Rentetan kasus korupsi yang melibatkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memberikan sinyal kepada rakyat untuk tidak berharap banyak pada Dewan Terhormat tersebut dalam pemberantasan korupsi di negeri ini. Fakta menunjukkan, saat ini tercatat 46 anggota DPR yang telah diciduk KPK, ada yang sedang disidik, disidang, bahkan sudah masuk penjara. Kasus korupsi terakhir yang melibatkan anggota DPR, Zulkarnaen Djabar,ialah proyek pengadaan Al Quran dan pengadaan laboratorium komputer Madrasah Tsanawiyah di Kementerian Agama.
Pertanyaan mendasar yang ada di benak kita, apa kewenangan DPR dalam penganggaran yang memungkinkan anggotanya berkesempatan atau menciptakan kesempatan korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tulisan ini hendak mengupas dan proses penganggaran dan dimana adanya peluang korupsi dalam proses tersebut.
APBN dan Proses Penyusunannya
APBN merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh DPR. APBN ini tertuang dalam dokumen Nota Keuangan, suatu buku yang berisikan kondisi ekonomi dan kebijakan Pemerintah. Bentuk atau postur APBN berupa daftar memanjang, biasa disebut I-account, yang secara garis besar berisi informasi: (1) pendapatan negara dan Hibah; (2) Belanja Negara; (3) Defisit Anggaran; dan Pembiayaan Defisit. Belanja Negara dirinci dalam belanja Pemerintah Pusat dan Belanja Transfer ke Daerah. Kantong Belanja Pemerintah Pusat inilah asal/sumber anggaran belanja yang nantinya didistribusikan kepada kementerian/lembaga.
Sebagai sebuah rencana, APBN tentunya harus disusun, ditetapkan, dilaksanakan, dan dipertanggungjawabkan. Inilah yang disebut masa berulang atau siklus APBN yang saling berkelindan antara satu siklus dengan siklus berikutnya. Secara garis besar, siklus APBN meliputi tahap: (1) penyusunan RAPBN oleh Pemerintah; (2) pembahasan dan penetapan Rancangan APBN dan Rancangan Undang-Undang APBN menjadi APBN dan UU APBN dengan persetujuan DPR; (3) pelaksanaan APBN yang dimulai dari 1 Januari smpai 31 Desember; (4) pemeriksaan atas pelaksanaan APBN oleh instansi yang berwenang antara lain BPK; dan (5) pertanggungjawaban pelaksanaan APBN. Siklus ini akan berakhir pada saat Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) disahkan oleh DPR pada 6 bulan setelah berakhirnya pelaksanaan APBN. Jika dilihat dari siklus tersebut, tahapan yang melibatkan DPR adalah tahapan pembahasan dan penetapan Rancangan APBN dan Rancangan UU APBN menjadi APBN dan UU APBN dengan persetujuan DPR.
Dalam soal APBN, Pemerintah mempunyai hak mengajukan dan membahasnya besama DPR. Sementara tugas DPR memiliki hak membahas, menyetujui dan menolak APBN. Dalam hal menyetujui, persetujuan oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Tentunya dalam pembahasan antara Pemerintah dengan DPR tidak selalu ada kesepakatan bulat, ada saja hal-hal yang menjadi kompromi atau usulan-usulan baru dari DPR. DPR dalam proses pembahasan dapat mengusulkan perubahan Rancangan Undang-undang tentang APBN sepanjang tidak mengakibatkan peningkatan defisit anggaran.
Pembahasan APBN di DPR dilaksanakan oleh dua alat kelengkapannya yaitu komisi-komisi dan Badan Anggaran (Banggar). Tugas komisi membahas RAPBN, menetapkan pendapatan negara dan alokasi anggaran serta menyampaikannya kepada Banggar untuk sinkronisasi. Selanjutnya menyempurnakan hasil sinkronisasi serta menyerahkan kembali kepada Banggar. Sedangkan tugas Badan Anggaran menetapkan kebijakan fiskal dan prioritas anggaran, pendapatan negara, kemudian RUU APBN. Penetapan oleh Banggar tersebut setelah terlebih dahulu mengacu pada keputusan rapat kerja komisi. Disebutkan juga bahwa Banggar hanya membahas alokasi anggaran yang sudah diputuskan oleh komisi dan anggota komisi dalam Banggar harus mengupayakan alokasi anggaran yang diputuskan komisi.
Analisis Peran DPR dalam Proses Penetapan Anggaran
Secara umum Badan Anggaran membahas kebijakan besaran belanja secara umum. Sedangkan Komisi DPR membahas dengan masing-masing kementerian/lembaga sesuai mitra kerja-nya secara lebih lebih rinci. Rinciannyapun hanya sebatas yang terdapat dalam dokumen RKA-KL berupa target kinerja per kegiatan dan kebutuhan anggarannya. RKA-KL tidak menginformasikan secara detil biaya dari suatu kegiatan. Disana, tidak ada informasi mengenai proyek: jumlah proyek, sebaran lokasi, dan jumlah anggaran masing-masing proyek.
Namun dalam prakteknya, DPR dapat meminta keterangan dan membahas sampai dengan rincian biaya anggaran kegiatan, biasa disebut “satuan tiga”. Satuan tiga merupakan istilah sebelum tahun anggaran 2005 yang saat ini disebut Kertas Kerja RKAKL. Dokumen ini merupakan “kertas buram” hitung-hitungan kebutuhan biaya dalam rangka menghasilkan keluaran kegiatan. Dan dokumen ini bukan merupakan dokumen wajib yang harus diserahkan kepada DPR dan tidak disyaratkan dalam peraturan (UU nomor 17 tahun 2003 dan Tatib DPR). Dengan pembahasan yang rinci dapat diketahui adanya paket pekerjaan, sebaran lokasinya, dan jumlah anggarannya. Tentunya dapat ditebak bahwa pembahasan APBN menjadi lambat dan memunculkan calo anggaran yang pada ujungnya, korupsi.
Peraturan hanya menyebutkan bahwa dokumen yang menjadi pembahasan adalah RKAKL, tidak ada yang lain. Jika saja anggota DPR yang terhormat—menjadi betul-betul terhormat kalau— fokus membahas mengenai target kinerja dan kebutuhan anggaran dari masing-masing kementerian/lembaga yang menjadi mitranya, pembahasan menjadi lebih cepat dan lebih berkualitas. Lebih berkualitas lagi jika data-data yang dibawa selama reses dipakai sebagai bahan evaluasi membahas capaian kinerja tersebut tahun yang direncanakan dengan realisasi tahun-tahun sebelumnya. Betapa indahnya dunia politik Indonesia kalau begitu.
Satu hal lagi, DPR kadang-kadang memunculkan pos-pos belanja di luar rencana dan usulan Pemerintah, terutama pada saat pembahasan di Banggar. Banggar dengan kewenangannya dapat mengutak-atik angka postur APBN, misalnya pendapatan negara dari minyak diperbesar. Otomatis ada ruang belanja baru dan ini harus disebar ke kementerian/lembaga sebagai belanja. Kondisi ini juga membuka peluang adanya percaloan anggaran dan korupsi.
Bagi Pemerintah, hal ini juga mempersulit perencanaan. Tambahan anggaran bukan merupakan berkah tapi mungkin saja menjadi bencana, masuk penjara. Kementerian/lembaga tentunya belum mengetahui tambahan target kinerja apa yang harus dicapai dengan tambahan anggaran tersebut. Belum lagi pada saat pelaksanaanya, tambahan anggaran menjadi sorotan para penegak hukum. Ujung-ujungnya, pengelola anggaran kementerian/lembaga tidak berani melaksanakan tambahan anggaran tersebut dan anggaran tidak terserap. Ini kesalahan yang cukup fatal, DPR berperan sebagai eksektif, membagi-bagi anggaran. Bagi Menteri Keuangan, kondisi ini juga membuat kalang kabut dengan mengutak-atik lagi postur APBN, menyesuaikan dengan permintaan DPR.
Masalah lain yang juga membuat proses penetapan APBN tidak mulus ialah ketidakharmonisan antara hasil pembahasan komisi (DPR dan kementerian/lembaga sebagai wakil Pemerintah) dengan Banggar yang sering menimbulkan ketegangan internal. Pada akhirnya APBN menjadi korban. Contoh sederhana, hasil kesepakatan pembahasan berupa jumlah anggaran per program antara DPR dengan komisi kadang kala berbeda. Ujung-ujungnya kementerian/negara mengalami kesulitan memproses anggaran menjadi dokumen penganggaran, DIPA. Ujung-ujungnya anggaran mampet, gara-gara ini.
Usulan Sederhana
Penutupan celah korupsi dalam proses penganggaran sudah banyak diungkap dan mungkin saja usulan rekomendasi ini sangat sederhana. Semakin terang pembahasan anggaran (APBN) antara Pemerintah dengan DPR baik mengenai tempat, siapa yang hadir, siapa yang memutuskan, dan apa keputusannya, serta dipublikasikan dan diawasi, semakin terang pula hasilnya bagi rakyat. Harapan saya, tidak lagi melihat di layar TV para Dasamuka—bermacam-macam muka, menggambarkan karakter yang tidak dapat dipercaya--di Senayan berkeliaran. Wajah yang satu, sebagai pembela rakyat, yang diperlihatkan dengan kegaranganya menyerang Pemrintah meskipun tidak ada isinya yang penting garang. Wajah yang lain, sebagai relasi bisnis bagi siapa saja yang berani membayar besar, memperlihatkan bahasa melangit dan berbelit-belit. Intinya pemihakan kepada kapitalis. Hasilnya, ada pasal siluman atau raibnya suatu pasal. Yang penting “wani piro?”. Wajah seterusnya dapat anda teruskan sendiri berdasarkan model-model anggota DPR dan tingkah lakunya saat ini.
Sebagai rakyat, saya berharap wajah aseli anggota DPR sebagai wakil rakyat yang memperjuangkan kemajuan untuk semua, tidak hanya untuk constituent-nya saja, tetapirakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, bahkan kemanusiaan secara universal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H