Abdul Rivai
Menempuh pendidikan di Palembayan, lalu ke sekolah Dokter Jawa pada 1886-1894 dan setelah lulus, beliau ditempatkan di medan. Beliau adalah lelaki yang beruntung, karena dididik oleh sistem politik etis. Tak puas hanya sekolah di Hindia Belanda, beliau melanjutkan ke Belanda. Tindakannya ini didukung Van Deventer, pengusung politik etis. Namun, pejabat Belanda yang tidak menyukainya, menghambat langkahnya ini.
Sambil menunggu ijin yang keluar, beliau menulis untuk Bintang Hindia, Bendera Wollanda, Pewarta Wollanda, Oost en West, dan Algemeen Handelsblad yang keseluruhannya terbit di Amsterdam. Saat itulah beliau beperang pena dengan A.A Fokker, seorang pejabat Belanda yang mengaku fasih berbahasa Melayu dibandingkan dengan orang Melayu sendiri. Hingga pada akhirnya beliau menantang Fokker untuk debat di depan umum. Akhirnya, bertemulah mereka berdua danbukan kehebatan berbahasa Melayu yang ditunjukkan oleh Fokker, melainkan kekalahannya. Setelah itu Fokker berusaha untuk membela diri dengan mengatakan bahwa “Seorang Belanda tidak boleh berbahasa Melayu.”
Kemenangan beliau setelah berdebat dengan orang Belanda membuatnya dikenal khalayak, ijin menuju Belanda pun keluar baginya. Di sana beliau tetap menulis, hasil tulisannya belaiau kirimkan ke Indonesia, dengan telegraf tentunya. Karena tulisannya, beliau ditawari untuk menjadi redaktur Bintang Hindia oleh Van Heuts, Gubernur Jendral Hindia Belanda. Dan sekali lagi, ia kembali diganjal. Namun sang Gubernur tetap mengijinkan posisi tersebut. Beliau mengambil kesempatan ini, 6 tahun beliau memimpin, 1901-1907 . Beliau selalu menanamkan kepada para Bumipoetra : “Jadilah bangsa usulan dan pikiran. Bangsa yang cerdas. Bengsa yang senantiasa memberikan masukan-masukan penting demi perkembangan tanah airnya.”
Setelah itu beliau mengikuti jejak ayahnya untuk menjadi guru. Beliau menjadi guru bahasa Melayu untuk mahasiswa di Prancis, bersamaan dengan karangan bukunya berupa buku tuntunan belajar Bahasa Melayu untuk mahasiswa Prancis. Tidak hanya itu saja, beliau juga melanjutkan pendidikannya di Institute Pasteur, Paris, Perancis. Ketika perang Eropa mulai berakhir, beliau kembali ke Indonesia dan memilih Padang sebagai tempat tinggalnya tahun 1907. Beliau pun masuk Volksraad tahun 1918.
Ternyata, walaupun beliau adalah seorang dokter, beliau tidak dapat menyembuhkan sakitnya sendiri. Beliau pun memutuskan untuk keluar dari Volksraad, juga karena pendapatannya kecil, tidak sebanding dengan pendapatan seorang dokter. Beliau pun kembali ke Eropa untuk memulihkan kesehatannya. Selama 1919-1921, beliau berkelana di Eropadan menjadi redaktur pembantu Bintang Timoer. Beliau mengkritik dan menelanjangikolonialisme juga pribumi. Sewaktu di sana, beliau melihat Hatta, Ali Satroamidjojo, Abdulmadjid Djajadiningrat dan Nazir Datuk Pamuncak ditangkap.
Melalui Bintang Timoer beliau mencetuskan ide studentfonds. Studentfonds adalah dana untuk membantu mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang berada di luar negri. Beliau berharap agar Studentfonds didirikan di seluruh negara yang ada mahasiswa Indonesianya, hal tersebut ia cetuskan karena ia sangat sadar akan kesulitan belajar di luar negri. Ide itu ternyata berhasil, banyak pembaca Bintang Timoer yang akhirnya justru menjadi penyumbang besar Studentfonds.
Tahun 1932, beliau kembali ke Indonesia dan menetap di Tanah Abang dengan berprofesi sebagai dokter. Namun, beliau tetap tidak berhenti menulis. Dari Jakarta, beliau pindah ke Bandung. Di sanalah beliau kemudian menghembuskan nafas terakhirnya.
Sedikit ringkasan dari Buku Tanah Air Bahasa : Seratus Jejak Pers Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H