Mohon tunggu...
Angelica Mulyana Putri
Angelica Mulyana Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah wanita berusia 18 tahun, memiliki antusiasme yang tinggi dalam dunia pendidikan dan hiburan. Hobi saya yaitu menulis serta menyanyi.

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Anxious Attcahment Ketika Luka Masa Kecil Membentuk Kebutuhan Validasi di Masa Remaja

11 Januari 2025   17:50 Diperbarui: 11 Januari 2025   17:43 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Anxious attachment adalah karakteristik yang takut akan penolakan, takut ditinggalkan, bergantung pada pasangan untuk validasi dan pengaturan emosional, serta kecenderungan kodependen. Anxious attachment, atau keterikatan cemas dalam Bahasa Indonesia, didefinisikan sebagai ketidakpastian mengenai ketersediaan figur keterikatan (Campbell, L., & Marshall, T. 2011.) Anxious attachment dapat disebabkan oleh perilaku pendekatan-penghindaran secara tiba-tiba. Hal ini sering dirasakan oleh anak-anak kecil, bahkan bayi yang tidak menerima perawatan yang maksimal dari orang tua mereka. Orientasi anxious attachment berkembang ketika anak menerima pola perawatan yang tidak konsisten. Hal ini dapat menumbuhkan rasa keraguan mengenai ketersediaan figur keterikatan, dan mengarah pada pikiran negatif anak terkait "ketersediaan ibu yang tidak pasti." Anak-anak kecil juga akan berasumsi bahwa mereka telah kehilangan sementara ibu mereka, sesuai dengan pengamatan yang dilakukan oleh John Bowlby, lebih dari 65 tahun yang lalu.

Anxious attachment sangat berkaitan erat hubungannya dengan interaksi yang dimiliki seorang anak dengan pengasuh utamanya, yakni kedua orang tua. Namun, sangat disayangkan bahwa banyak orang tua yang masih abai akan hal ini. Boleh jadi orang tua bekerja untuk menghidupi serta menuruti seluruh ingin anaknya, namun jika kasih sayang dan perhatian tak kunjung diberikan, tetap saja percuma. Akan sia-sia rupanya jika para orang tua terlalu sibuk mengais rezeki demi sesuap nasi, jika anak-anak masih merasa sepi dan tidak disayangi.  "Ketika kita mengatakan bahwa kita mencintai seseorang, namun kita tidak memberikan waktu, guna tidak, Bu?" Sindiran tersebut terdengar langsung dari Dr. Mariana dalam podcast Tanam Benih pada channel YouTube nya.. Anak-anak yang lugu sering kali tidak mengerti bahkan tidak ingin tahu menahu tentang kesibukan orang tuanya. Hal yang anak-anak pinta terkadang hanya waktu, hubungan hangat, dan masa kecil yang penuh dengan belaian kasih sayang serta perhatian maksimal.

Setidaknya terdapat tiga konsekuensi yang akan dirasakan anak akibat hal ini. Pertama,ada kekhawatiran terus menerus  tentang ketersediaan pengasuh (orang tua). Kekhawatiran ini memicu anak untuk selalu memantau perilaku dan kehadiran, serta adanya figur keterikatan. Kedua, adanya peningkatan perilaku yang berhubungan dengan attachment (keterikatan). Perilaku ini berfungsi bagi anak untuk mempertahankan perhatian dari orang tua mereka. Hal ini ditandai dengan sikap manja yang berlebih. Akibatnya, anak akan lebih emosional dan lebih mudah menangis, supaya orang tua akan memberikan perhatian lebih kepada mereka. Ketiga, karena anak terlalu fokus mengarahkan perhatian untuk memantau dan menjaga kedekatan fisik dengan orang tua, hasrat serta keinginan anak untuk mengeksplor lingkungan akan secara otomatis menurun.
Bahkan tak sesederhana itu. Ketiga hal tersebut akan menjadi konsekuensi yang sifatnya berkelanjutan jika tidak segera ditindak lanjuti. Ketika anak telah memasuki usia remaja, dimana mereka sudah merasa memliki dunia sendiri, anak akan cenderung melakukan mirroring terhadap orang tuanya. Artinya, apa yang sudah dilakukan orang tua di masa kecilnya, akan ditiru oleh anak yang mendapat perlakuan tersebut. Bukan balas dendam, namun hal ini bisa terjadi secara natural sebagai rilis perasaan kecewa yang sudah mereka pendam sedari lama.

