Mohon tunggu...
Angela Mau
Angela Mau Mohon Tunggu... Animator - Mahasiswa

"Hobi adalah jendela ke dalam jiwa, tempat kita menemukan kegembiraan yang tak terduga dan memperluas horison kehidupan kita." Di antara kesibukan dan berjalan, Hobi ku menjelma, tiada kian lara. Menyanyi, menulis, hingga membaca , Hobi ku raih, senyum pun bersemi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rahasia di Balik Menatap Ibu

23 Oktober 2024   20:26 Diperbarui: 23 Oktober 2024   20:40 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku punya sebuah rahasia. Rahasia yang, kalau aku ceritakan di dunia, mungkin dunia akan tertawa terpingkal-pingkal. Tapi siapa sangka, rahasia ini melibatkan sosok paling berpengaruh dalam kehidupan---ibuku.

Buku adalah wanita yang luar biasa. Bukan hanya karena dia bisa memasak nasi goreng seenak warung pinggir jalan favoritku, tapi juga karena dia memiliki kekuatan supranatural. Kekuatan ini tidak terlihat, tapi aku seolah-olah merasakan efeknya setiap hari. Kekuatan itu adalah... menguraikan mata.

Ya, benar. Buku bisa berbicara hanya dengan memutarnya. Seperti pesulap yang bisa menghipnotis orang hanya dengan melihat matanya, ibuku bisa mengubah dunia hanya dengan melihatku sejenak. Dan biasanya, itu berarti satu hal: aku harus melakukan sesuatu yang tak pernah aku inginkan.

Kisah ini dimulai di sebuah Minggu pagi yang damai. Aku sedang asyik duduk di depan TV, memainkan game kesayanganku sambil menikmati sarapan. Tiba-tiba, dari arah dapur, muncul ibuku. Tidak dengan kata-kata, tapi dengan memutar. Aku sudah tahu apa artinya itu---tapi kali ini aku pura

"Aku butuh bantuan," kata ibu akhirnya, setelah itu terasa seperti panah panas yang menembus layar TV-ku.

"Apa, Bu?" tanyaku tanpa menoleh, berharap jawaban akan sesuatu yang sederhana, seperti mengambilkan sendok atau mematikan ker

"Ambilin cucian di jemuran," katanya

Nah, ini dia. tatapan berikutnya yang lebih tajam dari pisau dapur. Aku berusaha tetap tenang. Aku tidak akan menyerah tanpa perlawanan.

"Tapi, Bu, seru lagi nih gamenya. Bentar ya?" balasku dengan alasan klasik. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Tiba-tiba, aku menemukannya lagi. Kali ini,intensitasnya bertambah seperti matahari yang tiba-tiba mendekati bumi

Kepala ibu sedikit miring ke kanan, senyum tipis di bibir. Ah, senyum itu! Senyum yang tidak menunjukkan kebahagiaan, melainkan... sebuah ultimatum! Aku tahu, kalau aku tidak segera bergerak, mungkin game ini akan menjadi yang terakhir aku mainkan seumur hidup

"Baiklah, baiklah!" kataku sambil mendekat, seolah-olah aku adalah seorang pahlawan yang terpaksa meninggalkan istana hanya karena rakyat membutuhkan pertolong

Aku melangkah menuju jemuran, mengambil satu orang baju yang digantung, tapi tiba-tiba... angin bertiup kencang! Celana dalam bapakku terbang, melayang seperti burung merpati. Aku mencoba menangkapnya, tapi ternyata lebih sulit dari yang dibayangkan. Aku meloncat ke sana-sini, tapi celana itu terus terbang. Bahkan seolah-olah dia sengaja mengejekku

Aku memutar otak, menunggu saat yang tepat untuk menangkapnya. Dan tiba-tiba, dalam satu lompatan yang elegan, saya berhasil! Tapi... aku terjatuh di atas tumpukan kain basah. Celana dalam berhasil mengatasi kutangkap, namun harga diriku? Hilang bersama angin yang tadi menerbangkan

Aku kembali ke rumah dengan wajah penuh kemenangan (dan sedikit kotor karena tanah). Ibu hanya melihatku dengan puas, tanpa mengucapkan kata pun.

Setelah itu, aku belajar satu hal penting: tidak peduli seberapa kuat tekadmu untuk melawan, mengungkapkan seorang ibu adalah senjata paling ampuh di dunia ini. Bahkan celana dalam yang terbang pun tunduk padanya

Dan sejak hari itu, setiap kali ibu melihatnya, saya langsung paham. Bukan hanya karena dia menginginkan sesuatu, tapi karena... dia tahu aku tidak pernah bisa memecahkannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun