Mohon tunggu...
Angga Putra Fidrian
Angga Putra Fidrian Mohon Tunggu... -

Tulisan lainnya bisa dilihat di \r\n\r\nhttp://anggaputrafidrian.com/

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

Pemotor dan Hak Orang Lain

18 Maret 2014   18:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:47 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

Baru pertama kali aku merasakan menggunakan motor roda dua untuk menuju Jakarta. Tidak pernah terlintas di bayanganku untuk menaiki motor di rimba jalanan ibukota. Membayangkan perkataan seorangteman tentang enaknya naik motor karena lebih cepat dan lebih murah. Ah ternyatatidak juga, bahkan motor pun sama terjebaknya seperti mobil-mobil yang berhenti di jalanan protokol ibu kota. Cepat? Tidak, murah? Tidak juga lalu kira-kira apa alasannya masih banyak teman-teman yang masih setia menggunakan moda transportasi dua roda ini. Alasan fleksibel mungkin bisa kita terima, namun apakah setiap hari alasan fleksibel ini digunakan. Tampaknya tidak. Alasan untuk menggunakan kendaraan umum pun menjadi kurang kuat, ketika fasilitas yang diberikan oleh operator jauh dari harapan yang selayaknya.

Ada yang lebih miris dari teman-teman yang membawa motor di ibukota. Mereka tidak sabaran, mereka koruptif dan punya bakat sebagai koruptor. Kenapa? Bukan tanpa alasan, tapi tindakan korupsi itu bisa ada diperilaku sehari-hari bukan hanya dilakukan para pejabat dengan mengambil uang rakyat saja. Pengertian korupsi menurut UU NO.31/1999 jo UU No.20/2001 menyebutkan bahwa korupsi adalah Tindakan :

·Melawan hukum, memperkaya diri orang/badan lain yang merugikan keuangan /perekonomian negara (pasal 2).

·Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan/kedudukan yang dapat merugikan keuangan/kedudukan yang dapat merugikan keuangan/perekonomian negara (pasal 3)

Bukan penyelenggara negara, tapi punya bibit untuk melakukan tindakan ketika memiliki jabatan tersebut. Ada sedikit hal yang bisa dianggap tindakan menyalahgunakan kewenangan, misalnyanaik ke trotoar, ku perhatikan banyak teman pemotor demi menghindari antrean naik ke trotoar untuk mempercepat lajunya. Padahal trotoar adalah hak pejalan kaki, bukan hak kendaraan bermotor, lalu bukankah mengambil hak pejalan kaki adalah tindakan mengambil hak yang bukan seharusnya? Di lampu merah, banyak teman-teman pemotor yang berhenti melewati garis untuk menjadi yang terdepan, padahal didepan garis putih ada hak-hak pengendara dari jalur lain, dan ada hak pejalan kaki juga karena biasanya ada zebracross. Selain itu tampaknya teman-teman ini juga sudah jauh dari kata ramah yang melekat pada orang Indonesia. Ketika Aku harus berhenti karena memberikan kesempatan kendaraan lain keluar dari gedung menuju jalan raya, pengendara dibelakangku langsung membunyikan klaskon tanda tak rela ada kendaraan lain yang berada di depannya. Padahal apa salahnya memberikan kesempatan kepada pengguna jalan yang lain? Apakah dengan tidak memberikan jalan ke orang lain kita akan sampai lebih dulu? Kalo kita udah buru-buru tapi didepan ada lampu merah gimana? Sama aja kan?

Satu lagi contoh yang cukup ramai menjadi perdebatan beberapa waktu lalu adalah denda bagi para penerobos jalur busway. Padahal ada hak ratusan warga pengguna TiJe yang diambil oleh para pengendara motor, tapi tetap dengan santai mengambil hak orang lain sambil kucing-kucingan dengan penegak hukum. Eh tapi tunggu dulu, bukannya yang seperti ini banyak? Ketika sedang bergerombol masuk ke jalur busway lalu melihat ada para aparat baju coklat, teman-teman sibuk untuk mengeluarkan motor teman-teman dan ada juga yang menganggkat motornya karena separatornya tinggi. Tentu untuk penerobos ini, tidak hanya teman-teman pemotor saja, tapi pemobil dan aparat pun sering menerobos hal ini. Takut kepada penegak hukum, atau sadar bahwa dirinya melanggar hukum? Ah ini yang susah, disini masih banyak yang takut pada penegak hukum, jadi ketika penegak hukum tidak ada, banyak yang melanggar hukum tersebut. Lalu, tanpa kesadaran hukum dari hal terkecil, kira-kira bisa maju atau tidak yah negeri ini?

Ketika aku menjadi guru, Aku ingat bahwa dalam mengajar siswa, kita harus mengulang apa yang diajarkan secara visual, audio dan kinestetik agar yang diajarkan dapat diingat dalam waktu yang lama. Nah coba bayangkan, ketika yang direpetisi dan diulang adalah tindakan koruptif seperti mengambil hak pejalan kaki di jalanan apa yang akan terjadi? Ketika “menggambil hak orang lain” adalah yang dipikirkan sehari-hari, maka ketika ada kesempatan untuk “mengambil hak orang lain” ketika bekerja kemungkinannya lebih besar yang mana?

Ketika memaki dan menyalahkan para pelaku korupsi yang diliput televisi, pernahkah kita bercermin diri. Apakah yang kita lebih baik atau ternyata hanya duplikasi, meskipun berbeda derajat dan posisi, toh tetap sama-sama mengambil hal orang lain. Bisakah negeri ini maju? Mulai dari diri sendiri sambil menunggu hal-hal besar yang akan datang merubah negeri ini,jangan sampai ketika saat itu datang kita gagap dan tidak siap menikmati perubahan besar negeri ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun