Mohon tunggu...
angela winda andini
angela winda andini Mohon Tunggu... -

simple.love to writing,reading,listening to music, n singing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Abdul Rivai

8 Januari 2011   16:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:49 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Abdul Rivai

Menempuh pendidikan di Palembayan, lalu ke sekolah Dokter Jawa pada 1886-1894 dan setelah lulus, beliau ditempatkan di medan. Beliau adalah lelaki yang beruntung, karena dididik oleh sistem politik etis. Tak puas hanya sekolah di Hindia Belanda, beliau melanjutkan ke Belanda. Tindakannya ini didukung Van Deventer, pengusung politik etis. Namun, pejabat Belanda yang tidak menyukainya, menghambat langkahnya ini.

Sambil menunggu ijin yang keluar, beliau menulis untuk Bintang Hindia, Bendera Wollanda, Pewarta Wollanda, Oost en West, dan Algemeen Handelsblad yang keseluruhannya terbit di Amsterdam. Saat itulah beliau beperang pena dengan A.A Fokker, seorang pejabat Belanda yang mengaku fasih berbahasa Melayu dibandingkan dengan orang Melayu sendiri. Hingga pada akhirnya beliau menantang Fokker untuk debat di depan umum. Akhirnya, bertemulah mereka berdua danbukan kehebatan berbahasa Melayu yang ditunjukkan oleh Fokker, melainkan kekalahannya. Setelah itu Fokker berusaha untuk membela diri dengan mengatakan bahwa “Seorang Belanda tidak boleh berbahasa Melayu.”

Kemenangan beliau setelah berdebat dengan orang Belanda membuatnya dikenal khalayak, ijin menuju Belanda pun keluar baginya. Di sana beliau tetap menulis, hasil tulisannya belaiau kirimkan ke Indonesia, dengan telegraf tentunya. Karena tulisannya, beliau ditawari untuk menjadi redaktur Bintang Hindia oleh Van Heuts, Gubernur Jendral Hindia Belanda. Dan sekali lagi, ia kembali diganjal. Namun sang Gubernur tetap mengijinkan posisi tersebut. Beliau mengambil kesempatan ini, 6 tahun beliau memimpin, 1901-1907 . Beliau selalu menanamkan kepada para Bumipoetra : “Jadilah bangsa usulan dan pikiran. Bangsa yang cerdas. Bengsa yang senantiasa memberikan masukan-masukan penting demi perkembangan tanah airnya.”

Setelah itu beliau mengikuti jejak ayahnya untuk menjadi guru. Beliau menjadi guru bahasa Melayu untuk mahasiswa di Prancis, bersamaan dengan karangan bukunya berupa buku tuntunan belajar Bahasa Melayu untuk mahasiswa Prancis. Tidak hanya itu saja, beliau juga melanjutkan pendidikannya di Institute Pasteur, Paris, Perancis. Ketika perang Eropa mulai berakhir, beliau kembali ke Indonesia dan memilih Padang sebagai tempat tinggalnya tahun 1907. Beliau pun masuk Volksraad tahun 1918.

Ternyata, walaupun beliau adalah seorang dokter, beliau tidak dapat menyembuhkan sakitnya sendiri. Beliau pun memutuskan untuk keluar dari Volksraad, juga karena pendapatannya kecil, tidak sebanding dengan pendapatan seorang dokter. Beliau pun kembali ke Eropa untuk memulihkan kesehatannya. Selama 1919-1921, beliau berkelana di Eropadan menjadi redaktur pembantu Bintang Timoer. Beliau mengkritik dan menelanjangikolonialisme juga pribumi. Sewaktu di sana, beliau melihat Hatta, Ali Satroamidjojo, Abdulmadjid Djajadiningrat dan Nazir Datuk Pamuncak ditangkap.

Melalui Bintang Timoer beliau mencetuskan ide studentfonds. Studentfonds adalah dana untuk membantu mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang berada di luar negri. Beliau berharap agar Studentfonds didirikan di seluruh negara yang ada mahasiswa Indonesianya, hal tersebut ia cetuskan karena ia sangat sadar akan kesulitan belajar di luar negri. Ide itu ternyata berhasil, banyak pembaca Bintang Timoer yang akhirnya justru menjadi penyumbang besar Studentfonds.

Tahun 1932, beliau kembali ke Indonesia dan menetap di Tanah Abang dengan berprofesi sebagai dokter. Namun, beliau tetap tidak berhenti menulis. Dari Jakarta, beliau pindah ke Bandung. Di sanalah beliau kemudian menghembuskan nafas terakhirnya.

Sedikit ringkasan dari Buku Tanah Air Bahasa : Seratus Jejak Pers Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun