RUU Penyiaran yang sedang digodok oleh DPR dianggap problematik karena pasal-pasal di dalamnya mengancam demokrasi, keberagaman, dan kebebasan pers. Dalam revisi ini, KPI melebarkan sayap kewenangannya ke ranah digital. Platform seperti Instagram, X, YouTube, dan platform digital penyiaran lain akan diatur berdasar RUU Penyiaran. Artinya, kebebasan berpendapat dan berekspresi akan dikekang oleh aturan-aturan yang telah dibuat.Â
Belakangan ini, Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran menjadi perbincangan yang amat hangat di tengah masyarakat.Beberapa masyarakat kemudian mengkritik larangan yang dianggap tidak masuk akal, ambigu dan berlebihan. Kontrol dan aturan ini bisa disalahgunakan oleh mereka yang berada di jajaran atas dan bisa membahayakan demokrasi. Kritik yang dilontarkan terhadap RUU Penyiaran ini tidak hanya terbatas pada pembungkaman pers dan pembatasan berpendapat, tetapi juga pada pelanggengan diskriminasi yang bisa terjadi terutama pada kelompok minoritas seperti LGBTQ+ dan juga kelompok lain yang termarginalisasi. Media yang dikendalikan menjadi ancaman dan merugikan semua kelompok, terutama mereka yang terpinggirkan.Â
Pasal-pasal dalam RUU Penyiaran ini memperburuk stigma dan diskriminasi pada kelompok minoritas gender. Berikut adalah beberapa pasal yang dianggap problematik dan menjadi ancaman:
-
Pasal 28A ayat 1 huruf d : Melarang platform digital milik penyedia jasa penyiaran berlangganan untuk menyiarkan konten yang membahayakan kepentingan bangsa, mengancam pertahanan dan keamanan nasional, bertentangan dengan norma kesusilaan, mengandung pornografi dan sadistis, mempertentangkan Suku, Agama, Ras, Antargolongan (SARA), dan menyajikan perilaku Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT).
Pasal 46A ayat 2 huruf h : Melarang materi siaran iklan untuk menggunakan model iklan dan mempromosikan perilaku LGBT dan melanggar nilai kesopanan, nilai kepantasan, dan nilai kesusilaan.
Pasal 50B ayat 2 huruf g : Melarang konten yang mengandung jurnalisme investigasi, gaya hidup negatif, aksi kekerasan dan/atau korban kekerasan, perilaku LGBT, berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, dan penodaan agama.Â
Pasal-pasal ini merupakan suatu permasalahan yang serius. Melalui pasal-pasal di atas, diskriminasi malah dilestarikan dan kebebasan berekspresi Individu dari kelompok minoritas seperti LGBTQ+ dirampas. Padahal, media memiliki potensi besar untuk menciptakan perubahan sosial yang positif serta memiliki peran untuk menciptakan lingkungan yang inklusif. Perluasan kewenangan KPI ke ranah platform digital juga nantinya akan semakin mempersempit ruang untuk kelompok minoritas gender berbicara. Individu yang tergolong dalam kelompok ini bahkan tidak bisa berkarya di platform-nya sendiri. Pelarangan konten atas dasar "moralitas" ini bisa melenyapkan representasi positif dan membungkam suara dari kelompok marginal. Perjuangan untuk mendapatkan pengakuan dan hak yang sama akan jadi semakin tidak mudah dan yang sudah terpinggirkan akan semakin terpinggirkan.Â
Perlu diingat bahwa masyarakat pada dasarnya sangat beragam dengan berbagai macam orientasi. Mendapatkan ruang dan akses untuk tampil dan bersuara secara vokal di media merupakan hak semua orang dan merupakan hal yang penting dan fundamental. Rancangan Undang-Undang Penyiaran ini merampas hak masyarakat dan menebalkan stigma yang negatif dan melestarikan diskriminasi terkhususnya pada komunitas minoritas gender LGBTQ+.
Kebebasan seharusnya dilindungi bukan malah diancam dan dirampas. Keberagaman dan pluralisme adalah keindahan dari media itu sendiri. Masih banyak hal lain selain perbedaan orientasi dalam media yang harus lebih ditangani secara serius. Pembuat kebijakan perlu untuk mendengarkan seruan masyarakat dan meninjau kembali RUU Penyiaran. Dibutuhkan penciptaan ruang yang inklusif dan berimbang bagi seluruh kelompok gender di Indonesia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H