Alkisah ada seorang gadis muda nan menawan. Ia tinggal sendirian di sebuah flat mungil dan sering sekali kehilangan kunci.
Acap kali kehilangan, ia menghampiri tetangganya, seorang kakek tua yang galak untuk membantunya. Kakek itu jengah dan selalu memarahinya.
Namun setiap kali, kejengkelannya hilang secepat bibir gadis manis itu melengkung tersenyum saat mengucapkan terima kasih.
Setelah berhasil masuk ke dalam flatnya, gadis itu akan duduk di beranda dan membaca buku. Saat waktu sudah cukup larut dan orang-orang terlelap... Ia mengambil gitarnya dan mulai bernyanyi. Ia memandangi menara Eiffel dari kejauhan dan tersenyum puas akan hidup sederhananya yang indah.
***
Aku sudah lupa judul filmnya, namun aku ingat jelas perasaanku saat menontonnya. Di mata seorang perempuan kecil yang masih duduk di bangku sekolah dasar, hidup sang gadis di film itu seperti sebuah mimpi.Â
Aku beranjak remaja dengan keinginan memiliki senyum yang menawan dan kemahiran berbahasa Prancis. Selalu terbayang dalam pikiranku betapa anggun gadis itu setiap kali ia berbicara, bahkan ketika hanya sedang memesan kopi di cafe.
Di cermin kamar ayah ibuku, aku seringkali bergaya dan berceloteh macam-macam seakan sedang berbahasa Prancis. Tidak ada satu kata pun yang keluar, hanya liur-liur.
Tahun-tahun berlalu dan kenyataan menyadarkanku bahwa senyum yang menawan tidak bisa menyelesaikan berbagai permasalahan hidup yang menghampiri.Â
Di Jakarta yang sesak ini juga tidak mungkin aku akan menemukan flat seindah milik gadis itu. Mahal sekali pula untuk sekedar bisa menyanyi sambil memandangi menara Eiffel dari kejauhan.Â
Kegiatan belajar dan pekerjaanku menuntut banyak sekali perhatian, maka aku secara praktis melupakan kekagumanku pada bahasa Prancis. Terlebih lagi, drama-drama Jepang kemudian banyak sekali berseliweran di layar televisi. Aku pun beralih-haluan mempelajari bahasa negeri sakura itu.