Mohon tunggu...
Angel Gracia
Angel Gracia Mohon Tunggu... Freelancer - saya mahasiswa

mahasiswa ilkom

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Demokrasi Lipstick: Hubungan Intim Poilitik, Media Massa, dan Pencitraan

22 November 2018   17:00 Diperbarui: 22 November 2018   17:58 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ketika politik dan pencitraan menjadi satu unsur, maka demokrasi tak lagi panjang umur. Apa yang ditawarkan politisi bukan lagi visi dan misi melainkan gizi dan komisi. Media massa yang dulunya menjadi harapan untuk mengkritik aktor-aktor politik, sekarang sudah dijadikan alat untuk memoles demokrasi lipstick.  

 Media massa mulai bangkit dan berjaya setelah kerusuhan di tahun 1998. Ditegaskan oleh Undang-Undang Pokok PERS No. 40 Tahun 1999 bahwa PERS menduduki jabatan sebagai salah satu penjaga atau sebagai pilar keempat bagi demokrasi bersanding dengan eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang harusnya berperan sebagai jendela bagi masyarkat untuk melihat ke dalam dunia politik dan pemerintahan secara jelas dan blak-blakan. Namun, nyatanya media massa sudah dijadikan sarana pencitraan bagi para politisi yang berlomba-lomba untuk menduduki jabatan sebagai 'wakil rakyat'.

Berubahnya fungsi media massa didalangi oleh para oknum politisi yang berlatar belakang penguasa media massa yang menggunakan kekuasaannya dalam media komunikasi entah itu televisi, radio, mau pun internet untuk membangun dan memoles citra mereka. Mengambil contoh sosok Hari Tanoesoedibjo sebagai pemilik MNC Group sekaligus Ketua Partai Perindo, Taufan Hariyadi seorang wartawan dan mahasiswa S2 Universitas Paramadina dalam presentasinya di konferensi Komunikasi bertemakan Message, Meaning, Media In Disruptive Communication Era, menjelaskan bagaimana beliau sudah menggunakan kerajaan media massanya untuk mempromosikan Partai Perindo  dan dirinya sendiri demi menggaet 'bocah-bocah' masa kini. Dengan besarnya jaringan media yang dimiliki beliau, sangat sedikit celah bagi generasi millennial untuk bebas dari kampanye politik di media massa.

Melanjutkan penjelasannya, Taufik Hidayat mengungkit kedua tokoh politik yang cukup terkenal, Surya Paloh sebagai Ketua Partai Nasdem sekaligus pemilik MetroTv dan Abu Rizal Bakrie sebagai mantan Ketua Partai Golkar sekaligus pemilik TvOne. "Keduanya merupakan pemilik sah dua media namun berdasarkan sumber yang saya terima, mereka menggunakan media massa mereka masing-masing untuk membangun citra presiden yang berbeda, bahkan sampai kepada pemberitaan yang berbeda mengenai hasil pemilihan umum,". Begitu mudahnya media massa dijadikan alat pencitraan yang tak lagi berfokus pada visi dan misi masing-masing politisi justru menggeser substansi dari demokrasi itu sendiri.

Mengundang pertanyaan, sebegitu cintanyakah masyarakat Indonesia pada citra sehingga politisi berburu untuk menciptakan citra manis di mata publik yang menyebabkan hilangnya esensi utama dari media massa dan demokrasi itu sendiri. Bukan lagi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, melainkan dari saya, oleh saya, dan untuk saya. Hilang sudah arti media massa sebagai jembatan jujur antara politik dan publik. Tanpa disadari makin dangkalnya cara pandang insan-insan politik dalam berkompetisi malah menjatuhkan citra demokrasi itu sendiri yang dulunya adalah salah satu tulang rusuk Indonesia menjadi hanya sekedar tameng pencitraan berupa lipstick pemoles untuk mempercantik oknum-oknum tertentu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun