Dulu kecil-kecilku sanat kesal jika disuruh ibu tidur siang, merengek ketika tak dibelikan mainan, atau hanya sekadar meminta dinaikkan komedi putar. Penasaranku dulu hanya sebatas bagaimana lampu kulkas menyala ketika pintunya ditutup. Bermain hujan adalah kesenangan yang tak bisa dibagi, namun jika sudah lebih amarahmu akan keluar tanpa permisi. Saat ibu marah, hanya sekadar serak tangis yang tak kunjung berhenti. Tanpa disadari, waktu berjalan tanpa sempat merapikan memori.
Bu, bagaimana ketika nanti aku dewasa? terkepung masa kanak-kanak yang begitu indah tak membuat dewasaku merangkak mengikuti hal yang sama. Lalu amarahmu tak lagi kudengar, hanya sayup-sayup "Nak kapan pulang?" dari sebrang telepon.
Menjadi dewasa nyatanya tak menyenangkan Bu. Nyatanya aku masih terjebak dalam romantisnya bermain ayunan sambil memakan sesuap nasi dari tanganmu. Kerinduanku pada moment itu tak bisa diulang, tetapi sejenak mengobrol di tengah suasana sore hari cukup melegakan saat ini.
terimakasih Bu, sudah melahirkan anakmu dari rahimmu yang suci. Terimakasih sudah mengajarkan bahasa cinta yang ternyata membutuhkan banyak waktu untuk memahaminya. Terimakasih untuk banyak terlibat dalam proses perjalanan hidup anakmu. banyak sedih, tawa, dan kesal yang kau dengar semasa hidupku dan nyatanya kau tak bosan.
Maafkan anakmu yang tak cukup mampu memahami dirimu. Maafkan anakmu yang belum bisa sepenuhnya mengekspresikan diri lewat kata-kata cinta yang sejatinya ingin Ibu dengar sepanjang hari. Maafkan anakmu yang belum bisa menjadi seseorang yang kau idam-idamkan seperti mimpi indahmu dulu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H