Sejarah Pemikiran Politik Indonesia adalah sejarah dari perkembangan segala aktivitas akal budi atau yang disebut dengan pemikiran politik dari para tokoh pejuang, tokoh pergerakan, para tokoh bangsa Indonesia yang menyangkut pemikiran tentang Ke-Indonesiaan baik yang berkaitan dengan pemikiran keorganisasian modern dalam upaya mengusir penjajah, dasar negara Indonesia, konstitusi, sistem demokrasi Indonesia, sistem perekonomian dalam hal ini koperasi, sistem pembangunan nasional atau Repelita, wawasan nusantara atau Geo Politik, dan sebagainya. Sejarah Pemikiran Politik Indonesia yang berasal dari beberapa tokoh nasional yang diantaranya ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, Tan Malaka, Amir Sjarifuddin, D.N. Aidit di dalam mendirikan negara dan membangun bangsa Indonesia. Banyak sekali para tokoh perjuangan yang menyubangkan hasil olah pikir dan gagasan dalam upaya yang sama, yaitu kemerdekaan Indonesia meskipun terdapat perbedaan secara aliran maupun pandangan dan prinsip antara satu tokoh dengan yang lainnya.
Masa perjuangan dalam mencapai kemerdekaan di dalamnya terdapat perbedaan pendapat atau pemikiran antara Soekarno dan Hatta mengenai dasar  meletakkan perjuangan. Soekarno secara aktif melakukan penggalangan Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) yang berdiri tahun 1927. Pada sisi yang lain, Hatta tidak sependapat karena PPPKI sebelumnya tidak banyak berarti dalam perjuangan. Hatta menilai PNI yang didirikan Soekarno belum sukses mencetak kader karena lebih banyak melakukan penggalangan massa. Soekarno lebih menyukai massa, tetapi Hatta lebih suka mendidik kader. Hatta beranggapan bahwa pendidikan politik harus diberikan melalui sarana surat kabar dan kursus politik atau kaderisasi agar tidak terjadi kekosongan kepemimpinan disaat pemerintah Hindia Belanda melakukan penangkapan para pimpinan lapisan pertama. Pendapat dari Hatta kemudian benar terjadi pada saat keinginan Soekarno mengenai pentingnya massa aksi untuk mencapai kemerdekaan kandas ketika Soekarno yang selaku pimpinan PNI beserta koleganya ditangkap polisi kolonial Belanda pada tanggal 29 Desember 1929.
Adanya kemunculan polemik dalam menentukan perjuangan kooperatif atau non-kooperatif diantara para tokoh pergerakan rakyat semakin menguat pada tahun 1932. Pada tanggal 21 Dessember 1932 Soekarno mulai melontarkan polemik tentang non-kooperatif yang dikirim pada pers di Indonesia dan pers Tionghoa. Adanya Polemik tersebut kemudian menjadi pertentangan dalam pemahaman antara Partai Indonesia (Partindo) dalam pengaruh Soekarno melawan PNI-Baru yang dipimpin oleh Hatta. Hal tersebut terjadi karena Hatta pada November 1932 diundang untuk menerima penunjukkan dirinya sebagai salah satu calon Parlemen Belanda, tetapi Hatta tidak melanjutkan proses pencalonan itu. Soekarno mendapatkan peluang yang terbuka lebar untuk menyerang Hatta karena bersedia meninggalkan prinsip oposisi tanpa kompromi kepada Belanda. Berdasarkan paham yang menjadi pedoman Partindo menyatakan bahwa seorang non-cooperation dikatakan telah melanggar azas apabila bersedia masuk Tweede kamer. Pernyataan Soekarno kemudian dibalas Hatta dalam tulisan di artikel "Daulat Rakyat" No. 47 tanggal 30 Dessember 1932 yang memiliki judul Non-Cooperation, dinyatakan bahwa non-kooperatif bagi PNI-Baru  adalah senjata perjuangan yang berarti menolak bermitra dengan pemerintah kolonial Belanda. Hatta juga menegaskan dirinya bukan non-aksi, tetapi berkehendak akan aksi. Oleh karena itu, non-kooperatif pada dasarnya tidak menolak parlementer aksi. Hatta berpendapat bahwa masuk ke Tweede Kamer bermaksud berjuang menentang imperialisme kolonial tidak berarti kerjasama dengan pemerintah kolonial Belanda dan tidak bertentangan dengan prinsip gerakan non-koperatif. Hatta memiliki keyakinan bahwa PNI-Baru dengan duduk bersidang dalam Tweede Kamer tidak bertentangan dengan prinsip non-kooperatif karena Tweede Kamer adalah parlemen bukan dewan jajahan. Masuk ke dalam parlemen, pemerintah, dan oposisi sama derajadnya, serta oposisi apabila kuat dapat menjatuhkan pemerintah dan dapat juga bertukar peranan dengan pemerintah kolonial Belanda. Kedudukan pemerintah kolonial Belanda di tanah jajahan menurut Hatta tidak dapat diusik, sehingga Hatta tidak memproses pencalonannya.
Soekarno merupakan seorang nasionalis yang memiliki pedoman bahwa non-kooperatif dengan masuk di Tweede Kamer sama dengan menjalankan politik tidak prinsipil. Non-kooperatif dianggap oleh Soekarno sebagai tindakan melupakan dasar yang disendikan kepada keyakinan atas adanya pertentangan kebutuhan antara kaum pertuanan (Kolonial) dan kaumnya sendiri (terjajah). Duduk dalam Tweede Kamer meskipun dengan maksud berjuang menenatang kaum imperialis dianggap Soekarno bagi Hatta dan PNI-Baru telah lupa adanya pertentangan kebutuhan kaum pertuanan (Penjajah) dengan kaumnya sendiri (Terjajah). Pada sisi yang lain Partindo menjalankan politik non-kooperatif menolak duduk di Volksraad (Tweede Kamer) dan tertuju pada semua dewan-dewan kaum pertuanan (Penjajah Belanda). Kemudian Hatta menanggapi pemikiran Soekarno dengan menyatakan bahwa kooperatif dan non-kooperatif tidak dapat diukur berdasarkan duduknya perwakilan di Tweede Kamer asal punya pendirian tegas dan jelas. Amir Sjarifuddin juga berpendapat bahwa non-kooperatif Partindo tidak dilakukan pada semua aspek, tetapi hanya di sektor politik saja terhadap kekuasaan imperialis dalam pemerintahan dan pandangan hidup kolonial.
Hatta memiliki pola pikir yang lebih kering, lebih analitis, lebih kurang berapi-api apabila dibandingkan dengan Soekarno. Hatta sebagai pribadi yang tidak "berwarna", jika dibandingkan Soekarno yang bertingkah laku sugestif bagaikan air raksa. Hatta kurang mampu menggoncang massa melalui orasinya karena bagi Hatta memainkan emosi massa melalui tipu daya dan retoris dianggap sebagai perbuatan "tidak jujur". Hatta sangat sederhana, terkendali, dan kualitas pribadi yang mendapatkan perbaikan di dalam pendidikan akademisnya di Rotterdam. Gagasan dan perkataan menurut Hatta harus dikendalikan dalam bentuk disiplin dan tidak digunakan dengan perhitungn mencapai tujuan yang bersifat menggelorakan emosi semata. Soekarno beranggapan bahwa gagasan dan olah kata adalah alat bagi hasrat tertentu dan hasratlah yang akan membawa aksi massa.
Pada perbedaan pemikiran dasar perjuangan sebenarnya dapat diperoleh kesimpulan seperti pendapat yang dikemukakan oleh Muhammad Husni Thamrin, yaitu nasionalisme kooperatif dan non-kooperatif memiliki satu tujuan bersama yang sama persis, yaitu Indonesia Merdeka. Thamrin yang berperan sebagai tokoh kooperatif dapat memperkecil atau menyempitkan jurang pemisah antara pemerintah kolonial dengan kaum pergerakan nasional. Stokvis dan Thamrin menyatakan bahwa kooperatif kepada pemerintah kolonial Belanda menyebabkan gerakan serikat buruh, gerakan non-kooperatif seperti mati, keadaan patah semangat, daya amuk terkendali dan impotensi merupakan keadaan sehari-hari gerakan pribumi.
Penulis merupakan mahasiswa peserta kelas mata kuliah Sejarah Pemikiran Politik Indonesia yang berada dalam bimbingan Bapak Drs. IG. Krisnadi, M.Hum., selaku dosen pengampu mata kuliah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H