Aku, seperti biasa duduk di halaman rumah menunggu matahari meredup. Nyiur-nyiur itu berdesir manis karena dibelai angin laut, dan semakin manis ketika sesekali terdengar deburan ombak yang seakan menyeret penatku jauh ke tengah lautan.
Sore ini nampaknya matahari pergi lebih cepat. Dari tadi siang memang sudah mendung, tapi entah kenapa aku masih ngotot menanti keajaiban. Kata orang, kalau aku punya kepercayaan yang positif, keajaiban akan datang. Aku hanya tersenyum simpul, “Pfftt...”
Aku dikejutkan dengan sesosok kakek yang duduk -semacam jongkok lebih tepatnya- di sebelahku. Jelas aku heran dari mana datangnya kakek ini, sedangkan dari tadi aku tidak kemana-mana, dan aku sedang berada di halaman rumahku. Kakek ini mengenakan kaos berwarna kuning yang sudah lusuh. Di punggungnya tergantung caping yang terlihat masih bagus walau sepertinya sudah bertahun-tahun menahan terik dan hujan. Ah, aku tidak mau ambil pusing.
Sesaat kemudian aku mendapati diriku sedang berjalan di pantai yang pasirnya putih, seakan ada orang yang dengan tekun menaburkan serpihan gading di tempat seluas ini. Aku juga menyadari kalau air laut di sini tampak jauh lebih jernih, sampai-sampai aku bingung mencari di mana cakrawala berada. Tidak biasanya keadaan pantai di sini sebagus sore ini. Aku terus saja melangkahkan kaki berharap menemukan ujung pantai. Kemudian kakek ini muncul lagi. Masih mengenakan kaos kuning yang lusuh dan capingnya masih tergantung di punggung. Tapi kali ini dia berdiri, dengan kaki bangau. Dia menatap kosong ke tengah laut dengan satu kakinya terangkat. Aku muak dengan penasaranku, akhirnya aku dekati kakek ini. Namun, dia sadar akan kehadiranku dan dengan gerakan yang sangat gesit, ia berlari menerobos ombak lalu menyelam seperti lumba-lumba yang kalap melihat gerombolan sardin.
“Apa-apaan ini!” batinku.
Kemudian aku mendapati diriku duduk di atas perahu kecil yang pasti akan terbalik jika dinaiki oleh dua orang. Kali ini air laut tidak sejernih tadi. Gelombangnya besar-besar, seperti ada ikan paus yang iseng berguling-guling di belakangnya. Aku mulai pusing, mual, dan telapak tanganku memucat. Aku terombang-ambing cukup lama, mungkin setengah jam, atau satu jam, aku juga tidak tahu. Aku mulai mengayuh perahuku dengan tangan yang kini sudah mulai mati rasa. Tiba-tiba aku seperti memukul sesuatu di dalam air.
“Ini pasti hiu! Tamat sudah!” kataku dalam hati, panik.
Ketika aku periksa, ternyata kakek ini yang kupukul. Sepertinya kena kepalanya, soalnya tadi terasa seperti rambut-rambut kecil yang baru dicukur. Lagi-lagi ada yang aneh dengan kakek ini. Kali ini dia memiliki tempurung sebesar gomera, berwarna kuning pucat, dan ada caping tepat di puncaknya. Sepertinya dia marah kepalanya aku pukul tadi. Raut mukanya tidak menyenangkan, ditambah keriput di sekitar mata, kening, dan sekitar hidungnya semakin menjelaskan kalau ia ingin membalasku.
Benar saja, ia menabrakkan tempurungnya ke perahuku. Aku terhempas, tergulung ombak, tenggelam di kegelapan laut, lalu semua menjadi tenang. Tubuhku menjadi ringan sekali, aku sepertinya bisa mengepakkan tanganku dan terbang menembus atmosfir. Lalu dadaku sesak. Jantungku enggan berdegup terlalu sering. Kemudian sesekali berdegup.
Sekali lagi berdegup.
Sekali lagi.