Kompasiana - Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menilai Joko Widodo berpotensi menjadi Presiden terlemah dalam sejarah politik Indonesia. Meski Jokowi terpilih melalui pemilu langsung oleh rakyat. "Ini suatu hal yang sangat memprihatinkan. Jokowi dipilih melalui pemilihan langsung, tetapi dia jadi yang terlemah," kata peneliti LSI Adjie Alfaraby di kantornya, Jakarta, Kamis 9 Oktober 2014. Menurut Adjie, setidaknya ada tiga alasan yang menyebabkan Jokowi bisa menjadi Presiden terlemah. Pertama, posisi parlemen yang dikuasai oleh kekuatan oposisi. "Total kursi Koalisi Merah Putih (KMP) 353 kursi, atau 63 persen. Sementara itu, Koalisi Indonesia Hebat (KIH) hanya 207, atau 37 persen," ujarnya. Alasan kedua, menurut Adjie, tak ada satu pun partai politik yang dikontrol langsung oleh Jokowi. Padahal, sebelumnya setiap Presiden Indonesia memiliki kekuatan mengendalikan partai politik di DPR. "Dari Presiden Soekarno sampai SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), selalu ada partai politik yang dikontrol langsung. PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) dikontrol Megawati bukan Jokowi," ujarnya. Adjie melanjutkan, posisi Jokowi sampai saat ini hanya sebagai petugas partai yang mencalonkannya. Sedangkan, komando mengontrol koalisi tidak dia miliki. "Megawati harus legowo dengan memberikan komando koalisi ke Jokowi sebagai Presiden," katanya. Sementara itu, faktor terakhir adalah fakta bahwa kemenangan Jokowi dalam Pilpres 2014 tidak mutlak. Selisih dengan kompetitornya yakni Prabowo Subianto tipis yakni 53,15 persen berbanding 46,85 persen. "Dengan dukungan yang berselisih tipis, dukungan terhadap Jokowi potensial dengan cepat berubah, jika ada kebijakan publik yang tidak popular," ujarnya. Adjie menambahkan, salah satu kebijakan publik yang harus diambil Jokowi-JK di masa awal pemerintahannya adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Jika BBM dinaikkan di masa awal pemerintahan, dukungan terhadap pemerintahan baru akan menurun drastis. LSI kembali menggelar survei terbaru pada 6-7 Oktober 2014. Tema yang mereka ambil adalah mengenai respons publik atas persaingan KMP dan KIH. Survei menggunakan metode multistage random sampling dengan 1.200 responden. Margin of error sebesar +/- 2,9 persen.
Survei dilaksanakan di 33 provinsi di Indonesia. LSI juga melengkapi kegiatan ilmiah tersebut, dengan penelitian kualitatif seperti analisis media, focus group discussion, dan in depth interview. (asp)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H