Di balik riuh senyum juang menjajakan dagangannya, Gedung Eks Bioskop Indra menyimpan rahasia nan trenyuh tersendiri.Â
Konon katanya, "Jogja terbuat dari rindu, pulang dan angkringan" atau "Bagi setiap orang yang pernah tinggal di Jogja, setiap sudut kota di Jogja itu, romantis".Â
Namun tetap saja, akan selalu ada sisi "romantis" lain yang belum terekspos. Lalu, bagaimana nasib para PKL Malioboro saat ini?Â
Artikel ini berusaha memberikan gambaran secara subjektif tentang gagahnya gedung Teras Malioboro 1 dan gigihnya para pedagang, sekaligus solusi futuristik dan realistik, khususnya bagi Paguyuban Pemalni.
Teras Malioboro 1 dan 2 merupakan tempat baru bagi para Pedagang Kaki Lima (PKL) Malioboro. Gedung ini lahir dari rahim keresahan dan tekad merelokasi sang Gubernur DI Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X.Â
Dilansir dari Tempo.co Yogyakarta (Wicaksono, 2022), setidaknya ada empat alasan utama Sultan HB X tak mau menunda-nunda relokasi ini. Pertama, Sultan HB X mengaku telah menunggu selama 18 tahun lamanya. Baginya, relokasi PKL Malioboro tidak dapat dihindari karena statusnya yang ilegal.Â
Keedua, relokasi ini bertujuan untuk mengembangkan sistem jaringan pejalan kaki yang berkualitas di kawasan pedestrian serta membuka aksesibilitas Jalan Malioboro dan Jalan Margo Mulya sebagai pusat pelayanan kota.Â
Terakhir, Sultan mengatakan relokasi besar-besaran PKL ini dalam upaya mendukung rencana kerja sama Pemda DIY dengan lembaga dunia UNESCO.Â
Yogyakarta tengah mengusulkan kawasan Sumbu Filosofi sebagai warisan dunia ke Unesco. Sumbu Filosofi sendiri merupakan garis imajiner lurus yang menyambungkan Tugu-Kraton-Panggung Krapyak, termasuk Malioboro di dalamnya.
Dilansir dari CNN Indonesia (2022), relokasi ini setidaknya menggiring 1.700an PKL di sekitar Pasar Malioboro. Uniknya, para PKL memiliki sebuah komunitas masing-masing sesuai kesamaan geografisnya.Â