Di tanah sepi, aku menanam benih tulus,
dalam bisu yang tak mengenal balas,
mengakar di kedalaman luka,
menyapa senja yang berlalu tanpa kata.
Tak ada sorak, tak ada tepuk tangan,
hanya hembusan angin yang lirih mengiba,
pada kasih yang tak dihitung balasannya,
pada rasa yang tak kenal ragu dan curiga.
Setiap helai daun, berbisik sendiri,
tentang harapan yang digenggam dengan sunyi,
tentang jari-jari lembut yang menanti,
disentuh oleh hati yang takkan pergi.
Meski hujan jarang berhenti,
dan matahari sering menusuk tanah,
benih ini terus mengakar di jiwa,
mencari artikel dalam sepi yang tak berujung reda.
Jika tak ada yang melihatnya mekar,
biarlah ia tetap ada,
seperti doa yang lirih namun ikhlas,
menyuburkan dunia tanpa syarat, tanpa balas.
Kuraih cahaya dari langit yang malu-malu,
Menunggu hujan yang tak datang tiba,
Tetap setia di akar dan tanah,
Meski sendiri, meski senyap.
Benih tulusku mungkin tak tumbuh subur,
Mungkin tak menari di atas angin,
Namun ia tetap ada, tetap hidup,
Menjadi Saksi diam ketabahan jiwa.
Dan bila kelak ia layu, lalu hilang,
Ia akan tetap menjadi bagian tanah,
Mengajarkan bahwa tulus tak butuh pujian,
Karena ia hidup, meski tak terlihat lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H