Banyak remaja yang cenderung memilih mengekspresikan kekecewaan melalui perilaku nonverbal daripada harus mengkomunikasikan hal itu dengan kedua orang tua mereka. Perilaku nonverbal biasa ditunjukkan melalui Bahasa tubuh, mimic ajah, kontak mata, serta elemen lain.  Remaja yang labil juga akan mencari tempat dimana ia bisa dipahami, dikasihi, dilindungui, bahkan sesederhana didengar. Tak heran, jika remaja pada era saat ini memiliki ketertarikan yang sangat tinggi akan tindakan pacaran.
Secara sederhana, pacaran adalah relasi intim antara dua individu yang umumnya berlawanan jenis, yang bertujuan sebagai tahap awal penjajakan sebelum keduanya memutuskan ke jenjang yang lebih serius, yakni pernikahan (Nugroho, W. B., & Sushanti, S. 2019). Pacaran sering kali dianggap sebagai trend kekinian yang dapat menghadirkan rasa bahagia dan dapat menghapus kekosongan yang ada dalam diri remaja. Banyak remaja percaya bahwa dengan berpacaran, mereka akan mendapat pasangan yang akan selalu menemani, melindungi, serta  mendengar seluruh masalah atau keluh kesah yang sedang mereka alami. Orang-orang seringkali hanya mengerahkan fokus dirinya terhadap kebahagiaan dalam kisah asmara antara dua individu, tanpa memberi perhatian terhadap keganjalan-keganjalan dibalik kisah asmara yang terlihat lucu nan serasi itu. Padahal, terdapat salah satu seleb TikTok, @anindalsp_ mengaku bahwa alasan ia berpacaran adalah karena ia telah kehilangan kasih sayang seorang ayah. Ia merasa bahwa pasangannya dapat menggantikan figur ayahnya yang telah hilang. Konten tersebut mendapat lebih dari dua ratus ribu exposure publik. Bahkan, terdapat salah satu akun yang menuliskan komentar menyedihkan, yaitu "aku haus kasih sayang orang tua." Pada akun TikTok Parenting Bunda Farida pun dusebutkan bahwa salah satu penyebab anak pacaran adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua.
Support atau perhatian kasih sayang orang tua yang tidak konsisten saat pada masa kanak-kanak akan memunculkan anxious attachment style, bahkan saat mereka sedang menjalani hubungan asmara. Secara tidak sadar, remaja yang memiliki anxious attachment akan memproyeksikan hal itu kepada pasangannya. Proyeksi tersebut dapat berupa pengambilan emosi yang tidak disukai tentang dirinya, dan menghubungkjannya dengan orang lain.

Ciri-ciri Remaja dengan Anxious Attachment dalam suatu hubungan, antara lain :
1.Butuh Reassurance dari Pasangan
Hal ini dapat ditandai dengan seringnya remaja mempertanyakan hal yang sama berulang kali. Pertanyaan yang dilontarkanpun sederhana, bahkan terdengar sepele di telinga beberapa orang. Seperti "kamu sayang sama aku, kan?," "menurut kamu aku cantic, nggak?," "kamu peduli nggak sih sama aku?" Pertanyaan tersebut dilontarkan karena remaja yang memiliki anxious attachment sering kali merasa perlu validasi, dan harus diyakinkan berkali-kali.
2.Sering  Merasa Takut dan Cemburu yang Tidak Rasional
Karena pada saat masa kanak-kanak ia sering ditinggalkan oleh orang tuanya, remaja yang memiliki anxious attachment akan cenderung takut bahwa pasangannya akan melakukan hal yang serupa. Hal tersebut ditandai dengan prasangka buruk yang sering kali ia berikan terhadap pasangannya. Misal, jika pasangannya menyukai postingan wanita lain, remaja tersebut akan berpikir jika ia sudah tak lagi cantik untuk bisa dicintai dan disayangi oleh pasangannya. Contoh lain, jika pasangan sedang sibuk, dan tidak menjawab pesan remaja tersebut dengan waktu yang singkat, ia akan berasumsi bahwa pasangannya berselingkuh.

3.Selalu Ingin Memberi Sesuatu yang Dibutuhkan Pasangan
Hal ini biasa dilakukan oleh remaja dengan anxious attachment supaya pasangannya tidak akan pernah meninggalkannya. Hasrat untuk menuruti semua keinginan pasangan adalah salah satu upaya yang bisa ia lakukan untuk menahan pasangannya agar tetap konsisten mencintai dan memberikan ia perhatian yang selama ini ia butuhkan.

Seorang anak yang kurang mendapatkan kasih sayang dari orang tua cenderung akan terus mencari kasih sayang tersebut sepanjang hidupnya. Namun, hanya sedikit yang menyadari bahwa kasih sayang orang tua tidak bisa tergantikan oleh siapa pun, termasuk pasangan hidupnya. Meskipun akhirnya ia menemukan seseorang yang sangat menyayanginya, kekosongan dalam hatinya akan tetap ada. Sebab, sejatinya, kekosongan itu tidak akan pernah terisi sepenuhnya.

DAFTAR PUSTAKA 

Campbell, L., & Marshall, T. (2011). Anxious attachment and relationship processes: An interactionist perspective. Journal of personality, 79(6), 1219-1250.
Nugroho, W. B., & Sushanti, S. (2019). Kekerasan dalam Pacaran: Anatomi Konflik dan Penyelesaiannya. JSW (Jurnal Sosiologi Walisongo), 3(2), 145-162.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun