3 Desember adalah peringatan Hari Difabel Internasional atau International Day of Person with Disabilities. Peringatan hari ini bertujuan untuk meningkatkan kepedulian dan dukungan terhadap para difabel atau penyandang disabilitas demi terwujudnya kesejahteraan kelompok masyarakat yang sering dipandang sebelah mata ini. Peringatan ini telah ada sejak tahun 1992 dan didukung oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa).
Di Indonesia sendiri, telah ada peraturan yang berisi tentang penyandang disabilitas yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. Dalam Undang-Undang tersebut, disebutkan bahwa penyandang disabilitas adalah seseorang yang mengalami keterbatasan fisik. Intelektual, mental dan/atau sensorik dalam jangka waktu yang lama.Â
Dalam Undang-Undang ini pula disebutkan bahwa para penyandang disabilitas dijamin kelangsungan hidupnya dan memiliki hak asasi manusia dan kedudukan hukum yang sama sebagai Warga Negara Indonesia.
Pada tahun 2018, data statistik jumlah penduduk dengan disabilitas di Provinsi Yogyakarta hingga Semester I yaitu sebanyak 9.741 orang dimana mayoritas masih dalam usia produktif. Â Sedangkan dari lima wilayah di DIY, Gunung Kidul memiliki jumlah penyandang disabilitas tertinggi dibanding wilayah lain yaitu sebanyak 3.246 orang.
Telah dilaporkan pula sejumlah penyandang disabilitas mengalami pembatasan, pengurangan atau bahkan penghilangan hak. Hal ini membuktikan penyandang disabilitas di Yogyakarta  hidup dalam kondisi rentan, terbelakang, dan/atau miskin. Padahal Undang-Undang telah menjamin bahwa para penyandang disabilitas memiliki hak untuk mendapatkan kesamaan hak dan kesempatan untuk kehidupan yang sejahtera.
Baca juga : Linda Afriani Melalui #AkuPeduli Ajak ODHA dan OHIDHA Ikuti Workshop Manajemen Bisnis
Lalu apakah yang sudah dilakukan pemerintah Yogyakarta dalam menjalankan amanat Undang-Undang Republik Indonesia?
Inklusif memiliki arti yaitu mengikutsertakan. Artinya jika Yogyakarta ingin mewujudkan prinsip inklusif, sistem yang dimiliki Yogyakarta harus mengikutsertakan semua pihak tanpa membeda-bedakan latar belakang. Dalam hal ini, misal dalam bidang pendidikan, sekolah untuk penyandang disabilitas harusnya tidak dibedakan dengan sekolah untuk non-penyandang disabilitas.
Walaupun sudah ditulis dalam Undang-Undang Nomer 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional, faktanya banyak sekolah reguler yang tidak dapat menerima siswa dengan penyandang disabilitas dengan alasan tidak ada fasilitas yang memadahi atau tidak ada pengajar yang memahami metode pengajaran untuk kelas inklusif. Sehingga dalam segi pendidikan sendiri, penyandang disabilitas telah terisolasi.
Dengan kondisi seperti ini, benarkah Yogyakarta secara keseluruhan, baik dari pemerintah maupun masyarakatnya sudah inklusif dan ramah disabilitas?