Mohon tunggu...
Angga Oktavianto
Angga Oktavianto Mohon Tunggu... -

Pendidik yang perlu dididik

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilkada Melalui DPRD, Bukti Kesaktian Pancasila?

1 Oktober 2014   17:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:48 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pancasila oleh para Founding Father telah dipilih sebagai ideologi tunggal republik ini. Sejak kelahirnanya pada 1 Juli 1945 sampai sekarang banyak rintangan yang mencoba menghadang eksistensinya. Sebagian besar masyarakat Indonesia sepakat bahwa Pancasila adalah dasar dari segala peraturan yang ada di Indonesia.

Menurut sejarahnya Pancasila digali dari kepribadian bangsa Indonesia. Bung Karno merumuskan sila-sila dalam Pancasila ketika menjalani pengasingan di Kota Ende, Pulau Flores yang sekarang masuk Provinsi Nusa Tenggara Timur. Selama pengasingannya di Ende, Bung Karno paham betul tentang keberagaman bangsa Indonesia. Utamanya mengenai keagamaan. Penduduk Ende terdiri dari warga muslim dan katolik, mereka hidup berdampingan tanpa ada pertentangan dan mereka mengutamakan kekeluargaan. Orang Ende sering mengatakan bahwa Agama Islam dan Katolik adalah saudara, yang membedakan hanya tempat ibadahnya, Islam di masjid dan Katolik di gereja.

Struktur sosial masyarakat Ende menempatkan seorang kepala suku dalam tiap kampung adat mereka. Kepala suku di Ende disebut dengan Musalaki. Seorang Musalaki membawahi beberapa musalaki lainnya yang mebidangi urusan masing-masing. Perbedaan pendapat dalam kehidupan masyarakatnya diselesaikan dengan musyawarah mufakat, tanpa adanya voting.

Bung Karno dalam pengasingan di Ende, saya kira paham betul bahwa musyawarah mufakat adalah jalan keluar terbaik yang diciptakan oleh kepribadian bangsa Indonesia. Kalau mengandalkan egoisme voting, bisa jadi mayoritas akan selalu menindas yang minoritas. Maka beliau dan Faunding Father lainnya sepakat bahwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan adalah demokrasi cara Indonesia.

Mungkin pula dari pengalaman pendahulu, Bung Karno sadar betul bahwa voting bukanlah cara terbaik menerapkan demokrasi di Indonesia. Jumlah ratusan suku bangsa, berbagai macam agama dan ras. Akan terlalu riskan dilakukan pemungutan suara dalam sebuah pemecahan masalah.

Saat sumpah pemuda seluruh perwakilan pemuda-pemuda terbaik dari berbagai suku bangsa Indonesia telah sepakat memilih Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Secara mufakat dengan berbagai pertimbangan Bahasa Melayu yang awalnya milik suku bangsa minoritas menjadi bahasa pemersatu, dengan modifikasi nama Bahasa Indonesia. Mari kita bayangkan jika voting atau pemungutan suara dilakukan, kira-kira bahasa suku mana yang menjadi bahasa pemersatu? Atau malah tidak akan terjadi sumpah pemuda?

Saat pembahasan sila pertama pancasila, penghilangan kalimat “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” merupakan bukti paling sahih bahwa musyawarah mufakat adalah jalan keluar terbaik untuk menyelamatkan Bangsa Indonesia. Bayangkan jika dalam pembahasan itu dilakukan dengan pemungutan suara terbanyak?

Mengenai pemilahan kepala daerah (Pilkada) melalui DPRD apakah itu wujud musyawarah mufakat? Jawabanya bisa iya dan bisa tidak. Iya, apabila para anggota DPRD benar-benar menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat. Tidak, apabila anggota DPRD benar-benar menjadi hamba uang. Namun, yang harus dicatat bahwa Pilkada melalui DPRD ujung-ujungnya adalah dengan jalan voting.

Terus haruskah pilkada langsung oleh rakyat? Rakyat akan akan bosan dengan janji-janji kosong, rakyat doyan uang para calon, rakyat lupa mereka dapat seratus ribu tapi kehilangan umur lima tahun. Pada intinya pilkada melalui DPRD dan langsung oleh rakyat hanyalah perbedaan nama dan cara. Tapi sistemnya sama yakni melalui pemungutan suara. Masih maukah kita jual suara?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun