Tulisan ini membahas tentang pembentukan dan masa pemerintahan dari Kabinet Amir Syarifuddin I dan II. Kabinet Amir Syarifuddin pada dasarnya pembentukannya suatu respon atas banyaknya ungkapan rasa kekecewaan terhadap Kabinet Syahrir yang dianggap gagal. Kegagalan yang dimaksud adalah kegagalan dalam mempertanhankan kedaulatan wilayah Indonesia dari klaim yang diutarakan oleh Belanda. Pada kenyataaan yang terjadi dapat diketahui bahwa Kabinet Amir nantinya akan lebih tragis daripada Kabinet Syahrir. Tragis dalam artian memberikan dampak lebih buruk bagi kedaulatan wilayah Republik Indonesia.
Pemerintahan Kabinet Syahrir dianggap telah gagal karena Indonesia mendapatkan kerugian yang besar dalam Perjanjian Linggarjati. Wilayah Indonesia menjadi semakin sempit, yaitu hanya terdiri atas wilayah Sumatera, Jawa, dan Madura. Selain wilayah yang telah ditentukan tersebut telah dinyatakan jatuh dalam wilayah kekuasaan Belanda. Adanya kenyataan semacam itu muncul banyak kecaman dan kekecewaan atas kinerja dari Perdana Menteri Syahrir. Terdapat juga pergolakan internal Kabinet Syahrir III karena adanya perpecahan yang muncul antara Syarir dan Amir, sehingga kemudian berujung pada pelepasan jabatan Perdana Menteri Syahrir yang menyerahkan mandat kepada presiden. Kabinet Syahrir dianggap telah gagal yang kemudian menyebabkan partai pendukung kabinet dan oposisi memilih untuk menarik dukungan. Penunjukkan Amir oleh presiden sebagai perdana menteri pada dasarnya karena adanya sikap Amir yang dapat diandalkan Presiden Soekarno. Amir Syarifuddin sangat tegas, bijaksana, dan cukup dapat diandalkan dalam upaya diplomasi maupun perundingan. Amir memiliki kemiripan juga dengan Tan Malaka, tetapi Tan Malaka lebih konsisten dan tegas dalam melakukan pergerakan dalam jalan non-kooperatif.
Perpecahan pada Amir dan Syahrir yang sebenarnya berasal dari partai yang sama, yaitu Sosialis karena adanya pemecatan dari Amir Syarifuddin yang selaku Ketua Partai Sosialis terhadap Syahrir. Amir menjadi oposisi Syahrir karena tidak terima atau merasa iri terhadap penunjukkan Syahrir untuk menjadi perdana menteri. Lebih mudanya dapat dikatan mana mungkin seorang anggota partai ditunjuk menjadi perdana menteri lebih dahulu daripada ketua partainya. Posisi yang bersebrangan sebagai oposisi pemerintah membuat Amir memberikan respon yang cukup keras terhadap pemerintah. Amir juga merasa kecewa karena pengajuan kursi menteri yang posisinya strategis telah ditolak Syahrir. Amir Syarifuddin dan anggota lain dari partainya hanya mendapatkan kursi menteri pupuk bawang atau kurang strategis.
Pada masa Kabinet Amir Syarifuddin melakukan perjalanan pemerintahannya terdapat berbagai persoalan yang berkaitan dengan Belanda. Banyak perundingan yang harus dilakukan sebagai respon untuk mencegah adanya serangan secara militer yang dilakukan oleh Belanda terhadap RI. Hal tersebut telah menjadi kekhawatiran karena secara kekuatan militer Indonesia masih kalah dengan perlengkapan militer Belanda. Pada setiap perjanjian yang dilakukan hasilnya selalu merugikan Indonesia. Selama posisi kedua negara yang melakukan belum setara atau sebagai penjajah dan negara terjajah, maka hasil perundingan tetap akan lebih menguntungkan satu belah pihak saja. Terdapat banyak nota usul yang diajukan oleh Belanda yang isinya sangat menguntungkan Belanda dan balasan nota dari Indonesia selalu tidak tegas dalam bersikap. Pada saat yang lain Indonesia mengajukan usul baru selalu ditolak oleh perwakilan Belanda.
Perjalanan pemerintahan Kabinet Amir yang pada dasarnya pembentukannya sebagai respon kekecewaan terhadap Kabinet Syahrir dapat dikatan lebih gagal dan lebih merugikan Indonesia. Apabila Syahrir kabinetnya runtuh karena Perjanjian Linggarjati, maka Kabinet Amir juga runtuh karena hasil dari Perjanjian Renville. Hasil dari Perjanjian Renville lebih merugikan daripada hasil Perjanjian Linggarjati yang dilakukan pada masa pemerintahan Kabinet Syahrir. Wilayah Indonesia yang sudah tersisa sedikit menjadi lebih sempit lagi dengan dibatasi garis demarkasi atau yang disebut dengan garis van Mook. Pada wilayah Jawa saja banyak yang harus dikosongkan dan diserahkan kepada Belanda karena telah dikuasai oleh tentara Belanda maupun sekutunya. Adanya hasil semacam itu membuat partai yang menjadi pengusung Kabinet Amir menarik dukungan dan para wakilnya yang ada di dalam kabinet. Partai tersebut adalah Masyumi dan PNI, maka pendukung Kabinet amir hanya tersisa partai-partai kecil dan PSII. Kemudian Amir Syarifuddin menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno dan kabinet tersebut secara resmi dibubarkan.
 Kejatuhan dari Kabinet Amir dapat dikatakan bersamaan dengan adanya rencana atau keinginan dari Soekarno untuk mendapatkan seluruh wilayah bekas jajahan Hindia Belanda yang termasuk Irian Barat. Keinginan tersebut mendapatkan respon dari Belanda dan Amerika yang sedang menanmkan pengaruhnya di Indonesia. Amerika akan mendukung Indonesia dalam mendapatkan Irian Barat apabila dapat menghilangkan pengaruh aliran kiri dari Indonesia. Kemudian dibuatlah trik agar Amir jatuh yang kemudian membentuk FDR (Front Demokrasi Rakyat) yang beraliran kiri. Hingga munculnya pertemuan Sarangan yang merupakan kesepakatan antara Indonesia dan Amerika, dimana Amerika memberikan pendanaan kepada Indonesia. Kabinet Hatta yang menggantikan pemerintahan Kabinet Amir mendapatkan dana 10 juta dollar AS untuk menjalankan misi likuidasi unsur kiri dari Indonesia. Hal tersebut membuat redupnya karier dari Amir Syarifuddin hingga dia melakukan suatu perlawanan terhadap pemerintah yang kemudian mengantarkan dirinya menuju eksekusi mati.
Penulis merupakan mahasiswa peserta kelas mata kuliah Sejarah Indonesia Kontemporer yang berada dalam bimbingan Bapak Drs. IG. Krisnadi, M.Hum., selaku dosen pengampu mata kuliah.
Referensi:
Gie, Soe Hok. Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan. Yogyakarta: Bentang, 2006.
Nasution, A.H. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid VIII. Bandung: Angkasa, 1978.
Ragil, Wahyu. "Kiprah Amir Syarifuddin dalam Politik dan Pemerintahan sampai Tahun 1948" dalam Jurnal Istoria: Pendidikan dan Sejarah, Vol. 10. No. 2. 2015.