Aku senang mendapati pagi yang cerah. Saat-saat yang paling aku nantikan adalah ketika sang surya membentangkan selimutnya yang hangat, dan aku pun terbangun. Temanku juga teman-teman yang lain. Mereka menggeliat, melepaskan peluh segar setelah semalaman saling dekap demi mengusir angin yang menusuk nadi. Dari jauh terdengar burung gereja saling bersahut, beberapa menari-nari di atas gundukan pasir halus, ada juga yang bergegas terbang karena anak serigala memberi isyarat ingin bermain dengan mereka. Ada juga pohon Maple yang mengirimkan uap ke udara, seakan ia adalah satu-satunya sumber kabut di daerah ini. Jika kamu jeli, kamu bisa melihat seekor lembu yang masih malas membuka mata di antara semak dekat bibir hutan. Sapa saja, ia ramah kok. Ia tidak pernah absen membalas salam sang mentari, menyapa kami, dan meniru gelagat anjing yang mengibaskan ekornya tanda kegirangan. Tapi hari ini ia tidak melakukan rutinitasnya, padahal mentari sudah seperempat jalan. Sepertinya ia sedang gusar, atau marah? Oh, mungkin ia hanya masih mengantuk. Tapi mestinya ia harus sudah bangun, karena jika tidak ia akan kehabisan kesempatan untuk sarapan. Seekor burung gereja yang penasaran hinggap di tanduk lembu seraya bertanya, "ada apa gerangan? Mengapa engkau tidak bangun pagi?" Tetapi hanya dibalas lembu dengan kibasan lemah ekornya. "Berkisahlah, lembu. Ceritakan apa persoalanmu hingga engkau tidak menyapa kami hari ini?" "Aku sedih," ujar lembu pelan. "Teman-temanku terkena musibah. Mereka kehilangan rumahnya." "Di mana teman-temanmu kini?" ujar burung gereja. "Jauh di balik pepohonan itu kamu akan menjumpai telaga kecil. Sesampai di sana, kamu pergi ke arah mentari muncul sekitar lima puluh kepakan sayapmu, maka kamu akan tiba di tempat teman-temanku." jelas lembu. "Baiklah aku akan ke sana melihat apa yang terjadi!" tegas burung gereja. "Wahai rerumputan, jagalah lembu ini! Beri dia sarapan dulu!" "Baiklah! Segera beri kabar apa yang terjadi di sana!" ujarku sambil melambaikan kelopak kecil ini, beberapa temanku juga melakukan hal yang sama. "Sebaiknya kamu sarapan dulu, lembu. Kamu bisa memilih aku atau teman-temanku. Kami sama segarnya sebelum lewat tengah hari." aku mencoba membujuk lembu. Burung gereja mengajak tiga temannya untuk menuju ke tempat yang diberitahu lembu. Anak serigala pun penasaran ingin turut serta. Ia memutuskan untuk berlari-lari kecil membuntuti. Namun, ia harus menekuk muka karena terhalang belukar yang menyeramkan. Sedangkan rombongan telah menghilang di balik pepohonan. Akhirnya lembu mau sarapan juga setelah luluh dengan bujuk rayu teman-temanku. Ia mengulum mereka dengan anggun diiringi terpaan sinar mentari yang memantul dari bulir-bulir embun dan belaian angin pagi yang sejuk. Aku gembira melihat lembu lahap karena kelak ia akan membagikan pupuk pada kami. Rombongan burung gereja baru tiba di sebuah telaga. Telaganya menjijikan. Seperti baru dituangkan semacam cat minyak hijau dengan gelembung-gelembung yang pecah silih berganti dan menyebarkan aroma busuk, seperti bangkai binatang. Tidak ada tumbuhan maupun binatang yang betah tinggal di sekitar telaga seperti ini. Terlihat tanaman di tepi telaga itu, tapi sudah tinggal ranting saja. Hawa kecurigaan sudah mulai timbul di antara benak rombongan. "Sedikit lagi kita sampai, kawan-kawan!" pekik pemimpin rombongan yang disambut dengan anggukan pengikutnya. "Tinggal lima puluh kepakan lagi!" Tiba di tempat tujuan, sontak mereka ber-empat tercekat. Seakan tembolok mereka mendadak penuh dan nafas mereka dicuri oleh entah siapa. Waktu seperti berhenti untuk beberapa lama sampai akhirnya mereka saling adu pandang. Mereka tidak paham ingin mengucapkan apa pada sesama kala itu. Hanya satu pikiran di benak mereka, rumah bagi kawanan lembu sejatinya adalah padang hijau luas dengan beberapa cekungan yang tanpa sengaja terisi air hujan, sekelompok daun semanggi, dan beberapa bunga dandelion. Faktanya, apa yang mereka lihat berbeda dengan yang mereka bayangkan. Mereka mendapati padang luas itu kini tandus dengan bergelondong-gelondong batang pohon yang gugur prematur. Rerumputan yang tadinya hijau, kini terbaring layu, ada yang sudah menguning, ada yang tinggal serpihan. Sebagian wilayah ini sudah tertutup tanah merah dengan campuran serbuk kayu. Di ujung cakrawala, mereka melihat kepulan asap hitam di beberapa titik. Sepertinya berasal dari sebuah alat yang mereka pun tidak mengetahui apa itu. Rombongan bergegas kembali. Sangat cepat sehingga hujan pun tak mampu mengimbangi kepakan sayap mereka. Tetiba mereka mendengar suara gemuruh yang menakutkan diiringi dengan gemeretak kayu yang dipaksa patah. Segerombol burung berbagai jenis berhamburan di atas atap hutan. Warga hutan pun menjerit histeris. "Ada apa ini?" tanya pemimpin rombongan panik, terlalu panik sehingga ia tidak lagi memedulikan jawaban apapun yang terlontar dari rombongan. "Ayo kita harus cepat keluar hutan!" Tiba di luar hutan, mereka mendapati keadaan yang hampir sama, padahal baru ditinggalkan beberapa saat. Tidak ada lagi rumput segar dengan bulir embun, lembu yang saling sapa dengan mentari, apa lagi anak serigala yang mengejar-ngejar gerombolan burung dengan riang. Pohon maple yang tadinya kokoh di bibir hutan, kini tinggal separuh. Dengan tenaga sisa, ia mengirimkan selembar daun melalui angin yang masih setia bersemilir. Ternyata daun itu berisi pesan, "Aku, seperti juga teman-temanku sangat senang berjumpa dengan pagi, karena tiap pagi aku bisa melihat burung-burung bernyanyi sambil menari riang, lembu yang menyapa mentari, dan anak serigala yang usil. Kini, aku akan mencari pagi yang lain. Kalian bisa menemuiku dengan bertanya pada rumput-rumput yang masih hijau di sana. Tapi kini, aku sudah tidak lagi bisa melambaikan kelopak hijauku yang kecil ini. Salam." Usai membaca pesan itu, rombongan memutuskan untuk terbang ke arah utara sambil menyisakan bulir-bulir air mata yang jatuh di atas hamparan tanah yang tandus.
Written By:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H