Mohon tunggu...
Angelina Jasmine Nurwiyanto
Angelina Jasmine Nurwiyanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hello! I'm an undergraduate student from the 2023 cohort at Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta, Faculty of Social and Political Sciences, majoring in International Relations. I have a deep interest in international issues and enjoy sharing my perspectives through writing. Writing is my passion, as I believe it has the power to communicate ideas, broaden perspectives, and inspire change. Occasionally, I also write about intriguing things I encounter in my daily life. I hope my writings can provide value and inspiration to readers. Thank you for visiting my profile!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rivalitas Geopolitik AS-Cina : Dinamika Taiwan Dan Laut Cina Selatan Di Tahun 2024

29 November 2024   18:28 Diperbarui: 29 November 2024   18:28 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rivalitas antara Amerika Serikat dan Cina terus memanas, membawa dunia ke dalam situasi geopolitik yang semakin kompleks. Di tahun 2024, fokus persaingan ini terpusat pada dua wilayah strategis: Taiwan dan Laut Cina Selatan. Kedua kawasan ini tidak hanya menjadi ajang pertarungan pengaruh, tetapi juga cerminan ambisi dua kekuatan besar dunia untuk mendominasi Indo-Pasifik.

Taiwan berada di pusat perhatian. Pulau kecil ini telah lama menjadi simbol perlawanan terhadap hegemoni Cina, yang menganggapnya sebagai bagian dari wilayahnya. Namun, dukungan Amerika Serikat terhadap Taiwan melalui penjualan senjata, kerja sama teknologi, dan kunjungan pejabat tinggi AS ke Taipei membuat hubungan kedua negara semakin tegang. Taiwan juga memegang peran penting dalam ekonomi global karena menjadi produsen utama semikonduktor, yang saat ini menjadi tulang punggung industri teknologi. Di tengah klaim kedaulatan Cina, latihan militer besar-besaran di sekitar Selat Taiwan menjadi pesan keras bahwa Beijing tidak akan mundur dari ambisinya untuk "menyatukan" Taiwan dengan daratan Cina. Namun, Amerika Serikat merespons dengan meningkatkan keberadaan militernya di kawasan, mempersiapkan segala kemungkinan.

Sementara itu, Laut Cina Selatan menjadi babak lain dari rivalitas ini. Wilayah ini merupakan salah satu jalur perdagangan tersibuk di dunia, dengan nilai triliunan dolar mengalir setiap tahun. Cina mengklaim sebagian besar wilayah ini berdasarkan peta "sembilan garis putus-putus," meskipun klaim ini ditolak oleh Pengadilan Arbitrase Internasional. Bagi Cina, Laut Cina Selatan tidak hanya kaya akan sumber daya alam tetapi juga memiliki nilai strategis untuk keamanan nasionalnya. Namun, langkah-langkah agresif seperti pembangunan pulau buatan dan pengerahan militer di wilayah tersebut menimbulkan reaksi keras, terutama dari Amerika Serikat yang berusaha menjaga kebebasan navigasi di perairan internasional. Kapal perang AS sering terlihat di perairan yang diklaim Cina, sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi Beijing.

Rivalitas ini menciptakan tantangan besar bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk anggota ASEAN. Negara-negara seperti Filipina dan Vietnam, yang juga terlibat dalam sengketa wilayah di Laut Cina Selatan, berada dalam posisi sulit. Di satu sisi, mereka membutuhkan kerja sama ekonomi dengan Cina; di sisi lain, mereka bergantung pada dukungan keamanan dari Amerika Serikat. Keadaan ini menciptakan dinamika yang rumit, di mana setiap langkah harus diambil dengan hati-hati untuk menghindari eskalasi yang tidak terkendali.

Konflik antara Amerika Serikat dan Cina ini bukan hanya tentang Taiwan atau Laut Cina Selatan. Ini adalah pertarungan untuk mendefinisikan ulang tatanan dunia. Cina berusaha menggantikan dominasi Barat, sementara Amerika Serikat ingin mempertahankan statusnya sebagai pemimpin global. Persaingan ini tidak hanya berdampak pada stabilitas kawasan, tetapi juga ekonomi dunia. Rantai pasok global, terutama di sektor teknologi, menjadi taruhan besar dalam konflik ini. Sementara itu, risiko eskalasi militer yang lebih luas terus menghantui, mengingat kedua negara memiliki kekuatan militer besar yang siap digunakan kapan saja.

Namun, di tengah ketegangan ini, harapan untuk solusi damai masih ada. Banyak pihak menyerukan pentingnya dialog multilateral untuk menurunkan ketegangan. Forum internasional seperti ASEAN dan PBB dapat memainkan peran penting sebagai mediator dalam menyelesaikan sengketa ini. Selain itu, inisiatif untuk memperkuat kerja sama ekonomi dan menciptakan ketergantungan positif di antara negara-negara kawasan dapat menjadi langkah strategis untuk mencegah konflik lebih lanjut.

Ketegangan di Taiwan dan Laut Cina Selatan menunjukkan bagaimana persaingan antara Amerika Serikat dan Cina berdampak luas pada dunia. Dalam rivalitas yang tampaknya tak berujung ini, hanya dengan diplomasi dan kerja sama global, kita dapat berharap untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun