Mohon tunggu...
Angeleen Zhou
Angeleen Zhou Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

She is passionate about culture, education, and contemporary issues. She writes to share critical insight and perspectives.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengurai Dilema Hukuman Mati bagi Koruptor di Indonesia

23 Oktober 2024   12:50 Diperbarui: 23 Oktober 2024   12:50 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Korupsi telah lama menjadi penyakit kronis yang menggerogoti pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Seiring meningkatnya kasus korupsi, tuntutan penerapan hukuman mati bagi koruptor semakin sering terdengar. Namun, benarkah hukuman mati merupakan jawaban yang tepat untuk memberantas korupsi di negeri ini? 

Dari sudut pandang yuridis, Indonesia telah meratifikasi Deklarasi Universal HAM dan Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik. Kedua dokumen ini menjamin hak hidup sebagai hak asasi paling mendasar. Pasal 3 Deklarasi Universal HAM menegaskan bahwa setiap individu berhak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan. Penerapan hukuman mati bagi koruptor berpotensi bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM yang telah diadopsi Indonesia. 

Secara filosofis, konsep negara hukum yang dianut Indonesia menempatkan perlindungan HAM sebagai elements penting. Pengakuan dan jaminan HAM menjadi wujud nyata kedaulatan rakyat dalam negara hukum dan demokrasi. Hukuman mati itu bisa melemahkan legitimasi sistem hukum Indonesia yang telah berkomitmen menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. 

Data empiris juga tidak mendukung keampuhan hukuman mati dalam memberantas korupsi. Merujuk pada Indeks Persepsi Korupsi (CPI) tahun 2020, negara-negara dengan skor tertinggi seperti Denmark, Selandia Baru, dan Finlandia justru telah menghapuskan hukuman mati. Di sisi lain, negara-negara dengan CPI terendah seperti Korea Utara dan Somalia masih menerapkan hukum mati. Bahkan Tiongkok, yang dikenal gencar menerapkan hukuman mati bagi, masih mencatat skor CPI yang relatif rendah (42 dari skala 100).

Lalu, bagaimana kita bisa memberantas korupsi tanpa mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan? Alih-alih menerapkan hukuman mati, pemberantasan korupsi dapat dilakukan melalui pendekatan yang lebih berimbang. Fokus utama dapat diarahkan pada pembenahan tata kelola pemerintahan, penguatan sistem pencegahan, dan peningkatan kesadaran hukum masyarakat. Pendekatan "follow the money" dengan prioritas pada pemulihan aset (asset recovery) bisa menjadi langkah strategis untuk memutus mata rantai korupsi.

Solusi alternatif yang lebih manusiawi meliputi pemiskinan koruptor melalui pemulihan aset negara secara utuh, pembatasan hak sipil dan politik bagi terpidana korupsi, serta penguatan upaya pencegahan dan pendidikan anti-korupsi sejak dini. Langkah-langkah ini tidak hanya memberikan efek jera, tetapi juga mencegah kerugian negara dan mengurangi risiko pengulangan tindak pidana. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun