SM. Kartosoewirjo merupakan seorang tokoh Indonesia yang penuh dengan kontroversial dan selalu diidentikkan dengan pemberontakan DI/TII. Sejarah Indonesia tidak pernah lupa untuk membahas tentang kiprah atau pergerakan dan pemikiran dari Kartosoewirjo. Terlepas dari segala kekontroversialan, dimana pada sisi yang lain terdapat pemikiran yang cukup menarik telah diutarakannya.
SM. Kartoseowirjo berasal dari keluarga yang dapat dikatakan sederhana, namun cukup mapan pada masanya. Hal tersebut terjadi karena dia berasal dari keluarga seorang lurah yang ada di daerah Cepu Jawa Tengah. Lingkungan sekitar memang dapat mempengaruhi pola pemikiran maupun tindakan seseorang. Pemikiran yang dimiliki oleh Kartosuwiryo tidak lepas dari pendidikan yang telah dijalani sejak masih kecil, dimana pendidikan yang didapatkan sudah cukup modern pada masanya karena latarbelakang sebagai keluarga lurah. Kartosuwiryo menjalani pendidikan di sekolah yang tidak sembarang orang pribumi dapat mengikuti.
Kepribadian yang bijaksana dan keras serta sikap militansi yang dimilikinya tidak terlepas dari latarbelakang dirinya yang berasal dari Cepu, dimana wilayah tersebut pada masa itu sebagai daerah abangan dan condong kekiri-kirian. Kartosoewirjo kemudian pindah ke Bojonegoro dan disanalah dia bertemu dengan Kyai Notodihardjo yang sebagai tokoh Islam modern beraliran Muhammadiyah serta juga sebagai seorang pemuka dari PSII cabang Bojonegoro. Notodiharjo mengajarkan pemikiran Islam modern ke dalam pemikiran Kartosoewirjo dan dapat berpengaruh sangat kuat terhadap sikap maupun responnya terhadap ajaran Islam. Ajaran dari Notodiharjo membuat pemikiran Kartosoewirjo menjadi Fanatik, kokoh, dan militan terhadap Islam. Pada saat melanjutkan sekolah di Surabaya Kartosoewirjo bergabung dengan Jong Jawa, namun kemudian para anggota yang fanatik terhadap Islam keluar dari Jong Jawa dan membuat organisasi sendiri dengan nama Jong Islamieten Bond termasuk Kartosoewirjo. Selanjutnya Kartosoewirjo berguru pada HOS. Cokroaminoto yang sebagai tokoh besar penggerak organisasi untuk belajar dalam membangun organisasi dan mempertajam keilmuan dalam aspek komunikasi melalui pidato Cokroaminoto.
Pada saat Kartosoewirjo tinggal di kediaman Cokroaminoto disana dia tidak sendirian, namun terdapat juga beberapa orang yang dikemudian hari menjadi tokoh yang cukup berpengaruh pada masa perjuangan di Indonesia atau masa-masa awal kemerdekaan. Tokoh besar yang bermukim bersama Kartosoewirjo, yaitu Soekarno dan Semaoen. Cokroaminoto yang memiliki pemikiran sosialisme Islam tersebut kemudian memberikan banyak pelajaran berharga kepada tokoh-tokoh itu. Kartosoewirjo memiliki pemikiran yang lebih condong kepada Islamisme atau nasionalis Islam dengan memegang teguh ajaran maupun syariat Islam. Soekarno lebih kepada nasionalisme yang telah dipegang sebagai jalan perjuangan. Semaoen meiliki jalan pemikiran yang lebih condong ke arah kiri atau komunisme. Kartosoewirjo dikemudian hari menginginkan bentuk negara Islam yang menggunakan syariat Islam sebagai dasar negara. Soekarno lebih memilih Pancasila sebagai dasar negara sedangkan Semaoen lebih menginginkan bentuk negara komunis.
Pemikiran Kartosoewirjo juga tidak lepas dari adanya pengaruh kerabatnya, yaitu Mas Marco Kartodikromo yang sebagai wartawan dan sastrawan tenar pada saat itu. Mas Marco dikenal sebagai tokoh yang berpaham komunis pada saat itu. Kartosuwiryo banyak membaca buku-buku aliran kiri yang didapatnya dari Marco yang berkaitan dengan sosialis komunis. Kartosuwiryo memiliki perbedaan dengan Marco, dimana Mas Marco berpaham komunis sedangkan Kartosuwiryo mengikuti Cokroaminoto yang memilih Islam sebagai dasar perjuangan.
Kartosoewirjo merupakan tokoh yang memiliki sikap militansi sangat kuat. Sifat keras, bijaksana, dan konsistensi juga dipegang dengan sangat teguh. Semua yang dimiliki tersebut tidak terlepas dari berbagai sisi latarbelakang yang dimiliki. Sikap militansi yang dimiliki dapat diketahui pada saat dia merencanakan pengambilalihan Jawa Barat hingga mendirikan Negara Islam Indonesia beserta tentaranya. Adanya hasil perjanjian Renville yang menyatakan bahwa Jawa Barat harus segera dikosongkan dari segala aktivitas Indonesia maupun dari militer Indonesia telah mendapatkan respon dari Kartosoewirjo. Dia merencanakan aksi pengambilalihan yang diawali dengan melakukan pertemuan bersama Raden Oni pimpinan laskar Sabilillah Tasikmalaya. Mereka berencana untuk memepertahankan Jawa Barat menggunakan kekuatan Sabilillah dan Hizbullah. Hal tersebut tentunya sebagai respon dari hasil perjanjian Renville yang dianggap telah merugikan Indonesia. Pada dasarnya sebelum melakukan pertemuan dengan Oni itu, Kartosoewirjo sudah memiliki sikap militansi. Hal tersebut dapat diketahui bahwa Kartosoewirjo sendiri yang mengawali untuk merencanakan upaya untuk memepertahankan Jawa Barat sebelum dikuasai oleh pihak Belanda dan Sekutu.
Adanya kekosongan kekuasaan yang terjadi di Jawa Barat karena pasukan tentara RI telah pindah ke wilayah Jawa Tengah mendapatkan respon dari Kartosoewirjo. Dia segera memepersiapkan hingga memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia. Hal tersebut juga dilengkapi oleh tentara yang bernama Tentara Islam Indonesia untuk menjadi modal utama berdirinya negara Islam tersebut. Negara Islam dipilih karena dianggap lebih sempurna karena bersumber dari ajaran agama yang tentunya dari Allah daripada negara yang berdasar Pancasila dianggap hanya sebatas ciptaan manusia. Konsistensi dan militansi yang dimiliki Kartosoewirjo tetap dipegang dengan teguh hingga berakhir di dalam persidangan militer dan eksekusi mati.
Penulis merupakan mahasiswa peserta kelas mata kuliah Sejarah Pemikiran Politik Indonesia yang berada dalam bimbingan Bapak Drs. IG. Krisnadi, M.Hum., selaku dosen pengampu mata kuliah.
Referensi:
Chaidar, Al. Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S. M. Kartosoewirjo: Mengungkap Manipulasi Sejarah Darul Islam/DI-TII Semasa Orde Lama dan Orde Baru. Jakarta: Darul Falah, 1999.
Elson, R. E. The Idea Of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan. Jakarta: Buku Serambi, 2009.