Mohon tunggu...
angelia hapsari
angelia hapsari Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tren “Ngawul”

28 Desember 2012   04:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:55 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam kehidupan kita, fashion memang tidak pernah bisa lepas maupun dilepaskan. Manusia membutuhkan pakaian untuk melindungi bagian-bagian tubuhnya terutama bagisan tubuh yang vital. Fashion erat kaitannya dengan tren-tren yang semakin hari semakin beragam. Banyak tren-tren fashion baru yang secara cepat masuk ke Indonesia. Tren-tren fashion masyarakat Indonesia tidak hanya berasal dari Indonesia sendiri saja, tetapi juga banyak dipengaruhi oleh beberapa tren dari negara-negara diluar Indonesia, seperti Eropa, Amerika dan negara-negara lainnya. Banyak tren fashion Indonesia yang berkiblat pada tren fashion negara-negara barat. Mungkin bagi masyarakat Indonesia tren fashion negara-negara barat jauh lebih baik daripada tren dari negaranya sendiri walaupun ada beberapa fashion negara-negara barat yang tidak sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia yang menganut budaya-budaya timur. Contoh tren fashion negara barat yang tidak sesuai dengan budaya timur adalah pakaian wanita disana lebih banyak yang terbuka dan memperlihatkan bagian-bagian tubuhnya. Padahal dalam budaya timur khususnya untuk penganut agama Islam, berpakaian seperti yang dicontohkan diatas sama saja dengan mengumbar aurat. Namun pada kenyataannya banyak orang-orang Indonesia yang menyukai fashion dari negara-negara barat terutama beberapa artis Indonesia. Mereka bahkan rela mengeluarkan biaya fantastis untuk membeli pakaian yang dirancang dan dijual di butik artis-artis mancanegara. Terlepas dari itu semua, masyarakat Indonesia khususnya yang saya ketahui yaitu Kota Yogyakarta, beberapa tahun terakhir ini sedang gemar membeli pakaian-pakaian import atau yang didatangkan dari luar negeri. Bukan seperti para artis yang membeli pakaian baru import dengan harga fantastis, tetapi masyarakat lebih memilih membeli pakaian-pakaian bekas atau setengah pakai yang juga didatangkan dari luar negeri atau masyarakat Jogja lebih suka menyebutnya dengan sebutan “Ngawul”. Sebutan itu muncul karena biasanya pakaian-pakaian bekas yang dijual tidak ditata dengan rapi atau hanya ditumpuk diatas meja yang sangat besar. Masyarakat Jogja mengatakan bahwa tumpukan tersebut “awul-awulan”. Dari situlah sebutan “Ngawul” berasal.

Pada awal kemunculannya, tren itu belum terlalu nge-tren seperti sekarang ini. Dulunya hanya terdapat beberapa toko atau lapak yang menjual pakaian-pakaian import bekas karena dulu masyarakat masih malu untuk membeli pakaian bekas dan menganggap bahwa hanya orang-orang menengah kebawah saja yang membelinya. Namun entah karena faktor apa, tren “ngawul” itu mulai digemari masyarakat Jogja. Bukan hanya orang tua saja yang gemar ngawul bahkan anak-anak muda sekarang juga menggemarinya. Salah satu faktor tren itu semakin hari semakin digemari adalah banyak artis-artis yang menungkapkan bahwa barang-barang yang mereka pakai bukan seluruhnya barang baru dengan harga yang mahal melainkan barang-barang bekas import maupun lokal. Mungkin dari hal itu tren “ngawul” tidak lagi menjadi hal yang dijauhi masyarakat. Hal tersebut didukung dengan semakin banyaknya pedagang-pedagang yang menjual pakaian-pakaian bekas. Bahkan mereka tidak segan-segan menyewa ruko yang berukuran cukup besar untuk menjual dagangan mereka. Selain menyewa ruko, para pedagang juga membuka lapak mereka pada event-event tertentu, seperti yang sedang berlangsung di Jogja sekarang ini yaitu “Sekaten” yang diselenggarakan di Alun-alun Kota Jogja. Acara tersebut rutin dan sudah menjadi tradisi setiap tahun untuk meperingati lahirnya Nabi Muhammad SAW. Sekaten berisi pasar malam dan bermacam-macam arena permainan seperti kora-kora, bianglala, dan lain-lainnya. Namun diantara banyaknya arena permainan dan pedagang-pedagang ang berada disana, terdapat banyak lapak para pedagang yang menjual pakaian-pakaian bekas mulai dari pakaian bekas import maupun lokal. Setiap tahunnya para pedagang pakaian bekas di Sekaten jumlahnya terus-menerus meningkat karena memang “ngawul” semakin lama semakin digemari. Selain harganya yang lebih murah, pakaian-pakain bekas itu terkadang juga bermerek yang cukup terkenal. Namun kita harus pintar-pintar memilih pakaian yang akan dibeli karena tidak jarang pakaian-pakaian tersebut cacat atau rusak. Setelah membeli, kita juga sangat disarankan untuk mencuci pakaian tersebut terlebih dahulu dengan air hangat dan detergen agar lebih bersih karena namanya juga “ngawul” ya pasti barang-barangnya awul-awulan dan tidak sebersih barang baru walaupun sebelum dijual barang-barang tersebut sudah dicuci terlebih dulu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun