Sepuluh tahun yang lalu sepulang saya dari sekolah, saya melihat sekilas dari televisi yang sedang ibu saya tonton dimana seorang penyiar berita perempuan tengah memberitakan bahwa seorang laki - laki bernama Munir meninggal di dalam sebuah pesawat. Waktu itu satu - satunya Munir yang saya ketahui adalah teman sebaya saya ketika mengaji di sebuah TPA ( Taman Pendidikan Al - Qur’an ), sehingga saya tidak terlalu peduli dengan ocehan penyiar berita tersebut.
Sampai beberapa tahun kemudian ketika saya sudah menjadi siswa SMP barulah saya ketahui bahwa Munir yang dulu saya lihat beritanya di TV itu adalah Munir Said Thalib, pria keturunan arab kelahiran Malang, Jawa Timur 8 Desember 1965 yang merupakan seorang aktivis Hak Asasi Manusia. Ia berjuang dengan menulis, melakukan orasi di jalan, hingga mendirikan organisasi pembela HAM.
Sebelum meninggal jabatan terakhir yang diembannya adalah Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial. Ketika menjabat sebagai Dewan KONTRAS, ia sangat terkenal gigih dalam memperjuangkan pengusutan korban penculikan Tim Mawar dan Kopassus setelah Presiden Soeharto jatuh. Selain itu, Munir juga memperjuangkan kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah pada tahun 1994 dan kasus - kasus pelanggaran HAM lainnya.
Perjuangan Munir dalam menegakkan kasus - kasus pelanggaran HAM sudah diakui dunia internasional. Namun Munir tetaplah sosok yang sederhana, ketika ia memperoleh penghargaan dan hadiah ratusan juta dari The Right Livelihood Awards misalnya, ia menyerahkan sebagian uang itu untuk LSM KONTRAS yang didirikannya serta sebagian lagi diberikannya kepada ibunya.
Orang - orang semacam Munir ini memang akan selalu banyak yang ingin menyingkirkannya karena dianggap terlalu bebahaya, Hingga akhirnya terjadilah peristiwa itu. Ketika itu Munir hendak melanjutkan studi S2 bidang hukum humaniter di Universitas Utrecht, Belanda. Ia berangkat ke Belanda pada 6 September 2004 malam dengan menumpang pesawat Garuda Indonesia nomor penerbangan GA 974 tujuan Amsterdam. Lalu keesokan harinya atau 7 September 2004 dua jam sebelum pesawat mendarat, Munir ditemukan sudah tidak bernyawa dengan mulut mengeluarkan air liur tak berbusa dan telapak tangan yang sudah membiru, setelah seelumnya ia mengeluh sakit perut dan muntaber.
Pada tanggal 12 November 2004, Kepolisian Belanda merilis hasil autopsi terhadap tubuh Munir yang menyatakan bahwa telah ditemukan senyawa arsenik pada tubuh Munir. Saat itu belum diketahui siapa yang telah meracuni Munir. Sebelum akhirnya pada tanggal 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto ditetapkan sebagai tersangka eksekutor pembunuhan Munir dan di vonis 14 tahun penjara.
Pada 19 Juni 2008, Mayjen (purn) Muchdi PR ditangkap atas dugaan sebagai otak dari pembunuhan Munir. Namun pada 31 Desember 2008 Muchdi PR divonis bebas. Vonis ini sangat kontroversial membuat Istri Munir, Suciwati, bersama aktivis HAM lainnya terus menuntut untuk meninjau ulang kasus ini.
Kini setelah sepuluh tahun kematiannya, namanya masih terus dikumandangkan untuk mencari keadilan Berbagai aksi protes telah banyak dilakukan oleh berbagai kalangan. Seperti aksi para seniman di acara Artwork for Munir di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Minggu (7/9). Lalu aksi Penggiat HAM menaburkan bunga membentuk angka 10 ketika mengikuti aksi Kamisan ke-364 untuk mengenang 10 tahun tewasnya aktivis HAM, Munir di depan Istana Negara Jakarta, 4 September 2014. ( Tempo/Dian Triyuli Handoko ). Dan sebagainya.
Semoga pemerintahan baru mendatang, berani membuka kembali kasus ini untuk mencari siapakah aktor intelektual di balik pembunuhan Munir.
[caption id="attachment_341476" align="aligncenter" width="300" caption="Dok. Pribadi"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H