Hari itu kebahagiaan menyelimuti setiap hati keluarga kecil yang penuh dengan cinta. Hadir seorang bayi mungil nan lucu, buah cinta perempuan itu mereka beri nama Hun. Hun lahir dari rahim seorang perempuan yang masih bau kencur, yang tak mampu menahan gairah asmara saat hadirnya pujaan hati di sisinya. Rajutan asmara terlarang yang tidak direstui oleh orang tuanya. Namun gejolak cinta lebih membara di banding gejolak amarah sang Ayah-Bundanya. Hun terlahir oleh Ibu keturunan pribumi dan si mata sipit, sedang Ayah mempunyai darah Indonesia bagian timur serta si mata sipit pula.
Waktu berlalu begitu cepat, tanpa terasa Hun memasuki usia 9 tahun kini. Riang canda tawanya di temani 3 adik laki-lakinya. Namun dia tidak mengerti apa yang terjadi sebenarnya. Yang dia tahu hanya amarah Ayah Bundanya yang menjadi sarapan hari-harinya. Yang dia tahu harus sejenak berpisah dengan Bundanya, sejenak berpisah dengan Ayahnya. Dia hanya merasa tenang dalam dekapan sayang Kakek dan Neneknya…… hingga suatu saat dia mengerti bahwa amarah itu tanda retaknya jalinan benang asmara Ayah-Bundanya.
Hun kecil harus memilih, di tengah gelisah hati, tak dapat menahan perpisahan Ayah Bundanya, air mata tak berguna rasanya. Tak mungkin memilih dengan siapa dia hendak melanjutkan hidupnya. Ayah tetaplah Ayah, dan Bunda tetaplah tempatnya berlindung saat ia semasa tercipta dalam rahimnya. Gumamnya hampir tak terdengar. Tak ada kata… hanya buliran air bening dari matanya yang indah menghantar Ayah-Bundanya pergi dari rumah kecil mereka…. Yah…. Si kecil Hun lebih memilih hidup bersama Kakek-Nenek yang menyayanginya.
Menit demi menit, hari demi hari… tak terasa Hun kecil telah duduk di bangku SMP. Usianya kini telah memasuki 12 tahun. Hun yang riang gemar akan menyanyi. Tahun itu tahun 80an, di mana Hun hidup bersahaja dengan Kakek-Neneknya. Ayah-Bundanya telah memiliki tambatan hati dan bayi-bayi kecil yang nota bene adalah adik-adik tiri Hun. Hun tak peduli dengan itu, karena perutnya yang lapar, kerongkongannya yang dahaga terpuaskan karena keringat Kakek-Neneknya saja.
Sampai pada suatu masa dimana Hun kecil harus menghadapi pahitnya kehidupan, saat itu setelah pulang dari tanggapan tarik suara, Hun dengan berbonceng sepeda motor di antar seorang lelaki remaja usia 20an (yang ganteng untuk masa-masa 80an). Dengan segala kepolosannya Hun tak menyadari bahwa kebaikan lelaki itu adalah awal dari kehancurannya.
Dengan dalih bahwa lelaki itu harus menemui seorang teman, Hun di ajaknya ke sebuah rumah (yang mana Hun baru menyadari saat usianya telah dewasa bahwa apa yang di sebut rumah adalah sebuah MOTEL). Hun di suruhnya menunggu dalam sebuah kamar, tak lama berselang datanglah lelaki itu, yang dengan lembutnya menyuruh Hun kecil membuka ikatan konde yang sedari sore menempel di kepalanya, saat tanggapan nyanyi.
Setelah itu seakan Hun mendapat tamparan yang amat sangat dashyatnya, ketika lelaki itu mengacungkan sepucuk senjata ke arah wajah Hun, seraya berkata “Buka bajumu, atau kau mati!.”
Hun tak ingat ( karena memang ia tak mau mengingat lagi )apa yang selanjutnya di lakukan oleh laki-laki biadab itu. Yang ia ingat hanyalah noda merah darahnya terpampang di alas tempat tidur itu, dan ia dengan perlahan terseok turun dari ranjang, dan merangkak menuju ke kamar mandi untuk sekedar membasuh perih yang teramat sangat pada seluruh badannya, terutama pada bagian kehormatannya….. sungguh… ia tak dapat berjalan…. Ia hanya dapat meringis… tak berani ia mengeluarkan air matanya
Hancur hatinya… namun apa dayanya sebagai manusia kecil yang sangat polos, bahkan mengerti apa itu menyukai lawan jenispun belum sempat ia lakukan.
Dia pikir ini adalah pertama dan terakhir hal yang menyakitkan terjadi dalam hidupnya. Ketika ia pulang tak ada kata yang mampu ia ucapkan sebagai keluhan hatinya kepada Kakek-Nenek yang di cintainya. Ternyata dia salah, berkali-kali hal ini terjadi, hingga suatu saat hal itu terungkap, yang membuat geger penduduk 1 desa.
Oleh karena itu pada masa tahun ‘86 ia bersama Kakek-Neneknya pergi meninggalkan desa yang di cintainya. Menuju suatu kota yang lebih besar. Namun apa lacur, tanpa bekal yang cukup dan kerentaan Kakek-Neneknya, serta penyakit yang mulai di sandang Kakeknya, maka Hun kecil menjual tubuhnya pada seorang lelaki tengah baya, hanya supaya Kakeknya mendapat pengobatan di Rumah Sakit dan mereka mendapat tempat untuk tinggal. Hingga ajal menjemput si Kakek tersayang.