Setelah selama ini KPK disibukkan dengan polemik KPK-POLRI terkait dicalonkannya BG sebagai KAPOLRI. Absolutisme KPK ternyata berdampak serius terhadap kondisi kejiwaan pegawai KPK, pimpinan KPK dan juga para pendukungnya. Bak penyakit endemik mereka merasa jadi manusia suci, selalu benar dan tidak terkalahkan. Sebuah penyakit psikologi stadium tinggi entah apa namanya. Orang-orang KPK dan pendukungnya sudah keluar dari fitrah manusia sebagai mahkluk yang berpotensi berbuat kesalahan. Mereka seenaknya menuduh pihak lain salah dan pihaknya pasti benar. Ketika ada orang-orang KPK yang terlibat kriminal, mereka tidak percaya sama sekali. Meskipun pihak polri telah memiliki sejumlah bukti baik materiil maupun dari saksi-saksi yang telah diperiksa. Para pendukung KPK tetap saja bebal dan mengatakan orang orang KPK sedang dikriminalisasi. Mereka juga menuntut supaya orang-orang KPK yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri supaya kasusnya dihentikan atau di SP3.
Ironisnya yang mengatakan demikian adalah orang-orang terpelajar, ternama dan melek hukum. Salah satunya adalah tim 9. Presiden Jokowi menamakan sebagai Tim Independen untuk membantu menyelesaikan “konflik Polri-KPK”. Namun praktiknya tim ini jauh dari sikap independen. Sangat tendensius terhadap Polri dan menganakemaskan KPK. Ajaib, orang-orang hebat di tim 9 gagal memahami kata Independen. Alih-alih membantu menyelesaikan konflik Polri- KPK, justru mereka sibuk menyalakan tungku dan siap memasak sesuai selera masing masing. Jurus-jurus maut membombardir Polri membabi buta. Mereka Menghina Polri, melecehkan, memaksa, memojokan, memvonis dengan kata kriminalisasi. Jika mereka mau sedikit tenang dan menata kembali objektifitasnya maka setidaknya mereka harus bertanya kepada KPK, atas dasar apa Budi Gunawan ditersangkakan oleh KPK? dipengadilan praperadilan yang berlangsung di PN Jakarta Selatan, KPK sama sekali tidak bisa menunjukkan alat bukti untuk menjadikan BG sebagai tersangka. Sebuah mal praktik penyalahgunaan wewenang kelas berat, fatal, mencederai hukum, “membunuh” karakter seseorang, masa depan seseorang, keluarga, sahabat dan juga institusi Polri. Boleh jadi ini hanyalah puncak gunung es yang terjadi di KPK.
Menurut mantan penyidik KPK, AKBP Hendy Kurniawan, Kasus Angie, Miranda Goeltom dan Anas Urbaningrum sarat muatan politik. Hendy mengungkapkan penyalahgunaan wewenang pimpinan KPK sempat terjadi dan dapat disimpulkan bahwa modus operandi KPK adalah menjadikan tersangka terlebih dahulu. baru kemudian dicari-cari kesalahannya. KPK menutup semua kesalahannya dengan propaganda dan opini. Selain itu mereka juga menyiapkan LSM dan orang orang khusus sebagai benteng pertahanan sekaligus penyerang handal. Prof Jimly Assidiqie dengan jelas mengatakan bahwa Hukum untuk menghukum orang jahat bukan mencari cari kesalahan orang. Prof. Safii Maarif lebih memiliki alasan jelas untuk menyalahkan Polri karena konon KomJend Suhardi Alius adalah ponakan buya Safii, yang digadang menjadi Kapolri harus parkir di Lemhanas. Bahkan dengan lantang buya Safii mengatakan Kabareskrim KomJend Budi Waseso harus dipecat. Asyikan seorang buya mencampuri urusan internal Polri? Boleh juga strategi buya Safii, memperjuangkan kepentingan keluarga, menggunakan kendaraan KPK dan Tim 9?
KomJend Oegroseno pensiunan polri, tapi terus menyerang Polri, aneh tapi nyata. Oegro mengatakan Budi Waseso sebagai pengkhianat Polri. Padahal Budi Waseso dengan gagah perkasa menyelamatkan Institusi Polri dari berbagai pihak. Budi Waseso bekerja keras menyelamatkan Polri dan menindak para pengacau baik dari dalam maupun dari luar. Jika tindakan Budi Waseso dianggap tindakan penghkianat, lalu bagaimana dengan tindakan mantan anggota Polri yang terus menyerang Polri? Jeruk makan jeruk, dimana jiwa korsa dan kecintaan terhadap institusi yang telah membesarkanya? Namun publik menjadi maklum karena Oegroseno konon kebelet ingin menjadi Ketua KPK periode selanjutnya? Hebat sekali, KPK berhasil menghasut para sesepuh dengan menjadikan mereka kuda troya. Kini mereka rela memaksakan kekuasaan (kehendaknya) dan membelakangi Hukum. Jawabanya ternyata mudah, patut diduga orang-orang KPK dan pendukungnya sangat takut jika boroknya nanti terbongkar di Pengadilan. Maka dengan sekuat tenaga mereka berjuang menghindari pengadilan.
Dengan gentlemen, Plt Ketua KPK Taufik Rahman Roeky sudah mengakui bahwa dalam kasus BG, KPK kalah dan akan melimpahkan kasusnya ke Kejagung. Tindakan Roeky disambut demo pegawai KPK, mereka menolak pelimpahan kasus BG ke Kejaksaan Agung. Mereka menuduh Roeky ingin melemahkan KPK atau menghancurkan KPK dari dalam? Demikian sulitkah manusia menerima kenyataan kekalahan, atau sebenarnya ada agenda khusus dibalik demo pegawai KPK? Praperadilan yang dimenangkan KomJend Budi Gunawan sangat telak memukul KO KPK. Dalam sidang praperadilan, KPK tidak mampu menunjukan bukti apapun. Jika kasus tersebut dilimpahkan ke Kejagung maka akan terlihat jelas kebohongan, kesewenang wenangan, kesembronoan dan ngawurnya KPK. Dan akhirnya Kejaksaan agung juga sudah membuktikan bahwa berkas kasus BG sangat minim, tidak layak dijadikan kasus hukum dan kejaksaan agung mengembalikan kepada KPK untuk yang kedua kalinya agar dilengkapi. KPK malu, pegawai KPK malu kemudian mereka melakukan penggalangan opini menggunakan siapapun dan apapun yang bisa mereka peralat.
Menjual jargon pejuang antikorupsi memang laku keras, namun menyaksikan polah tingkah orang-orang KPK, barang jualan itu sudah tidak menarik apalagi terus diobral. Seandainya Penuntutan dan Pengadilan KPK dipisah, boleh jadi banyak kasus yang ditangani KPK tidak layak P21. KPK dan para pendukungnya sadarlah, kita semua hanya manusia biasa bahkan KPK dan pendukungnya sudah banyak melakukan dosa. Mentersangkakan orang, mempermalukan orang, memiskinkan orang, menghina, membunuh karakter orang, masa depan orang, keluarga, sahabat dan institusi tanpa bukti-bukti yang jelas. Kita semua mendukung pemberantasan korupsi tapi harus benar benar hati-hati. Siapapun tidak mau haknya dilecehkan, diinjak injak dan dirampas. Fir’aun-pun tidak berbuat demikian.
Kini saatnya hukum ditegakkan pada tugas utamanya, karena BG sudah dinyatakan bebas pada pengajuan sidang pra peradilan di pengadilan tinggi Jakarta selatan. KPK harus patuh hukum, tidak dapat lagi membuka kasus tersebut. Karena putusan pengadilan sudah final dan mengikat. Terlebih KPK tidak mempunyai bukti yang kuat dan melakukan kesalahan prosedur pada proses penetapan tersangka kepada saudara BG. Apabila KPK tetap ngotot mengajukan PK pun, itu tidak ada dasar yang kuat dan itu adalah pembangkangan terhadap hukum dalam memberikan rasa keadilan bagi seluruh warga negara. tanpa membedakan golongan dan kedekatan partainya. Penting bagi rakyat memastikan bahwa KPK masih dapat menjadi tumpuan harapan penegakan hukum tersebut. Tuntaskan segera kasus-kasus korupsi yang mangkrak di KPK! Dalam polemik kasus dagelan hokum Budi Gunawan, KPK sudah saatnya MOVE ON!!. Maka kami dari Serikat Mahasiswa Revolusioner Anti Korupsi, MENUNTUT sebagai berikut;
1.STOP POLITIK DAGELAN HUKUM PENINJAUAN KEMBALI KASUS BUDI GUNAWAN. KARENA HAL TERSEBUT TIDAK DIATUR OLEH KUHAP.
2.KPK SUDAH SAATNYA MOVE ON !!!
3.KEMBALIKAN KPK KE KHITTAH PERJUANGAN PEMBERANTASAN KORUPSI, BUKAN SEBAGAI LEMBAGA POLITIK.
4.SAATNYA SEGERA SELESAIKAN KASUS-KASUS BESAR YANG MENUMPUK DAN TERBENGKALAI DI KPK.
Jakarta, 30 Maret 2015
Ichya Halimudin
Kordinator Lapangan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H