Apa itu seksisme?
Seksisme (sexism) merupakan suatu diskriminasi terhadap gender atau prilaku seseorang. Saat ini humor seksisme sangat banyak di media social dan lingkungan. Mulai dari mengirimkan foto atau video yang mengandung seksisme. Contoh dari yang kita lihat atau kita ketahui dengan mengupload foto dengan baju yang sangat minim di media social. Sehingga masyarakat yang melihatnya ada yang terpancing untuk mengedit atau menyebarkan dengan hal yang tidak sepantasnya.
Perempuan seringkali menjadi korban atau objek dari humor seksi. Humor tersebut biasanya dijadikan sebagai bahan percakapan untuk mencairkan suasana dan ditanggapi dengan tertawa sehingga hal ini menunjukan bahwa humor seksi masih dianggap sebagai sesuatu yang wajar, lucu, dan menghibur dalam konteks ini, humor seksis adalah jenis humor yang sering ditemukan dalam percakapan sehari-hari, diulang berdasarkan apa yang biasa dikatakan orang, dan disampaikan lagi kepada orang lain.
Kasus seksisme sangat penting bagi siswa atau mahasiswa untuk tidak berprilaku diskriminatif terhadap orang lain. Agar para mahasiswa mengerti lebih dalam tentang hal-hal sensitif yang tidak boleh disinggung dan tidak boleh diungkapkan agar menjaga nama baik orang tersebut ddan juga menjaga privasinya. Tujuan nya agar setiap orang tidak merasa direndahkan ataupun dilecehkan baik secara verbal ataupun non verbal oleh lawan jenis nya.
Bagaimana asal usul isu seksisme/isu gender?
Kita akan mulai dalam Feminisme Barat.
Pada Abad pertengahan, gereja berperan sebagai sentral kekuatan, dan Paus sebagai pemimpin gereja, menempatkan dirinya sebagai pusat dan sumber kekuasaan. Sampai abad ke-17, gereja masih tetap mempertahankan posisi hegemoninya, sehingga berbagai hal yang dapat menggoyahkan otoritas dan legitimasi gereja, dianggap seabagai heresy dan dihadapkan ke Mahkamah Inkuisisi. Nasib perempuan barat tak luput dari kekejian doktrin-doktrin gereja yang ekstrim dan tidak sesuai dengan kodrat manusia.
Reformasi yang dilakukan para pembaharu gereja tidak banyak membantu nasib perempuan. Studi-studi spiritual kemudian dilakukan untuk memperbaharui konsep Saint Paul’s tentang perempuan, yaitu perempuan dianggap sebagai sumber dosa dan merupakan makhluk kelas dua di dunia ini. Walaupun beberapa pendapat pribadi dan hukum publik yang berhubungan degan status perempuan di barat cukup bervariasi, tetapi terdapat bukti-bukti kuat yang mengindikasikan bahwa perempuan telah dianggap sebagai makluk inferior. Sebagian besar perempuan diperlakukan sebagai anak kecil-dewasa yang bisa digoda atau dianggap sangat tidak rasional.
Pada awal mula Abad Pencerahan yaitu abad ke 17, saat Bacon menulisnya esainya yang kondisi perempuan Inggris pada saat itu mengalami kehidupan yang sulit dan keras. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan Ratu Elizabeth. Saat itu yang bertindak sebagai penguasa adalah Raja James I, dan ternyata ia sangat membenci perempuan.
Pembunuhan dan pembakaran terhadap perempuan-perempuan yang dituduh sebagai ”nenek sihir”, yang dipelopori oleh para pendeta, pada dasarnya merupakan ekspresi anti perempuan. Hukuman yang brutal dijatuhkan kepada seorang perempuan yang melanggar perintah suaminya.
Tradisi ini mengembangkan pemikiran bahwa perempuan menyimpan bibit-bibit ”keburukan” sehingga harus terus menerus di awasi dan ditertibkan oleh anggota keluarnya yang laki-laki atau suaminya bila ia sudah menikah. Pemikiran ini membawa konsekuensi bagi pemikiran lainnya seperti ide bahwa lebih baik seorang laki-laki tinggal sendiri, tidak menikah dan jauh dari perempuan. Hidup tanpa nikah ini merupakan kehidupan ideal laki-laki, jauh dari pengaruh buruk dan beban anak-anak sehingga laki-laki bisa berkonsentrasi pada dunia publiknya. Pemikiran-pemikiran seperti ini tercermin dalam karya Francis Bacon.