Mohon tunggu...
Angelina Ave Gratia
Angelina Ave Gratia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Mercu Buana 55520120031 (Dosen: Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak)

Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Mercu Buana 55520120031 (Dosen: Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak)

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Setitik Budaya Jawa dalam Pajak Dunia

16 Mei 2022   02:31 Diperbarui: 16 Mei 2022   02:35 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Saat ini internet dengan mudahnya diakses oleh masyarakat dari berbagai lapisan usia dan status ekonomi. Bagi sebagian kelompok masyarakat yang mudah melihat peluang, akses internet yang begitu masif masuk ke masyarakat adalah sebuah peluang untuk membuka berbagai lowongan kesempatan kerja. Kesempatan kerja yang saat ini semakin populer adalah menjadi tenaga kerja di luar negeri, baik di sektor formal maupun sektor informal bagi tenaga kerja terlatih, terdidik, dan/atau terdidik dan terlatih. Sektor informal yang paling menarik perhatian antara lain menjadi pekerja rumah tangga, pekerja perkebunan, sampai menjadi artis dan pekerja seni di kancah internasional. Sektor formal antara lain, menjadi karyawan di berbagai perusahaan di luar negeri. "Ana dina, ana upa", di saat ada perjuangan (bekerja) keras, selalu diikuti hasil yang nyata. Bekerja di luar negeri, mengapa tidak?

Salah satu hal pasti yang akan mengikuti para pekerja yang mendapat penghasilan adalah pajak. Pajak, satu kata sakti yang enggan didengar apalagi ditunaikan. Secara manusiawi pajak menjadi hal yang paling dihindari oleh manusia, karena sifatnya yang memaksa dan pasti mengurangi penghasilan. Salah satu yang menarik perhatian adalah peran budaya setempat dalam dunia perpajakan. Pada kesempatan kali ini yang menjadi contoh adalah pajak penghasilan dari pekerjaan di luar negeri. Budaya yang menjadi contoh kali ini adalah budaya jawa. Ketika banyak warga dari suku jawa berangkat bekerja dengan berlandaskan filosofi budaya lokal "ana dina, ana upa", idenya adalah memanfaatkan filosofi budaya jawa juga untuk mengejar aspek perpajakannya. 

Dari sisi edukasi perlu digencarkan pendidikan perpajakan sejak dini bagi anak-anak, agar di masa yang akan datang tidak menjadi "orang yang kagetan" ketika si pajak datang, mengurangi penghasilannya. Edukasi tentang budaya jawa dan kecintaan pada negeri juga perlu ditanamkan sejak dini. "urip iku urup", hidup itu (diharapkan bisa menjadi) terang. Terang bisa diartikan sebagai manfaat untuk sesama bangsa dan negara. Menjadi manfaat dalam konsep kenegaraan paling mudah dan sederhana misalnya menjadi pembayar pajak.   Jangan lupa, filosofi apapun yang "dijual" tidak akan berhasil jika pihak-pihak berkepentingan tidak legawa menerapkan "Ing Ngarsa Sung Tuladha", yang berada di depan, harus memberi contoh.

Ketika ada ada putih, maka ada hitam. Tidak menutup kemungkinan budaya jawa juga menjadi sisi yang lain dalam dunia perpajakan, yaitu menjadi cara untuk menghindari pembayaran pajak. Budaya jawa juga memiliki sisi mistis yang sering digunakan oleh masyarakat yang mempercayainya untuk melawan atau menghindari musuh. Apakah mungkin jika musuhnya saat ini adalah pungutan pajak dan otoritas perpajakan. Untuk menghindari otoritas perpajakan, kaum-kaum yang mempercayai ilmu-ilmu mistik, menggunakan ilmu yang mampu membuat dirinya tidak terlihat dari pandangan mata dunia. Untuk menghindari otoritas perpajakan, kaum-kaum yang mempercayai ilmu-ilmu mistik, menggunakan ilmu yang mampu membuat dirinya tidak terlihat dari pandangan mata dunia. Sehingga pemegang ilmu ini dapat tidak terlihat saat menggunakan atau bahkan memamerkan harta kekayaannya, hasilnya bisa terlewat dari radar otoritas pajak. Tidak banyak melakukan konfrontasi tapi dapat menghindari pembayaran pajak.

Sekilas nampak tidak masuk akal, kemungkinan menghindari pembayaran pajak dengan menggunakan ilmu mistik. Namun, kenyataan berkata lain, dunia ini adalah dunia yang penuh dengan beragam kemungkinan. Bukan tidak mungkin, semua rasionalitas dalam ilmu pengetahuan dan teknologi dihadapi dengan budaya setempat yang seringkali dikatakan tidak rasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun