Mohon tunggu...
Angela Priscilla Gunawan
Angela Priscilla Gunawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - suka kucing

if it doesn't work out, who cares? just start over!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Awas! Bahaya Tren Self-Diagnose Melalui Konten Tiktok

28 Juli 2023   14:45 Diperbarui: 29 Juli 2023   16:06 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumber: Medcom.id
Sumber: Medcom.id

Anda sebelumnya mungkin sudah familier dengan istilah Dr. Google atau menggunakan Google sebagai alat untuk mendiagnosa berbagai macam penyakit dan masalah kesehatan. Saat ini muncul tren baru yang serupa dengan nama lain, yaitu Dr. TikTok

Dilansir melalui Katadata.co Indonesia saat ini memiliki peringkat kedua dengan jumlah pengguna TikTok terbanyak di dunia, yaitu mencapai 112,97 juta pengguna dan hanya memiliki selisih 3.52 juta pengguna TikTok di Amerika sebagai peringkat pertama. Pengguna TikTok ini juga didominasi oleh Gen Y (Milenials) dan Gen Z. Analisis Media dan Hiburan Kevin Tran melalui Morning Consult menjelaskan bahwa saat ini terdapat hasil penelitian terbaru yang menunjukkan bahwa Gen Z lebih suka mencari informasi melalui TikTok dibanding di Google. Termasuk kepada informasi terkait penyakit dan masalah kesehatan. 

Kemunculan video berisi konten-konten yang menunjukan gejala dari penyakit mental tertentu dapat mendorong penontonnya untuk mendiagnosa diri sendiri. 

Misalnya adalah konten “Ciri-ciri kamu terkena bipolar” atau “POV terkena ADHD” atau menunjukan sudut pandang seseorang yang terkena penyakit mental lainnya. 

Menurut Konselor Psikologi Chrysan Gomargana, kemunculan konten-konten tersebut menyebabkan dua hal, yang pertama adalah sebagai alat untuk menyebarkan kesadaran (awareness) terhadap isu kesehatan mental, khususnya bagi masyarakat awam. Sedangkan dampak lainnya yang cukup serius adalah menyebabkan munculnya asumsi dalam diri penontonnya yang berakibat pada self-diagnose

“Konten semacam ini mendukung self-diagnose atau self-labelling ya, orang-orang yang menonton akan berpikir dan merasa relate bahwa saya ini ada mental illness. Meskipun sebenarnya yang punya konten maksudnya mungkin bukan seperti itu.” Ucap Chrysan kepada reporter di Tangerang, Rabu (26/07/2023) lalu. 

Self-diagnose terdiri dari 2 kata, yaitu self yang berarti “diri” dan diagnose yang berarti “menentukan suatu penyakit yang diderita dengan meneliti gejala-gejala yang dialami”. Self-diagnose adalah upaya mendiagnosa diri dengan informasi yang didapat secara mandiri berdasarkan sumber tidak resmi atau profesional melalui internet, teman, keluarga atau pengalaman dari masa lalu. Self-diagnose kerap kali dilakukan karena rasa penasaran dengan gejala yang saat ini dialami yang kemudian dibandingkan dengan informasi yang didapat.

Mirisnya Chrysan juga menjelaskan bahwa dirinya pernah menemukan kasus self-diagnose yang menimpa pelajar SMP, bahkan keluarga pasien tersebut sampai merujuknya ke tempat pengobatan religi, yaitu dengan melaksanakan ruqyah

“Karena dia termakan konten, jadi dia merasa berhalusinasi dan merasa bahwa dirinya memiliki skizofrenia sehingga dia berperilaku seperti orang yang skizofrenia. Tapi, saat kita cek, ngga ada sebenarnya. Dia ini normal dan pada saat itu di usianya dia masih mencari identitas dan jati diri sehingga merasa penyakit tersebut adalah hal yang keren.” Ucap Chrysan di Tangerang, Rabu (26/07/2023).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun