengan iming-iming hasil yang didapat. Oleh karena itu penegakan hukum yang dibarengi dengan penghargaan sepadan terhadap birokrat yang bekerja sesuai aturan menjadi kata kunci solusinya. Anda setuju?

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun