Di bawah langit tanpa warna,
aku adalah remah yang terhempas,
pecahan kecil dari keutuhan yang pudar,
tersembunyi di kelam malam.
Sunyi mengeja setiap retakanku,
membisikkan cerita yang hilang,
tentang mimpi-mimpi yang pernah berpendar,
dan harapan yang perlahan memudar.
Aku adalah kepingan yang tersisa,
tersebar di ruang tanpa suara,
tak utuh, tak sempurna,
hanya serpihan jiwa yang meronta.
Namun dibalik remang yang hening,
ada cahaya yang tetap mengintip,
menyentuh remahku yang berserakan,
membisikkan bahwa aku masih ada.
Aku mungkin hanyalah remuk,
tapi di sunyi ini, aku belajar,
bahwa meski kecil, aku bermakna,
menjadi bagian dari keharmonian semesta.
Aku adalah remah-remah,
butiran kecil yang terserak di sudut senyap,
pecahan cerita yang pernah utuh,
namun kini menjadi gema tanpa suara.
Di hening ini, aku berbicara,
kepada angin, kepada bayang-bayang,
tentang luka-luka yang tak terlihat,
tentang mimpi yang layu sebelum fajar.
Aku terjatuh,
luruh bersama waktu yang berlalu,
terhanyut dalam arus yang tak berpulang,
teringat, menunggu arti dalam kenyamanan.
Meski kecil, meski tersisa,
ada harap di setiap serpihan,
bahwa suatu saat aku dirangkai lagi,
dari remah-remah menjadi diri yang utuh,
dalam bisikan sunyi yang menenangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H