Mohon tunggu...
ANGGA DIMAS HERMAWAN
ANGGA DIMAS HERMAWAN Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

saat ini sebagai mahasiswa program studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

"TNI Bagian Masyarakat": Kendaraan Politik Amir Syarifuddin Berujung Rumit

7 Juni 2023   21:31 Diperbarui: 8 Juni 2023   18:01 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada masa awal pembentukan angkatan perang di Indonesia terdapat beberapa hal yang menjadi persoalan. Pada hal ini khususnya mengenai TNI bagian masyarakat yang merupakan istilah untuk menyebut golongan militer yang di dalamnya terdiri atas badan-badan perjuangan dan laskar rakyat. Kedua kelompok tersebut kemudian berada di bawah naungan biro perjuangan kementerian pertahanan.

Adanya pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dinyatakan oleh Presiden Soekarno melalui pidato di radio pada tanggal 23 Agustus 1945 mendapatkan respon kurang puas dari golongan muda. Golongan muda yang berperan dalam terlaksananya proklamasi kemerdekan lebih menginginkan adanya tentara nasional dan menyatakan tidak puas terhadap BKR. Hal tersebut kemudian membuat mereka mendirikan badan-badan perjuangan yang bersatu di dalam Komite van Aksi yang markasnya di Jalan Menteng 31 dengan pimpinannya, yaitu Adam Malik, Sukarni, Chairul Saleh, dan Maruto Nitimihardjo. Komite van Aksi menaungi Angkatan Pemuda Indonesia (API), Barisan Rakyat Indonesia (BARA), Barisan Buruh Indonesia (BBI), Barisan Banteng, Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), Pemuda Indonesia Maluku (PIM), Hizbullah, Sabilillah, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI), Tentara Pelajar (TP), dan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP). Presiden Soekarno mulai menyadari perlunya pembentukan tentara nasional, sehingga memanggil pensiunan KNIL, yaitu Mayor. Oerip Soemohardjo dari Yogyakarta untuk datang di Jakarta dalam rangka menyusun tentara nasional. Adanya maklumat Pemerintah 5 Oktober 1945 berdirilah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan Soeprijadi ditunjuk sebagai pemimpin TKR, serta Mohammad Suljoadikusumo diangkat menjadi Menteri Keamanan Rakyat. Kemudian Oerip Soemohardjo membentuk Markas Tertinggi TKR di Yogyakarta yang mempunyai 10 divisi di Jawa dan 6 divisi di Sumatera.

Pada rapat besar TKR November 1945 terdapat adanya suatu usulan yang muncul mengenai perlunya upaya agar dibentuk badan pendidikan tentara yang kemudian mendapatkan persetujuan dari pihak markas besar. Hal tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan komisi yang memiliki tugas menyusun garis besar pendidikan tentara, serta dibentuk staf Badan Pendidikan Tentara yang di dalamnya terdapat anggota yang berasal dari tokoh-tokoh masyarakat. Badan tersebut kemudian pada Pebruari 1946 sukses merumuskan lima bidang pendidikan bagi TRI, yaitu politik, agama, kejiwaan, sosial, dan pengetahuan umum.

Terdapat suatu pertemuan pada tanggal 24 Mei 1946 yang melibatkan antara Menteri Pertahanan, pimpinan TRI, dan para pemimpin laskar rakyat. Pada pertemuan tersebut kemudian disepakati Badan Pendidikan TRI dialihkan markasnya menjadi di bawah naungan Kementerian Pertahanan dengan diubah namanya menjadi Staf Pendidikan Politik Tentara atau Pepolit yang dipimpin oleh para opsir politik. Pada tanggal 30 Mei 1946 terdapat acara pelantikan terhadap 55 opsir politik oleh Menteri Pertahanan Amir Syarifudin yang bertugas sebagai pimpinan Pepolit, serta dilantik juga Sukono Djojo Pratignjo yang berpangkat Letnan Jenderal menjadi pimpinan tertinggi Pepolit. Adanya Pepolit memunculkan permasalahan baru pada TRI karena dapat dikatakan telah dimanfaatkan Menteri Pertahanan Amir Syarifudin sebagai kendaraan politik dalam menyebarluaskan sosialisme maupun komunisme di Indonesia. Terdapat fakta yang mendukung hal tersebut, yaitu semua opsir politik mendapatkan tugas untuk merapatkan hubungan tentara dengan rakyat dan pada masing-masing divisi kemudian terdapat lima opsir untuk membantu yang diberi pangkat letnan kolonel. Pepolit kemudian dapat tumbuh menjadi seperti Komisaris Politik yang hampir sama dengan yang ada di Angkatan Perang Uni Sovyet yang memiliki kedudukan setara dengan para komandan. Hal tersebut mendapat reaksi penolakan dari para panglima divisi dan para komandan pasukan, karena dianggap sebagai sarana menyebarkan ideologi komunis.

Terdapat juga upaya reorganisasi TRI yang kemudian ditindaklanjuti dengan membentuk Biro Perjuangan. Biro Perjuangan merupakan badan pelaksana yang ada di Kementerian Pertahanan untuk menampung beberapa laskar yang sebelumnya telah didirikan oleh partai politik. Apabila ditinjau dari segi ketahanan nasional, maka dibentuknya biro tersebut sangat menguntungkan pemerintah karena lascar perjuangan yang awalnya terpecah di berbagai kelompok ideologi atau sebagai sayap partai politik dapat disatukan dan dikendalikan pemerintah. Pemerintah memiliki potensi cadangan yg tangguh dan besar di samping tentara reguler. Biro perjuangan dalam perkembangannya telah digunakan sebagai arena adu kekuatan untuk menandingi tentara reguler. Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin telah berusaha dengan keras memakai Biro Perjuangan sebagai kendaraan politik. Amir Sjarifuddin selanjutnya menunjuk Djokosujono dan Ir. Sakirman yang berhaluan komunis menjadi Kepala dan Wakil Kepala Biro Perjuangan. Hal itu berakibat terjadinya dualisme pada aspek pertahanan nasional. Tentara reguler pimpinan Jenderal Soedirman dan laskar perjuangan yang secara de facto dalam naungan Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin melalui Biro Perjuangan. Laskar perjuangan mempunyai posisi dan tugas yang persis dengan TRI, tetapi bedanya TRI milik nasional dan laskar milik partai politik. Presiden Soekarno mengerti persoalan dualisme pertahanan, sehingga dua kekuatan disatukan menjadi TNI pada Juni 1947. Laskar yang berideologi komunis sebagian besar tidak mau bergabung dengan TNI dan mereka ditampung dalam wadah TNI Bagian Masyarakat yang dibentuk pada Agustus 1947 di bawah pimpinan Ir. Sakirman.

Pada pembentukan TNI Bagian Masyarakat terdapat dua kelompok yang bersebrangan dalam menanggapi fenomena tersebut. Pihak pro, yaitu Menteri pertahanan Amir Sjarifuddin dan Menteri Muda Pertahanan Arudji Kartawinata yang berpendapat bahwa TNI Bagian Masyarakat dan Pepolit sebagai konsekuensi dari prinsip pertahanan, dimana tentara harus dikenalkan pada politik agar mereka sadar membela kepentingan politik apabila suatu saat pertentangan politik memuncak dan berubah menjadi perang.  Pihak kontra, yaitu PNI dan Masyumi. PNI berpendapat bahwa TNI Bagian Masyarakat bukan tentara melainkan organisasi sayap politik karena hampir 100% pemimpinnya ada di tangan sayap kiri, maka diusulkan agar pimpinan diubah dengan memasukkan semua organisasi rakyat, sehingga tercipta fighting democracy. PNI setuju dalam prinsip, tetapi menolak monopoli kepemimpinan sayap kiri. Masyumi menolak dan menganjurkan untuk membubarkan TNI Bagian Masyarakat.

Pada dasarnya TNI Bagian Masyarakat dan Pendidikan Politik Tentara kemudian hanya menjadi kendaraan politik Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin dalam menyebarkan paham atau ideologi komunis. Hal tersebut tentu mendapatkan berbagai reaksi dari beberapa kalangan. Adanya pro dan kontra yang terjadi kemudian berujung pada kandasnya kedua kendaraan politik tersebut.

Penulis merupakan mahasiswa peserta kelas mata kuliah Sejarah Indonesia Kontemporer yang berada dalam bimbingan Bapak Drs. IG. Krisnadi, M.Hum., selaku dosen pengampu mata kuliah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun