Â
Bocholt, Jerman - 16 Juli 2016
Pada hari Rabu, 20 April 2016, mahasiswa pertukaran pelajar yang berasal dari Indonesia (6 orang), Amerika (2 orang), Spanyol (1 orang), Hungaria (1 orang), Vietnam (2 orang), dan Republik Ceko (1 orang) dengan total 13 mahasiswa secara resmi disambut dan diterima oleh wakil walikota Elisabeth Kroesen di Balai Kota Bocholt. Kami para mahasiswa pertukaran pelajar dari Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya melakukan pertukaran pelajar di Departemen Bisnis dan Teknologi Informasi di Westfälische Hochschule - Kampus Bocholt.Â
Awalnya keinginan melakukan pertukaran pelajar di Jerman adalah suatu angan-angan dan sebuah mimpi besar yang sudah saya miliki dari sejak saya menjadi mahasiswa baru. Bagi saya pribadi rasanya hampir tidak mungkin bagi saya untuk melakukan pertukaran pelajar ke Jerman, karena biayanya yang cukup mahal di tengah keadaan keluarga saya yang pada saat itu sedang membutuhkan dana untuk operasi katarak papa saya. Namun ternyata di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya di Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Komunikasi sejak tahun 2016 ada program Erasmus+ yang mampu membeasiswai mahasiswa selama melakukan pertukaran pelajar ke Jerman.Â
Mimpi tersebut pada akhirnya menjadi kenyataan dan tidak pernah terlintas dalam pikiran saya dan teman-teman untuk melakukan perjalanan yang sedemikian jauh dan lama serta berada cukup lama tanpa orang tua, ke sebuah negara yang amat sangat terkenal dalam berbagai bidang, baik olahraga, otomotif, ekonomi dan juga latar belakang sejarahnya.Â
Saya, Monica, Marcel, dan Michelle tiba di Jerman pada tanggal 28 Maret sedangkan Tiffani dan Gabriella tiba 1 hari kemudian. Awalnya kami sering mendengar stereotype tentang warga Jerman yang enggan berbahasa Inggris jika ditanya atau dimintai tolong oleh orang asing. Ada juga yang mengatakan bahwa orang Jerman, terkenal sangat tepat waktu. Namun pada akhirnya semua pemikiran kami mengenai stereotype tersebut berubah ketika kami tiba dan mengikuti kegiatan perkuliahan.Â
Kami semua tiba di kota kecil Bocholt yang berbatasan dengan Belanda pada tanggal 29 Maret. Di Bocholt kami tinggal bersama dengan host family atau istilah lainnya homestay dan langsung disambut oleh para host parent kami setibanya di stasiun. Rasanya sangat senang, karena seperti disambut oleh keluarga baru. Kemudian seiring berjalannya waktu, kami melakukan kegiatan perkuliahan di Kampus Westfälische Hochschule. Para mahasiswa Jerman ternyata sangat ramah kepada kami, namun memang benar adanya bahwa orang Jerman terkenal sangat tepat waktu.Â
Terdapat sebuah pengalaman yang teman kami alami yang membuat kami belajar tentang pentingnya menghargai waktu. Pada saat pihak kampus melakukan perjalanan bersama kami ke kota Cologne bersama dengan mahasiswa pertukaran pelajar lainnya, pada akhir perjalanan dan ingin kembali ke Bocholt, ada dua orang teman kami yang telat selama 15 menit dan mendapat teguran yang cukup keras dari salah seorang profesor kami.Â
Profesor kami di Jerman menjelaskan bahwa bagi orang Jerman waktu sangat berharga, tidak dapat dikembalikan lagi, dan keterlambatan lebih dari tiga menit sudah bisa dianggap cukup parah untuk dapat merusak jadwal mereka selanjutnya. Setelah teman kami beberapa kali minta maaf, masalahpun selesai dan di saat itulah kami belajar mengenai pentingnya melihat waktu sebagai sesuatu yang berharga dan cara untuk memandangnya dari sudut pandang orang Jerman atau kebudayaan lain.
Pengalaman lain yang cukup membuat kami tersanjung adalah ketika saya dan dua orang teman saya tersasar di Bocholt, sampai tiba-tiba ada sebuah mobil yang berhenti dan menghampiri ke dekat kami. Sebelum kami bertanya, dia lebih dahulu menanyakan, "Are you lost and looking for directions? Where do you want to go?", dan kemudian dia memberikan kami arahan dengan bahasa Inggris yang terbata-bata. Pengalaman lainnya adalah ketika saya dan Monica di kereta api dan juga menanyakan arah ke pada orang Jerman, mereka berusaha menunjukkan arah dengan menggunakan bahasa Inggris yang sangat terbatas dan bahkan sampai menggunakan bahasa tubuh agar kami tidak tersasar.Â
Sontak pengalaman-pengalaman ini langsung menepiskan semua stereotype mengenai sifat mereka yang enggan berbicara bahasa Inggris dengan orang asing. Pada saat perkuliahan pun kami juga sering dibantu oleh teman-teman Jerman kami, terutama pada saat melakukan peminjaman buku, menggunakan mesin fotokopi, dan bahkan menanyakan rekomendasi kota apa yang harus kami tuju untuk berjalan-jalan. Pada tanggal 29 Juni, dua hari sebelum kami memulai ujian akhir semester bahasa Jerman dasar di Westfälische Hochschule, ada seorang teman Jerman kami yang mengatakan, "If you want, I can teach you German and don't hesitate to contact me to ask about everything you want to know about German subject".Â