Djamaludin Adinegoro
Adinegoro tiba di Jerman pada 1926, masa itu adalah masa yang sukar dimana rakyat penduduk Weimar sedang dilanda inflasi akut. Tahun 1926-1930, anak muda ini menuntut ilmu di Berlin, Muenchen dan Wurzburg. Beliau memperdalam ilmu jurnalistik geografim kartografi dan geopolitik. Disana, ia juga menjadi wartawan freelance untuk suratkabar Pewarta Deli. Setelah Jerman, kota selanjutnya adalah Belanda untuk studi bidang Ilmu Sastra dan Jurnalistik. Ketika kembali ke Hindia, ia memimpin Pandji Pustaka tapi hanya 6 bulan. Tahun 1932-1942 ia memimpin Pewarta Deli.
Kenyataannya, Adinegoro bukanlah nama asli beliau. Ia bukan orang Jawa. Nama Sumatranya adalah Datuk Madjo Sutan. Alasannya memiliki nama Adinegoro adalah bermula saat dirinya masuk STOVIA. Sebagai putra orang yang terpandang, ia diijinkan untuk bersekolah di STOVIA, namun STOVIA tidak mengijinkan para siswanya untuk menulis. Padahal sebelum memasuki STOVIA pun, beliau sudah aktif menulis untuk Tjahaja Hindia. Bosnya inilah yang menyarankannya agar memakai nama Jawa. Ia sendiri tidak pernah menjadi dokter karena ketertarikannya dalam dunia jurnalistik.
Ketika Jepang datang ke Indonesia, beliau masih berkecimpung dalam dunia jurnalistik. Selanjutnya, di jaman revolusi, ia menerbitkan Kedaulatan Rakyat di Bukittinggi.Terakhir ia bekerja di Kantor Berita Nasional (Antara) sebagai kepala bidang penelitian. Ia mengabdi di Antara sampai akhir hayatnya, yaitu pada 8 Januari 1967. Semasa hidupnya, beliau dekat dengan banyak kalangan. Bahkan ketika pascakemerdekaan pun, ia sempat diangkat Presiden Soekarno sebagai Ketua Komite Nasional Sumatera dan Komisaris Besar RI di Bukittinggi.
Sedikit ringkasan dari Buku Tanah Air Bahasa : Seratus Jejak Pers Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H